Pertemuan Penting

1078 Kata
Alina pun bertanya pada Danu, “jadi apa paman bisa datang ke kota untuk menjadi walinya?” Danu menjawab dengan rasa menyesal, “Maaf Alina, paman tidak bisa datang karena sedang ada masalah dengan bibi.” Alina mengangguk paham, tidak berani bertanya lebih lanjut tentang masalah di antara keduanya. Setelah mendengar jawaban dari Danu, Adi mengambil inisiatif untuk membuat surat kuasa yang ditandatangani oleh Danu, menyerahkan hak wali kepada wali perwakilan KUA nantinya, karena Danu adalah satu-satunya wali Alina. Setelah urusan keduanya selesai, Alina dan Adi pamit. "Paman, Alina pamit dulu ya. Sehat-sehat untuk paman dan keluarga," kata Alina sambil mengucapkan pamit. Danu mengantar Alina hingga ke teras. Tiba-tiba, Sita menghampiri. "Alina, apa kamu yakin mau menikah sama sopir?" tanya Sita. Alina membalas dengan pertanyaan, "Memangnya kenapa, bi?" Alina merasa bibinya menguping pembicaraannya dengan Danu dan ia merendahkan profesi Adi yang seorang sopir. Walau sebenarnya Alina sekarang mulai curiga Adi bukan sopir, ia hanya mengaku-ngaku saja. Mana ada sopir dihormati pengusaha, naik mobil mewah sampai helikopter. Sita pun menjelaskan pada Alina, “kamu tahu tidak akan lebih baik kamu menikah dengan orang kaya yang bisa memberikan segala kebutuhanmu.” Danu menyela, "Bu, sudahlah." Alina hanya tersenyum sementara Adi memilih diam. Alina dan Adi pun pamit, naik mobil yang mereka tumpangi sebelumnya. Setelah makan siang bersama Wilan, Alina dan Adi langsung menuju helikopter untuk kembali ke kota. Selama perjalanan pulang, suasana di dalam helikopter terasa hening. Alina sibuk memperhatikan pemandangan di bawah sementara Adi sibuk dengan ponselnya, mungkin sedang menyusun rencana atau mengecek hal-hal penting. Dalam hati, Alina merasa penasaran dengan identitas sebenarnya Adi. ‘Sebenarnya Adi ini siapa sih? Aku makin pusing. Tapi ah, nanti juga akan ketahuan dia siapa. Dan aku harus siap dengan kebenarannya. Lagian aku juga hanya istri bayarannya,’ ucap Alina dalam hati. Sesampainya di kota, Adi mengantar Alina dengan mobil sedan mewah yang sama seperti pagi tadi. Di dalam mobil, Adi memberitahu Alina, "Besok lusa kamu bertemu kakekku, setelah itu kita langsung persiapkan pernikahan kita." Alina hanya mengangguk sebagai jawaban. Setibanya di kosan, Alina langsung menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Tubuhnya yang lelah membuatnya segera terlelap tidur. Alina bangun karena suara ketukan pintu yang mengejutkan. Dengan malas, ia berkata pelan, "Siapa sih?" Alina mengerjapkan matanya dan menguap. Dengan langkah malam, Alina berjalan ke arah pintu. Saat membukanya, ia kaget melihat Rose di sana. "Alina, kamu baru bangun?" tanya Rose. Alina tidak menjawab, malah bertanya balik, "Ada apa datang ke sini?” Rose pun bertanya, "Apa ibu boleh masuk?" Alina membuka pintu kosannya lebih lebar, mempersilahkan ibunya masuk. Setelah Rose masuk, ia duduk di atas tempat tidur yang berantakan. Melihat sekeliling kamar kos yang berantakan, Rose berkomentar, "Alina, hidup kamu berantakan sekali." Alina tidak sakit hati dengan komentar ibunya yang kini menguasai rumahnya itu. Tetap tegar, Alina bertanya, "Ayo katakan, ada apa kamu kemari?" Rose meminta Alina untuk duduk, “duduklah dulu.” Tetapi ia menolak, "Tidak.” Rose memandang Alina dengan serius, "Alina, aku ingin kamu memikirkan lagi keputusanmu untuk menikah dengan Adi, dia hanya seorang sopir. Apakah kamu yakin ini yang kamu inginkan?" Alina menatap ibunya dengan tegas, "aku sudah memutuskan." Tetapi Rose tetap memohon, "Tapi, Alina, pertimbangkanlah dengan matang. Ini keputusan besar yang akan mempengaruhi hidupmu.” Alina menatap tajam ke arah Rose, "Sejak kapan peduli pada hidupku? Sejak ibu berselingkuh dengan Damian dan meninggalkan aku dan ayah. Aku merasa ibu sudah tidak peduli lagi padaku." Alina merasakan kekecewaan yang mendalam. Suasana kamar menjadi tegang dengan kejujuran yang terlontar dari Alina. Rose menatap Alina dengan penuh kebingungan dan sedikit kekecewaan. "Tolong lupakan itu, Alina. Ayahmu sudah meninggal dan aku berhak menentukan masa depanmu," ujarnya dengan suara tegas. Alina tersenyum sinis, menunjukkan ketidaksetujuannya. "Berhentilah mengatur hidupku. Bersikaplah seperti kemarin-kemarin, yang acuh tak acuh padaku dan lebih peduli pada anak tirimu," kata Alina dengan nada penuh penolakan. " Aku akan tetap menikah dengan Adi, restu paman sudah aku dapat." Rose menggerutu, "Kapan kamu bertemu Danu?" Namun Alina dengan ringan menjawab, "ya. Kemarin aku pulang pergi dalam sehari." Rose tidak percaya. "Ga mungkin. Mana ada, Alina. Ke desa tempat pamanmu tinggal itu perlu dua belas jam. Mana ada sehari bisa pulang pergi." Alina memperjelas, "Ya itu kan kalau perjalanan darat. Aku ke sana naik helikopter." Rose tertawa dan berseru, "Mimpi! Kamu punya uang berapa bisa sewa helikopter. Adi juga hanya sopir." Alina hanya menghela nafasnya. "Sudah ya, bu. Jangan urusi hidupku lagi. Aku muak," ujarnya dengan tegas sebelum membuka pintu kosannya. “Silahkan pulang saja ke rumah hasil curian dariku,” ujar Alina. Rose mengerutkan keningnya lalu ia berdiri dan pergi dari sana dengan hasil nihil. Upayanya membujuk Alina agar mengurungkan niatnya untuk menikah dengan Adi pupus sudah. Rose berkata sambil berjalan menjauhi kosan Alina, “anak keras kepala. Sesudah nikah, menderita baru tahu rasa!” Setibanya di rumah, Rose di sambut oleh Damian. Di ruang tamu, Rose dan Damian duduk “Jadi bagaimana? Apakah kamu berhasil membujuk Alina agar tidak menikah?” Tanya Damian. Rose menjawab, “Tidak. Dia kukuh ingin tetap menikah dengan sopir itu. Biarlah, anak itu memang keras kepala. Aku tak mau mengurusi hidupnya lagi.” Damian pun mencibir, “Ah, dasar kamu aja ga bisa bujuk.” Rose menggeleng, lalu ia menatap Damian dengan tatapan tajam, “Kenapa sekarang kamu sangat ingin Alina tidak menikah sih?” Damian menjawab dengan entengnya, “Ya biar dia bisa menikah dengan orang kaya. Kalau kita bisa mengaturnya kan kita juga akan dapat bagian.” Rose pun berkata, “Suruh saja anakmu.” Damian pun bertanya, “loh kok harus nyuruh anakku?” “Ya habisnya kamu diktator sekali!” Perdebatan pun pecah di antara Rose dan Damian. Di depan gang Alina, Adi tiba dengan mobil mewah yang sama seperti kemarin. Kali ini, Adi yang menyetir. Alina naik ke mobil, duduk di samping Adi. “Selamat pagi, Alina. Siap untuk pergi ke rumah kakekmu?” “Ya,” jawab Alina singkat. Mereka berangkat menuju rumah kakeknya Adi dengan pemandangan kota di pagi hari. Mobil yang ditumpangi oleh Alina dan Adi mulai memasuki gerbang yang cukup tinggi. Dua satpam yang berjaga menunduk saat mobil melewatinya. Alina menatap ke arah Adi, namun Adi tetap fokus mengemudi. Mereka melanjutkan perjalanan hingga mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah mewah itu. Alina memandang Adi dengan ekspresi penasaran. Adi memutar kepalanya sedikit ke arah Alina, tersenyum, “Kakekku memang selalu ketat soal keamanan.” Mereka keluar dari mobil dan disambut oleh pelayan yang membuka pintu utama rumah mewah tersebut. ‘Jadi kakeknya Adi itu orang kaya?’ Batin Alina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN