Kirana duduk di balik meja sekretaris dengan jemari yang sibuk mengetik agenda rapat untuk minggu depan. Suasana lantai eksekutif siang itu cukup tenang, hanya deru AC dan bunyi telpon sesekali yang terdengar. Tapi ketenangan itu hancur detik saat pintu lift utama terbuka dan seorang wanita berambut panjang bergelombang masuk dengan langkah angkuh.
Sepatu hak stiletto mengklik lantai marmer, dan dress bodycon hitam ketat membalut tubuh semampainya. Belahan d**a wanita itu begitu rendah hingga hampir menyentuh pusar. Kirana mendongak dari layar laptopnya, menatap wanita itu dengan dahi berkerut.
“Permisi, saya ada janji dengan Tuan Devano,” ucap wanita itu dengan nada manja, menyibakkan rambutnya ke belakang sambil tersenyum tipis penuh arti.
Kirana hanya mengangguk tanpa menjawab, mencatat nama wanita itu cepat-cepat, lalu menekan interkom ke dalam ruangan Devano.
“Ada tamu atas nama Ayla Lestari, katanya ada janji.”
Tak lama, suara Devano terdengar datar dari speaker interkom. “Suruh masuk.”
Kirana menahan dengus napasnya, berusaha tetap tenang. Namun matanya mengikuti setiap langkah Ayla yang melenggak masuk ke dalam ruangan itu, pintu tertutup perlahan di belakangnya.
Detik itu juga, d**a Kirana terasa panas. Ada sesuatu yang menggerogoti hatinya. Kecemburuan? Iya. Tapi lebih dari itu, ia merasa tidak dihargai. Dirinya adalah istri sah. Sekretaris pribadi. Namun wanita itu… datang dengan pakaian menggoda dan disambut begitu mudahnya.
Menit demi menit berlalu.
Kirana melirik jam tangan. Sudah hampir tiga puluh menit wanita itu di dalam ruangan suaminya. Perasaan Kirana semakin tidak karuan. Ia mencoba mengalihkan diri dengan mengetik laporan, memeriksa surel, bahkan pura-pura menelpon bagian HRD. Tapi pikirannya tetap pada satu: apa yang mereka lakukan di dalam?
Lalu…
Klik.
Pintu ruangan terbuka.
Ayla keluar. Dan pemandangan yang Kirana lihat langsung menusuk ke ulu hati.
Lipstik merah wanita itu sudah berantakan, membekas hingga ke bagian pipi. Rambutnya kusut tidak beraturan, dan bahu kanan dress-nya melorot, nyaris jatuh. Ia tampak mengusap lehernya dengan tisu, lalu berjalan melewati meja Kirana dengan senyum penuh kemenangan.
“Terima kasih, Mbak Sekretaris,” ucap Ayla sambil mengedipkan mata satu kali, sinis.
Kirana mengepalkan tangan di bawah meja. Napasnya mulai memburu. Amarah naik ke ubun-ubun. Matanya menatap tajam ke arah pintu yang baru saja ditutup wanita itu.
Apa yang barusan terjadi?
Apakah Devano benar-benar melakukannya?
Dengan wanita itu?
Di siang bolong, di ruang kerjanya sendiri?
Dan dia—Kirana, istri sahnya, hanya duduk di luar ruangan seperti penjaga gerbang tak berguna.
Tangannya yang mengepal mulai gemetar. Tapi Kirana menolak untuk menangis. Tidak hari ini. Tidak karena wanita berpakaian murahan seperti Ayla.
Dengan langkah cepat dan d**a membara, ia berdiri dari kursinya. Menyusun kembali napasnya, lalu mengetuk pintu Devano sekali.
Tidak menunggu jawaban, ia langsung membuka pintu.
Ruangan itu sedikit gelap karena tirai tertutup setengah. Devano tengah berdiri membelakangi meja, membuka jasnya dan meletakkannya di sofa.
“Kau benar-benar menjijikkan,” ucap Kirana tanpa basa-basi.
Devano menoleh, alisnya naik. “Apa maksudmu?”
Kirana melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Wanita itu. Ayla. Dia keluar dari ruangan ini seperti… seperti dia baru saja keluar dari ranjang seseorang!”
Devano memutar matanya. “Kirana, jangan bersikap kekanak-kanakan. Aku hanya bertemu klien. Tidak lebih.”
“Oh ya?” Kirana menyeringai penuh amarah. “Klien? Dengan lipstick belepotan dan dress melorot? Kau pikir aku bodoh, Devano?”
