Bab 8. Jangan Dimasukkan Semua

998 Kata
"Maksudnya apa ini ya, Mas?" Arina tetap bingung dengan ucapan singkat dari suaminya itu. "Ya, biasanya orang nikah kan suaminya ngasih cincin dan saya mau kayak gitu ceritanya." Arina mengerjapkan matanya dan merasa ada yang aneh dengan Yudhi. "Bukannya ini aku yang beli sendiri ya, Mas?" "Anggap itu sebagai utang, nanti semua uang yang kamu pakai untuk keperluan kita berdua, Mas ganti semuanya." Arina mengerutkan dahi. 'Emang Mas Yudhi punya uang sebanyak apa sih?' Tiba-tiba Arina penasaran, tetapi dia tidak tahu harus mencari informasi itu ke mana. "Oh, ok, tapi aku enggak akan hitung ya, Mas. Jadi, terserah Mas aja mau ganti berapa." "Empat hari lagi aku akan pulang ke tempatku yang seharusnya. Kita sudah menikah, aku harap akan terus begitu sampai kapan pun." Saat itu Yudhi tidak bisa menjanjikan apa pun untuk Arina. Dia belum bisa membawa Arina tinggal bersamanya, tetapi tidak rela pula meninggalkan Arina sendirian di sana. Arina menatap mata suaminya dalam. "Jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai di sana ya, Mas." Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Entah kenapa di dalam hatinya perempuan itu merasa kehilangan padahal Yudhi masih bersamanya. Kebersamaan mereka yang hanya sebentar ternyata bisa membuat Arina sedikit demi sedikit menerima keberadaan Yudhi di hatinya tanpa dia sadari. *** Satu hari sebelum Yudhi kembali ke Jakarta, Arina mengambil jatah cuti. Dia ingin menghabiskan waktu bersama dengan pria itu dengan memberikan kesan terbaik sebelum berpisah, tetapi bukannya hal seperti ini justru akan membuat hati semakin terasa sakit. Mereka mengawali paginya dengan memasak dan sarapan bersama. Yudhi sama sekali tidak keberatan membantu Arina di dapur. Memegang alat masak bukan sebuah hal yang aneh baginya, bahkan dia terlihat terbiasa dengan aktivitas memasak di dapur. Selesai sarapan mereka membersihkan rumah bersama. Yudhi dan Arina merapikan kamar mereka lebih dulu baru kemudian beralih ke ruangan lainnya. Menyapu dan membersihkan bagian yang kotor lalu mengepel lantai dari teras hingga ke dapur. Selesai menyapu dan mengepel, Arina mencuci pakaian. Hanya pakaian luar aja yang dia letakkan di mesin cuci, sisanya dia letakkan di kamar dan akan dicuci lain kali. Arina mencuci dengan tangan dibantu oleh Yudhi yang membilas pakaiannya. Selesai mencuci mereka jemur semua pakaian di luar. Arina ingin duduk sebentar sebelum lanjut masak untuk makan siang. Dia menyalakan TV dan bersandar di sofa. Yudhi pun ikut duduk bersamanya. Arina menoleh sekilas pada Yudhi. "Sejak kapan bisa masak, Mas?" tanya Arina penasaran dengan suaminya itu. "Dulu sih pas kuliah, ya namanya jauh dari orang tua kan pengen makan ini itu jadi milih masak sendiri. Kenapa?" "Ya jarang aja sih laki-laki yang mau turun bantuin kerjaan dapur apalagi masak. Jadi, sejak ngekos bisa semuanya termasuk nyapu sama ngepel ya, Mas?" "Gitu deh, Rin. Kalau enggak kos ya enggak bakalan bisa ngerjain tugas rumah, tapi kalau nyuci sih masih bisa laundry atau pakai mesin cuci, ya?" "Iya juga sih, tapi kayak Mas Yud sih udah lumayan lah." "Buat siang ini mau masak apa? Mas bantuin ya." Sebenarnya Arina masih ingin duduk sebentar di sana, tetapi karena Yudhi membahas soal masak dia terpaksa bangkit dari duduknya. Mereka berjalan menuju dapur. Arina mengeluarkan bahan masakan dari lemari pendingin untuk di masak. Arina menyebut masakan apa yang ingin dia masak. "Kamu duduk aja, Rin. Biar Mas aja yang masak buat kamu." Yudhi mendorong punggung Arina kembali ke sofa. Kemudian dia mengambil alih memasak untuk makan siang. Dengan cekatan Yudhi mengolah bahan mentah menjadi masakan matang dan enak. Dia sajikan semuanya di meja. Yudhi merasa puas dengan hasil masakannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah untuk mengajak Arina makan siang. Tiba di ruang tengah, dia lihat Arina sudah terbaring di sofa. Entah kapan Arina tertidur di sana, Yudhi tidak tahu. Namun, dari wajahnya Arina terlihat sangat lelah. Dia biarkan perempuan itu tidur sampai terdengar azan zuhur. Baru saja Yudhi akan membangunkan Arina. Perempuan itu sudah membuka mata. Menatap ke arah Yudhi yang tangannya tertahan di udara hendak membangunkan Arina. "Mas mau ngapain?" tanya Arina saat melihat tangan Yudhi. "Oh, mau bangunin kamu tadinya. Udah zuhur, salat dulu yuk, terus kita makan. Masakannya udah mateng semua." Pria itu mengulurkan tangan agar ditarik oleh Arina. Dia ingin membantu perempuan itu berdiri. Arina pun menyambut uluran tangan Yudhi. Mereka salat di kamar masing-masing lalu makan siang bersama. Sore harinya setelah salat asar, Yudhi mengajak Arina jalan sore. Yudhi anggap itu sebagai olah raga sore. Namun, jalan sore sambil mengobrol dengan Arina membuat pria itu semakin berat untuk meninggalkan Arina. Perasaan itu semakin malam bertambah berat. Jika bisa dia ingin tetap berada di sana karena ternyata hatinya sudah dia berikan pada perempuan itu. Malam harinya, Arina merapikan semua pakaian Yudhi di kamar pria itu. Dia masukkan ke dalam tas semuanya tanpa ada sisa. Namun, Yudhi menahan tangannya. "Jangan dimasukkan semuanya." Yudhi mengambil satu buah kaus dan sarung lalu dia berikan pada Arina. "Buat apa ini, Mas?" tanya Arina heran. "Obat kangen. Kalau kamu kangen pake aja baju itu atau sarungnya dijadiin selimut." Betapa percaya dirinya Yudhi dengan mengatakan Arina akan merindukannya. Sedangkan dia tidak tahu Bagaimana perasaan perempuan itu padanya. Ingin dia menanyakan itu langsung pada Arina, tetapi Yudhi belum siap kecewa. Padahal pertemuannya dengan Arina bisa dibilang hanya sebentar saja dan mereka pun tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Bulir bening lolos dari kedua mata Arina tanpa bisa dia tahan. Perempuan itu baru menyadari jika dia memiliki rasa yang spesial untuk pria itu. Arina pun merasa tidak ingin ditinggal oleh pria itu. Yudhi menghapus air mata di kedua pipi Arina, dia tarik perempuan itu dalam pelukannya, di sana Arina menumpahkan semua air mata dan kesedihannya sampai kaus yang dikenakan Yudhi menjadi basah. Pria itu terus mengusap punggung Arina untuk menenangkannya. Didorong oleh perasaan yang sama yakni tidak siap untuk berpisah dan diawali dengan sentuhan di puncak kepala Arina, perempuan itu menyerahkan dirinya pada sang suami untuk menjadi istri yang seutuhnya. Dengan perasaan sayang yang tanpa mereka sadari hadir dalam hati keduanya, mereka melakukan malam pertama di kamar Yudhi. Dengan perasaan yang sama itu juga tanpa mereka tahu Yudhi telah menitipkan sebuah nyawa baru di rahim Arina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN