Puspa

1366 Kata
PERNIKAHAN Part 3 Puspa Keguguran? Puspa tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Dua hari yang lalu dia kebingungan saat tahu positif hamil. Bagaimana cara memberitahu suaminya? Sedangkan Bram sangat dingin dan mendiamkannya. Kalau diberitahu apakah Bram percaya kalau itu anaknya? Harusnya Bram percaya. Sebab di hari pernikahan mereka Puspa sedang haid dan suaminya tahu hal itu. Kemudian Bram ke Semarang selama lima hari. Setelah pulang Sony sakit typus dan mesti opname. Setelah suasana stabil, suatu malam menjadi milik mereka. Dirinya memang salah. Tapi Puspa hanya berusaha menutup aibnya sendiri. Luka yang pernah membuatnya putus asa dan putus harapan. Berharap mendapatkan sandaran, tapi suami yang berpengalaman tahu dan tidak bisa terima. "Kenapa tadi kamu nggak cerita kalau lagi hamil?" tanya Pipit yang membantunya minum air putih. Puspa tidak harus di kuret karena janinnya yang baru berumur sekitar empat minggu sudah luruh semua. Dia hanya perlu minum obat dan istirahat. "Masih terlalu awal kalau kuceritakan, Pit." "Kamu telepon dulu suamimu. Pak Bram harus dikabari." "Nggak usah." "Loh, kok nggak usah?" "Mas Bram nggak di rumah, Pit. Lusa baru kembali dari Surabaya," jawab Puspa dengan suara lemah. Di area bawah sana terasa nyeri. Perutnya juga tidak nyaman. Sejak tadi malam sebenarnya dia sudah merasakan hal itu. Dipikirnya wanita hamil pasti akan mengalaminya. Ternyata pagi ini dia keguguran. Tadi Puspa mampir ke rumah sahabatnya setelah mengantarkan Sony ke sekolah. Mungkin terlalu stres yang menyebabkan janin itu tidak bisa bertahan. d**a Puspa terasa sebak. Bayangan sikap Bram yang begitu dingin berkelindan dalam benak. Sedih sekali rasanya. Air mata mengalir dari sudut netra. Pipit menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Yang ia tahu, pasti Puspa sangat sedih kehilangan calon bayinya. Ah, Pipit tidak tahu apa-apa karena Puspa tidak pernah bercerita pada sahabatnya. Sedekat apapun mereka, tapi aib itu dan segala permasalahannya dengan Bram, cukup dipendam sendiri. Kecuali sikap Vanya yang tidak bisa menerimanya sebagai ibu tiri diketahui oleh Pipit. "Pit, temani aku di sini dulu ya. Beberapa jam lagi aku bisa minta pulang. Toh aku sudah nggak apa-apa." "Kamu perlu perawatan paling tidak sampai besok." "Nggak usah. Dokter bilang kalau aku sudah lebih baik, boleh pulang." "Kamu nggak ngabari orang tuamu juga?" Puspa menggeleng. "Belum ada yang tahu aku hamil. Biar saja. Lagian janin ini sudah nggak ada." Pipit heran memperhatikan sahabatnya. Kondisi seperti ini seharusnya dia butuh support dan perhatian terutama dari suami. Tapi kenapa Puspa justru tidak ingin memberitahu mereka. Dia mengenal baik Puspa sebagai gadis yang periang. Namun sekarang terlihat memiliki beban. "Puspa, kamu ada masalah?" "Nggak ada. Aku hanya sedih. Oh ya, Pit. Gimana aku bisa pulang dengan memakai celana penuh darah ini. Bisa minta tolong untuk membelikan rok dan celana dalam untukku?" "Aku bisa ke rumahmu untuk mengambilkan baju ganti." "Nggak usah. Tolong belikan saja, ya. Nggak perlu bagus yang penting bisa kupakai ganti untuk pulang. Uangnya ada di tasku itu." Puspa memandang atas meja. Pipit yang curiga dengan sikap sahabatnya, bangkit dan mengambil tas di meja. Setelah Puspa memberikan uang, gadis sebaya dengan Puspa melangkah pergi. Air mata Puspa mengalir deras setelah Pipit keluar. Inikah jalan terbaik untuknya? Lebih baik janin itu gugur di tengah kemelut rumah tangganya. Belum tentu Bram bahagia mengetahui kehamilannya. Andai dia ingin memastikan itu anaknya apa bukan, Bram bisa melakukan tes DNA. Tapi tidak menjamin lelaki itu bisa menerima, walaupun anak itu benihnya sendiri. Memiliki anak dari perempuan ternoda, mungkin bukan keinginannya. Bisa jadi sekarang Bram telah merencanakan perpisahan. Dia hanya menunggu waktu yang tepat karena sang mama masih dalam keadaan kurang sehat. Dan Puspa harus siap jika saat itu akhirnya tiba. Secepat inikah? ***L*** "Puspa, kalau kamu ada masalah. Ceritakan padaku. Nggak mungkin kamu bisa memendam semuanya sendirian. Ada apa, sih? Kamu nggak bahagia dengan pernikahanmu? Aku tahu Vanya nggak menyukaimu." Pipit khawatir melihat Puspa. "Aku hanya sedih karena keguguran, Pit. Soal Vanya, sudah kuanggap hal biasa. Nggak semua anak tiri bisa menerima sepenuh hati kehadiran bapak atau ibu tirinya. Begitu juga sebaliknya." "Tapi kenapa kamu nggak mau ngabari suamimu kalau kamu keguguran?" "Setelah Mas Bram pulang, pasti kukasih tahu. Kalau sekarang kukabari, aku khawatir akan membuatnya cemas." "Oh, ya sudah. Kirain kamu lagi ada masalah." Puspa tersenyum getir. Ponsel Pipit berdering dan gadis itu keluar dari