Rose berkata pada Damian, "Oh iya, Mas, sepertinya kita membutuhkan asisten rumah tangga deh. Aku capek jika mengurus rumah."
Damian menjawab, "Gajiku tak akan cukup untuk menggaji asisten rumah tangga. Kalau kamu mau ada asisten rumah tangga, ada baiknya kamu kerja."
Jawaban Damian membuat Rose terdiam beberapa saat. Rose berpikir, 'Apa kata teman-temanku jika mereka tahu aku kerja. Pasti mereka mengolok-olokku. Yang mereka tahu kan gaji Mas Damian masih besar seperti dulu, sebelum aku menikah dengannya.'
Damian pun bertanya, "Bagaimana?" Rose menjawab, "Gak lah, Mas. Aku malas jika bekerja. Sepertinya akan lebih baik aku kerjakan saja pekerjaan rumah sendiri."
Damian tersenyum, "Ya bagus. Lagian, apa sih pekerjaan rumah? Lebih capek kerja di luar." Rose mengangguk. Setelah makan malam usai, Damian pergi dari meja makan, dan Rose membereskan semuanya. Ia membawa piring kotor dan langsung mencucinya malam itu juga.
Sementara itu, Damian masuk ke kamar Tania. Tania yang sedang bermain ponsel di atas ranjangnya melihat kedatangan ayahnya yang tiba-tiba.
"Tolong biasakan ketuk pintu dulu ya sebelum masuk, Ayah!" kata Tania. Damian menjawab, "Ah, iya, maaf sayang."
Damian memilih duduk di tepi ranjang, melihat ke arah putri bungsunya, lalu berkata, "Besok, kalau beli pakaian yang biasa aja ya, jangan yang mahal, dan beli paling banyak dua pakaian saja."
Tania berseru, "Loh, kok sekarang Ayah ngatur-ngatur gitu sih?"
Damian menjelaskan, "Gaji Ayah tak setinggi dulu, sayang. Ayah harus bisa atur keuangan."
Mendengar perkataan Damian, Tania tersenyum kecut dan berkata, "Karma tuh! Selingkuhin Ibu sih. Beda istri, beda rezeki kan? Rasain."
Damian merasa kesal, "Jangan bicara sembarangan, Tania!" Tania menjawab, "Ah, memang itu kenyataannya. Jujur saja, kalau aku tahu Ibu ada di mana, aku lebih baik tinggal bersama Ibu. Daripada dengan Ayah yang sekarang lebih sayang sama si pelakor itu."
Damian berusaha menahan amarahnya, dan Tania, merasa Ayahnya tak bisa berkata apa-apa lagi, mengambil ponselnya dan memainkannya lagi.
Damian keluar dari kamar Tania, berusaha menenangkan dirinya. Ia memahami bahwa berdebat dengan putrinya tidak akan membawa kebaikan. Damian berusaha meredakan emosinya, mengambil napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan konfrontasi dengan Tania.
Dua minggu kemudian, Alina tetap tinggal di kostan. Selama periode tersebut, ia dengan gigih mencari pekerjaan hampir setiap hari.
Namun, belum juga ia mendapatkan pekerjaan.
Alina mulai merasa bingung dan cemas. Ia memeriksa saldo di m-banking ponselnya dan berkata, "Tabunganku menipis. Ini tidak bisa aku biarkan. Aku harus segera dapat pekerjaan di minggu depan." Alina merasa tekanan untuk segera mendapatkan pekerjaan dan mengatasi keterbatasan finansialnya.
Keesokan paginya Alina bersiap untuk mencari pekerjaan lagi. Alina sangat semangat hari ini, karena ia ingat jika ia tak mendapatkan pekerjaan maka tabungannya akan habis.
Kini Alina sedang sarapan pagi dengan nasi goreng dan telur ceplok, namun tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kosannya.
Alina mengerutkan kening, ia bertanya dalam hati, "Siapa yang datang sepagi ini?" Alina begitu heran, karena selama ini tak ada yang bertamu, apalagi saat pagi seperti itu.
Alina pun bangkit dari duduknya, ia membuka pintu dan kaget melihat Adi berdiri di depannya.
Adi langsung menyapanya, "Pagi, Alina."
Adi tampak menunjukan wajah datar, ia tak senyum sedikitpun.
Alina tidak menjawab sapaan Adi, malah bertanya, "Dari mana kamu tahu aku di sini?"
Adi menjawab dengan santai, "Rahasia." Dan jawaban itu berhasil membuat Alina kesal, dan ia bertanya lebih lanjut, "Untuk apa kamu kemari?"
Adi langsung menanyakan, "Kamu sudah dapat pekerjaan belum? Kalau belum, aku punya pekerjaan untukmu. Aku yakin kamu mau dan gajinya lumayan besar.”
Alina menjawab tegas, "Aku tak butuh. Aku akan mencari pekerjaan sendiri. Pergilah, aku sedang makan." Namun Adi tetap bergeming di tempatnya, membuat Alina semakin kesal.
"Ngapain tetap diam sih? Aku tuh kesal sama kamu. Gara-gara kamu, aku dipecat!" ujar Alina.
Adi menjawab dengan tenang, "Ya, itu karena aku punya pekerjaan untukmu." Kata-kata itu membuat Alina jadi penasaran, "Memangnya kamu pekerjaan apa sampai kamu bilang gajinya lumayan besar?"
Dengan enteng, Adi menjawab, "Jadi istriku."
Alina melebarkan matanya tidak percaya, "Apa? Maksudmu aku kerja jadi istrimu?"
Adi mengangguk mantap, "Ya, kamu jadi istriku dan kamu akan aku bayar."
Alina semakin tidak percaya dengan apa yang didengarnya, "Kamu ngawur!”
Adi menjawab tanpa ragu, "Aku tidak ngawur. Aku serius. Kamu hubungi aku saja jika kamu minat. Kalau kamu sudah bersedia, aku akan menjelaskan apa saja yang harus kamu kerjakan, bagaimana?"
Namun Alina langsung menanggapinya, "Aku tak berminat. Bagiku, pernikahan bukanlah pekerjaan. Sudahlah, kamu pergi saja. Mengganggu saja aku sarapan."
Alina mengusir Adi dengan tegas dan menutup pintu kosannya dengan keras, menunjukkan bahwa ia tidak mau lagi berurusan dengan Adi.
Alina melanjutkan sarapannya sambil mengomel dalam hati, "Dia ada-ada saja. Menawari pekerjaan padaku untuk jadi istrinya. Dia kan hanya seorang sopir. Dan apa tadi dia bilang? Dia akan membayarku jadi istrinya? Dia sebelumnya juga bilang gajinya lumayan besar. Dia kan hanya seorang sopir."
Alina merasa kesal dan tidak terima dengan tawaran yang dilontarkan oleh Adi. Baginya, itu tidak masuk akal dan tidak pantas untuk dipertimbangkan.
Di rumah Alina yang kini ditinggali oleh Rose dan keluarganya, Rose sibuk memasak untuk sarapan. Setelah menyajikannya di meja makan, ia mencuci piring sendiri. Hal itu membuat Rose merasa lelah. Saat Damian akan berangkat kerja, Rose meminta uang untuk belanja. Damian menjawab dengan sedikit kesal, "Kamu kan sudah aku beri seminggu yang lalu. Kenapa minta lagi?"
Rose menjawab, "Itu kan sudah aku belikan lauk pauk dan sayur. Sekarang aku butuh untuk beli sabun. Aku tak punya uang lagi."
Damian mengeluarkan dompet dari sakunya dan memberikan uang satu lembar berwarna merah sambil mengomel, "Pandai-pandailah mengatur keuangan. Aku capek kerja."
Rose menghela nafas mendengar perkataan Damian, merasa kesal dan lelah dengan situasi keuangan yang sulit.
Rose pun berkata, "Aku kerja di rumah juga capek, Mas. Setiap hari aku mencuci pakaianmu dan dua putrimu, aku juga memasak dan menyiapkan makanan untuk kalian. Aku merasa lebih lelah akhir-akhir ini."
Namun Damian menjawab dengan agak kesal, "Suruh siapa mengusir anakmu. Kan kamu juga yang repot. Sudahlah, aku harus segera berangkat. Harusnya kamu bersyukur masih dapat uang dariku."
Setelah mengatakan itu, Damian pergi meninggalkan Rose di ruang makan. Rose hanya bisa menatap kepergian Damian dengan perasaan campur aduk, merasa lelah dan kecewa.
Rose mendudukkan tubuhnya di kursi, merenung sejenak. "Apa aku harus meminta Alina untuk kembali?" gumamnya dalam hati. "Setidaknya ia bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan aku bisa bersantai." Senyum tipis mengembang di wajah Rose, berpikir tentang kemungkinan mengundang Alina kembali ke rumah.