Devano menghela napas panjang, lalu mendekat perlahan. “Percayalah, tidak ada apa-apa.”
Kirana mendorong d**a suaminya. “Jangan menyentuhku. Kalau kau ingin bermain-main di belakangku, kenapa kau repot-repot menikahiku, hah? Kenapa tidak terus saja hidup dengan semua wanita-wanita jalang seperti Ayla itu?”
Wajah Devano menegang. “Hati-hati dengan kata-katamu, Kirana.”
Kirana mengangkat dagunya dengan sorot mata menusuk. “Tidak. Kali ini aku tidak akan diam. Aku istrimu, Devano. Aku punya hak. Dan aku tidak akan membiarkan w************n seenaknya keluar masuk ruang kerjamu seolah aku tidak ada!”
Devano menatap Kirana tajam. Namun ada kilatan berbeda dalam matanya. Marah… tapi juga kagum. Kirana tak pernah seberani ini. Ia biasanya hanya menggoda atau protes manja. Tapi sekarang, ada bara api dalam kata-katanya. Ada nyala yang meledak.
Setelah beberapa detik hening, Devano berkata, “Baik. Mulai besok, aku akan membuatkan sistem khusus untuk tamu perempuan. Mereka tidak boleh masuk sebelum mendapat izin langsung darimu.”
Kirana sempat tercengang.
“Aku juga akan membuat kode berpakaian untuk para tamu wanita,” tambah Devano, berbalik mengambil jasnya lagi. “Tapi satu hal yang perlu kau tahu, Kirana. Aku tidak menyentuh wanita itu. Dia memang datang dengan niat menjebak. Dan aku sengaja membiarkannya keluar seperti itu agar kamu tahu siapa dia sebenarnya.”
Kirana mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Devano menatap Kirana dalam-dalam. “Aku tahu kamu memperhatikanku. Dan aku ingin kamu tahu, Kirana, aku tidak semudah itu tergoda.”
Hati Kirana berdebar. Wajahnya mulai memerah, bukan karena marah… tapi campuran malu dan haru.
Devano melangkah mendekat, berdiri sangat dekat hingga napas mereka bertemu. “Kamu istri yang sah. Dan tidak akan ada wanita yang bisa menggantikanmu, Kirana.”
Kirana menunduk, menahan gejolak emosinya. Tapi Devano mengangkat dagunya pelan, menatap wajah istrinya yang kini memerah.
“Mulai malam ini… tidak ada lagi pisah kamar,” ucap Devano pelan, tegas. “Kamu ikut aku.”
Mata Kirana membulat, napasnya tercekat.
“A-apa?”
“Kamu ingin aku tidur sekamar denganmu, bukan?” tanya Devano datar.
Kirana mengangguk pelan, dadanya bergetar hebat.
“Kalau begitu, siapkan barangmu malam ini. Kita tidak hanya akan sekamar…” bibir Devano menyentuh telinga Kirana, suaranya serak, “kita akan jadi pasangan sungguhan.”
***
Di pojok kafe yang hangat dan penuh wangi kopi arabika, Kirana duduk manis dengan tangan membelai gelas latte-nya. Uap panas menari lembut ke udara, tapi bukan itu yang membuat wajah Kirana memerah hari ini—melainkan kata-kata Devano yang terus berputar di dalam kepalanya sejak pagi.
"Mulai malam ini… kita akan jadi pasangan sungguhan.”
Pasangan sungguhan.
PASANGAN SUNGGUHAN!
Telinga Kirana seperti berdenging bahagia. Itu berarti Devano tidak akan lagi tidur sendirian di kamarnya. Itu berarti mereka akan satu ranjang. Itu berarti…
Senyuman licik merambat di wajahnya. Seulas senyum penuh rencana. Seulas senyum wanita yang tahu dia akan menang.
“Kalau sudah sekamar,” bisik Kirana pada dirinya sendiri, “bisa aku buat dia lengket seperti lem tikus…”
Ia menyesap kopinya pelan, seolah menyembunyikan gejolak liar dalam dadanya. Tapi pikirannya sudah melambung jauh—hingga ke malam-malam panas penuh debaran, di mana Devano tak lagi bisa mengelak dari godaan dan rayuannya.
“Aku akan buat dia jatuh sejatuh-jatuhnya,” bisiknya pelan. “Dan kalau aku hamil? HA!”
Tiba-tiba tawa Kirana meledak.
“HAHAHAHAHAHA!”
Keras. Panjang. Dan begitu menggelegar, hingga seisi kafe sontak menoleh. Beberapa pengunjung yang tengah serius dengan laptop mereka menghentikan aktivitasnya. Seorang ibu muda memeluk bayinya erat. Seorang barista sampai menghentikan aliran espresso dari mesin.
Mereka semua menatap Kirana seolah dia telah kehilangan akal sehat.
Kirana tak peduli. Dia masih tenggelam dalam pikirannya. Di kepalanya, ia sudah membayangkan dirinya berjalan anggun dengan perut membuncit, semua karyawan di Horison Corp menunduk hormat, sementara Devano menggandeng tangannya penuh cinta, bangga telah menghamili wanita secantik dirinya.
“Kalau aku hamil… dia tidak bisa menceraikanku!” serunya dalam hati. “Hahaha! Kirana kamu jenius!”
Tawa kecil kembali meletup. Kali ini dengan sedikit nada manja. Kirana kemudian mengambil ponselnya, membuka galeri, dan mulai memilih-milih baju tidur yang paling tipis dari koleksi mahalnya.
“Yang ini terlalu imut… yang ini terlalu biasa… hmm…” matanya menyipit. “Ah, yang satin merah ini… pas! Pas untuk malam pertama kami yang sesungguhnya…”
Ia kembali tertawa kecil, geli sendiri dengan fantasinya.
Tiba-tiba, suara notifikasi muncul. Pesan dari Devano.
>“Aku akan pulang lebih awal. Siapkan kamarmu.”
Darah Kirana seakan meletup. Matanya membelalak, jantungnya seperti akan melompat keluar dari d**a.
“SIAPKAN KAMARMU???”
Itu kode.
Itu sinyal.
Itu tanda!
Kirana sontak berdiri dari kursinya. Kursi kayu bergeser keras, membuat beberapa pengunjung kembali menatap. Tapi dia tak peduli. Dengan langkah cepat penuh semangat, ia membayar kopinya dan melangkah keluar dari kafe.
Angin sore menerpa wajahnya. Tapi Kirana melangkah seperti pahlawan wanita dalam film perang—gagah, percaya diri, dan siap meluncur ke medan pertempuran. Bedanya, medan tempur Kirana adalah kamar tidur mereka malam ini.
---
Di dalam kamar Kirana, malam itu…
Ruangan telah ia atur sedemikian rupa. Lampu diganti dengan lampu pijar kekuningan yang remang-remang. Tirai ditutup, ranjang ditaburi kelopak bunga. Wangi aromaterapi vanilla dan mawar menguar lembut di udara. Musik jazz mengalun dari speaker bluetooth di sudut ruangan.
Kirana berdiri di depan cermin, mengenakan gaun tidur satin merah yang membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Belahan dadanya dibuat rendah, punggungnya terbuka. Rambutnya digerai lembut, dan bibirnya dilapisi lipstik merah anggur.
Dia menatap bayangannya di cermin.
“Kau siap, Kirana. Ini malammu. Dia akan takluk.”
Dan ketika pintu kamar terbuka, sosok Devano berdiri di ambang pintu, diam.
Kirana perlahan berbalik.
“Malam, Tuan Suami,” ucapnya pelan, suaranya manja dan lembut seperti bisikan.
Devano masih diam. Matanya turun naik menelusuri tampilan istrinya dari ujung kaki hingga helai rambut teratas. Rahangnya mengeras. Napasnya sedikit tertahan. Ia menutup pintu perlahan.
“Kau serius dengan semua ini?” tanyanya, langkahnya mendekat perlahan.
Kirana menatap tajam. “Kau yang bilang kita akan jadi pasangan sungguhan…”
Devano menghentikan langkahnya di hadapan Kirana, menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu. Bukan hanya nafsu. Tapi juga perasaan. Gairah. Bahkan… rindu yang tak disadari.
Kirana meletakkan tangannya di d**a Devano.
“Jangan cuma jadi suami di atas kertas, Devano… Aku ingin jadi wanita yang membuatmu tak bisa tidur malam tanpa menciumku…”
Devano menarik napas tajam.
Dan dalam satu gerakan, ia menarik Kirana dalam pelukannya—mencium bibir istrinya dengan penuh hasrat, tanpa ragu, tanpa jarak.
Kirana membalas ciuman itu dengan semangat. Tubuh mereka melebur dalam irama yang akhirnya berpadu, menyatu, menari dalam keintiman yang selama ini terpendam. Dan Kirana bersumpah tidak akan melepaskan Devano selamanya!