kamar perawatan. Air mata Puspa kembali tumpah. Sesalnya begitu dalam. Seharusnya dia jujur saja sejak awal. Kehilangan Bram sebelum pernikahan terjadi, tentu lebih baik daripada menjalani keadaan seperti ini. Dirinya serasa sangat tidak berharga di hadapan lelaki rupawan itu. Tentu Bram menyesal. Kenapa setelah kehilangan bidadari, sekarang mendapatkan perempuan sehina dirinya. Malam sebelum keberangkatan Bram ke Surabaya, ia mendapati lelaki itu termenung di ruang kerja. Menghadap foto keluarganya yang masih tergantung di dinding. Foto-foto mantan istrinya masih terpasang rapi di kamar anak-anak dan ruang kerjanya. Kalau di dinding ruang keluarga sudah diturunkan semua. Dirinya bukan pengganti wanita itu. Karena selamanya Sandra tidak akan pernah tergantikan. Istilahnya sekarang, Bram hanya melanjutkan hidup dengan menikahinya. Semua sudah habis untuk orang lama. Kalimat yang pernah seliweran dan ia baca di beranda akun media sosialnya, kini menjadi kenyataan dalam hidupnya. Ah, andaian Puspa jadi ke mana-mana. Menerka-nerka sendiri. Dia tidak bermaksud menipu, dia hanya ingin Bram bisa menerima apa adanya. Seperti dia yang rela dan bersedia menjadi ibu sambung untuk Vanya dan Sony. Akan tetapi, lelaki punya egoisme yang mutlak mengenai hal itu. Dia memiliki segalanya, tidak hanya wajah tampan, badan bagus, suara nge-bass, bisnis sukses, dan kaya. Apa yang kurang coba? Makanya dia juga menginginkan perempuan sempurna. ***L*** "Bunda, sakit ya. Wajah Bunda pucat gitu." Sony yang sedang makan malam memperhatikan Puspa yang duduk di depannya. "Saya hanya masuk angin, Dek. Yuk, dihabisin makannya. Terus salat Isya." "Bunda gitu lho, Bun. Jangan 'saya'." "Iya," jawab Puspa sambil tersenyum. Mereka hanya makan malam berdua saja. Vanya memilih makan di kamar. Setiap kali papanya tidak ada di rumah, anak itu semaunya sendiri dan tidak pernah mau mendengar apa yang dikatakan Puspa. "Bunda, sudah minum obat?" "Sudah tadi." "Papa pulang kapan, Bun?" "Besok kalau nggak lusa, Dek." Percakapan mereka terhenti saat ponsel milik Sony berdering di meja. "Papa telepon, Bun." Wajah bocah lelaki itu spontan berbinar. "Jawab saja. Tapi nggak usah bilang kalau bunda sakit, ya." "Kenapa?" "Nggak apa-apa. Bunda hanya masuk angin. Sekarang sudah lebih baik." Puspa tersenyum seramah mungkin supaya Sony percaya. "Angkat teleponnya." Sony menjawab telepon. Sedangkan Puspa bangkit dari duduknya untuk membawa piring Sony yang sudah kosong ke dapur. Tubuhnya masih terasa lemas. Untuk berjalan saja masih susah. Namun Puspa memaksakan diri. Biasanya sore hari, dia ke rumah mama mertua untuk menemani meski hanya sejenak. Tapi sore tadi dia tidak sanggup berjalan walaupun rumah sang mertua hanya dipisahkan oleh halaman samping. Semoga saja waktu Bram pulang nanti, dia sudah pulih. ***L*** "Kak, pamitan dulu dong sama, Bunda!" Sony menegur kakaknya yang membuka pintu mobil. Namun Vanya melengos tidak peduli dan langsung masuk mobil. Membuat sang adik berdecak lirih. "Bun, Sony berangkat sekolah dulu ya. Kalau Bunda nggak sakit, Sony malah senang di anterin Bunda saja." Bocah lelaki itu mencium punggung tangan Puspa. "Nanti kalau sudah sembuh, Bunda yang antar jemput Sony lagi." "Oke, Bun. Tadi malam papa bilang kalau sore nanti papa sudah pulang." Puspa mengangguk meski dalam d**a deg-degan. Jadi Bram tidak jadi pulang besok? Mana kondisinya belum pulih benar. Tapi apa mungkin Bram peduli. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Bram tidak mungkin seperti suami lainnya yang melepas rindu setelah beberapa hari tidak bertemu istrinya. Bram sudah enggan menyentuh. Setelah melambaikan tangan pada Sony, Puspa kembali ke dalam. Dia langsung ke kamar dan mengganti seprai serta membersihkannya. Termasuk memasang pengharum ruangan. Beberapa skin care-nya di atas meja rias dimasukkan ke dalam pouch dan disimpan dalam lemari. Jika mau pakai tinggal membawanya keluar kamar. Selama menunggu sore, Puspa tidak tenang. Setelah Bram pulang apa yang akan terjadi. Andai saja dia berani mengambil keputusan untuk pergi, sudah ia lakukan. Tapi dia tidak akan pergi tanpa memberikan penjelasan. Jika dia pergi, hanya akan meninggalkan kekacauan. Namun ia takut sekali. Jika Bram tahu, apa keadaan tidak lebih buruk lagi. Puspa belum mengenal lebih jauh bagaimana suaminya ini. Semua orang mengenalnya sebagai lelaki yang baik. Sebagai bos, sebagai tetangga, sebagai warga desa yang baik. Tapi untuk pasangannya, Puspa belum mengenal secara mendalam. Wanita itu berjingkat saat mendengar suara mobil Bram memasuki garasi. Ternyata suaminya pulang lebih cepat dari perkiraannya. Next ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN