Kode Sandi

1307 Kata
Seandainya ini semua mimpi, Rigel ingin segera bangun dari mimpi buruk ini. Sayangnya semua yang terjadi di depan mata bukanlah mimpi buruk, semuanya benar-benar nyata dan lebih buruk. Sekeras apa pun Rigel menyangkal, tapi kenyataan tak bisa ia pungkiri. Nyawanya benar-benar di ambang batas kehidupan ketika granat sengaja di lempar ke arah mobil yang ia tumpangi. "Awas!" Rigel spontan menutup mata, menjadikan kedua lengan untuk melindungi diri. Ia sudah pasrah jika pada akhirnya akan mati konyol di tempat yang ia sendiri pun tidak tahu. "s**t!" u*****n perempuan di sampingnya terdengar memekik, bersamaan dengan mobil yang oleh ke kiri. Lalu kemudian suara ledakan terdengar begitu kencang, memekakkan telinga sampai menimbulkan dengungan panjang beberapa saat. Namun, Rigel tak merasakan apa-apa selain kepalanya yang terasa sakit karena membentur kaca jendela. Dan ketika ia membuka mata, mobil yang ditumpanginya masih melaju dengan kecepatan penuh. Rigel mengerjap berkali-kali, seakan tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Aku masih hidup? Rigel tertegun, rasanya seperti mustahil bisa lolos dari  maut. Apalagi tadi ia melihat secara langsung lemparan granat yang meluncur dengan cepat ke dalam mobil. "Kau baik-baik saja?" Suara perempuan di samping menarik atensi Rigel sepenuhnya. "Nggak ada waktu, cepat lempar ini." Dan perempuan yang entah siapa dan datang dari mana, memberikannya granat. "Granat?" beo Rigel. "U-untuk apa?" Belum hilang rasa syoknya, si perempuan misterius itu justru menyuruh Rigel melakukan hal yang mustahil bisa ia lakukan. "Lempar ke belakang!" perintah perempuan itu. "Apa?" Rigel melongo, memandangi granat yang masih dipegang oleh perempuan itu. Perempuan itu berdecak, merasa Rigel terlalu membuang waktu percuma. Padahal kawanan di belakang masih mengejar mereka, bahkan tembakan kembali dilayangkan. Beruntung ia tetap gesit mengendalikan kemudi, memacu mobilnya lebih cepat menembus padang savana. "Cepat lempar! Atau kau mau mereka yang melempar granat kepada kita!" teriak perempuan itu, memaksa Rigel menerima granat tersebut. "Tapi?" Rigel ragu, takut lebih mendominasi. "Bagaimana jika mereka semua mati?" Astaga! Perempuan itu berdecak, mengusap kasar wajahnya. Di tengah kepanikan, ia harus meladeni omong kosong dari bocah yang ia selamatkan. "Apa pedulimu sama mereka?" teriak perempuan itu, tak habis pikir. "Apa kau lebih memilih mati konyol di tangan mereka?" Rigel terdiam, walaupun teriakan-teriakan dalam kepalanya mengatakan tidak. Tapi bibirnya lebih memilih mengatup rapat ketimbang menanggapi ocehan perempuan di sampingnya yang terus memaksa ia melakukan hal itu. Perempuan itu menghela napas panjang, tak bisa mengandalkan Rigel yang tak bisa mengambil keputusan, bahkan untuk dirinya sendiri. Terlalu lemah! Pikir perempuan itu. Lantas, ia merebut kembali dari tangan Rigel, bertepatan dengan suara deru knalpot trail yang berhasil mensejajarkan di samping mobilnya. "s****n!" Sebelum melempar granat, perempuan itu menembakkan pinstol dan membanting stir ke kanan. Perkiraannya tepat sasaran, pengendara trail tumbang begitu saja setelah peluru menembus kepalanya. Rigel di sebelah hanya mematung melihat kejadian itu, mulutnya terbuka tapi tak satu kata pun berhasil ia lontarkan. Sedangkan perempuan itu tanpa basa basi melemparkan granat ke belakang, di mana mobil tank dan pengendara motor trail lainnya nyaris mendekat. Setelahnya ia memacu kembali mobilnya dengan kecepatan penuh, meninggalkan ledakan dahsyat dari granat yang dilemparnya. Rigel sontak menoleh ke belakang, matanya melebar melihat asap pekat membumbung tinggi ke udara. Kobaran api bertambah besar akibat tiupan angin kencang. Ia terperangah, tak tahu harus lega atau menyesal melihat kawanan tadi lenyap dalam kobaran api yang membinasakan mereka semua. "Nggak perlu merasa bersalah, mereka mati tak akan berpengaruh apa-apa pada kelangsungan hidupmu." Rigel spontan menoleh ketika suara perempuan itu menginterupsi dirinya. Mengalihkan fokus sepenuhnya pada perempuan yang kini fokus memacu mobilnya menembus hutan belantara. "Apa maksudmu? Kita baru saja membunuh banyak manusia, lalu kau bilang dengan mudahnya bilang tidak perlu khawatir?" Rigel mendecih, tak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan yang menurutnya tak memiliki empati ataupun perikemanusiaan. "Mungkin kau terbiasa membunuh, tapi aku tidak? Aku tidak pernah melakukan hal sekeji itu!" tukasnya, geram. Perempuan di sampingnya mengembuskan napas kasar, enggan memperpanjang perdebatan. Karena mau seperti apa pun Rigel tak akan mengerti. "Mereka bukan manusia. Lagipula jika kita tidak membunuh mereka, maka kita yang akan dibunuh. Bukankah seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku baru saja menolongmu." Rigel berdecak, memalingkan wajah ke samping. Meski kesal dan tak setuju dengan apa yang dilakukan perempuan di sampingnya, tapi berkat kehadiran perempuan itu juga ia bisa selamat dari maut. "Terima kasih." Percakapan pun berakhir, keduanya memilih diam dengan pikiran masing-masing. Rigel yang sibuk memikirkan di mana dirinya saat ini, dan wanita itu fokus mengemudikan mobil menembus hutan belantara yang tak memiliki jalan. Hening mengisi kekosongan di dalam mobil. Hingga berselang lama mobil Jeep Wrangler itu pun akhirnya berhenti di tengah-tengah hutan. Rigel yang sedari tadi melamun pun kembali ke kesadarannya ketika menyadari mobil sudah berhenti. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, di mana pepohonan rindang tumbuh menjulang tinggi sampai tak membiarkan matahari menembus hutan. Suasananya tampak sunyi senyap dan mencekam, membuat Rigel kembali mewaspadai keadaan. "Di mana ini?" tanya Rigel, menoleh pada perempuan di sampingnya yang sudah melepaskan sabuk pengaman. Perempuan itu hanya tersenyum tipis, tanpa berniat menjawab. Ia keluar begitu saja, membuat Rigel kebingungan. Setelah di luar barulah ia berucap, "Ayo keluar." Ragu, tapi Rigel tetap menurut keluar dari mobil. Dipandangnya sekelilingnya, melihat lebih jeli di tempat macam apa sebenarnya ia terdampar. "Aku ingin pulang," kata Rigel kemudian, menatap penuh harap pada perempuan itu. "Tentu," ucap perempuan itu yang sedang sibuk menutupi mobilnya dengan dedaunan dan rumput-rumput ilalang. Rigel merasa tak puas dengan jawaban perempuan itu. Ia lantas menghampirinya. "Aku ingin pulang ke rumahku," ucapnya, mengulang sekali lagi keinginannya. Perempuan itu menoleh, memandang serius Rigel. "Aku tahu, tapi tak semudah itu untuk keluar dari sini." "Apa?" Rigel tak paham maksud jawaban perempuan itu. "Apa maksudmu tak mudah? Kau hanya perlu mengantarku ke rumah." Perempuan itu mendengkus pelan. "Apa kau belum mengerti juga?" "Mengerti apa?" "Bukankah kau sudah menyaksikan semua? Harusnya kau paham berada di mana sekarang." Rigel terdiam, mengingat kembali kejadian sejak awal ia membuka mata. Padang savana, kawanan bersenjata, mobil tank dan para penembak jitu. Memang tidak begitu asing bagi Rigel, tapi di mana ia pernah menemukan semua itu. Lalu ia teringat sesuatu, sontak ia melemparkan pandangannya ke perempuan itu lagi. "Jangan-jangan ...." Rigel tercekat, ketika menemukan jawaban dalam ingatannya. Ditambah anggukan perempuan itu yang seakan tahu apa yang ada dalam pikirannya. Namun, Rigel masih menyangkalnya, tak ingin percaya dengan dugaannya itu. "Tidak mungkin!" Ia menggelengkan kepala, menepis semua hal yang muncul dalam pikirannya. "Ini tidak masuk akal." "Ya, ini memang tidak masuk akal. Tapi sayangnya inilah kenyataannya. Kita berada di dunia game, dan aku di sini sebagai pemandumu." Perempuan itu mengulurkan tangannya kepada Rigel. "Perkenalkan aku Joanna, kau bisa memanggilku Jo. Aku yang akan memandumu keluar dari sini, setelah menyelesaikan sebuah misi." "Misi?" beo Rigel. Keningnya semakin mengerut. "Iya, misi penyelamatan," ucap Joanna, memberikan selembar kertas pada Rigel. Rigel menatap selembar kertas berisikan sebuah kode sandi, lalu ia menatap Jo lagi. "Apa ini?" "Kata sandi untuk keluar dari sini. Tapi pertama-tama kau harus menemukan chipnya terlebih dahulu dan mengembalikan ke tempat semula agar gerbang dunia bisa terbuka saat kau memasukkan sandi itu," jelas Jo, memberitahu mengenai misi Rigel agar bisa keluar dari dunia game. Rigel tertawa hambar, tetap merasa tidak masuk akal dengan semuanya. "Jangan mencoba menipuku," tukas Rigel. "Apa gunanya aku menipumu?" kata Jo, tampak tak peduli. "Terserah, kau mau percaya atau tidak. Aku hanya sekedar membantu, tapi jika kau tak mau dibantu ya sudah. Semoga kau bisa bertahan hidup di sini." Jo menepuk pundak Rigel. "Ada banyak kawanan yang siap memburumu, bahkan lebih ganas dari kawanan-kawanan sebelumnya. Jadi kau pikirkan baik-baik." Setelah itu Jo melangkah pergi meninggalkan Rigel, masuk ke sebuah bunker yang tersembunyi di balik tumbuhan liar yang menutupi keseluruhan pintu bunker. Sedangkan Rigel terdiam memandangi kertas berisi kode sandi di tangannya. Dalam benaknya tengah berseteru antara logika dan hati yang tak bisa sinkron. Keraguan masih menguasai benaknya, tapi keputusasaan mendorong Rigel untuk mengambil kesempatan itu. Walau tetap saja ia tak yakin dengan semua yang dikatakan Jo, apakah memang semua ini nyata atau hanya sebatas ilusi semata. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN