Part 16: Posesif

1841 Kata
"Untuk rapat nanti tolong handle dulu karena saya sepertinya akan terlambat datang," instruksinya pada sekretarisnya di seberang. "Baik, Bu." Rahel selanjutnya mematikan teleponnya, tepat ketika sebuah tangan melingkar di pinggangnya. "Pagi." Sapa Lucas serak dengan suara khas bangun tidur. Rahel merapikan rambut Lucas yang berantakan, "maaf suaraku keras ya?" "Nggak kok, aku memang sudah bangun saja." Balas Lucas ikut duduk bersandar di kepala ranjang, "aku laper..." rengeknya manja sekali. Anehnya bukannya merasa geli Rahel justru merasa gemas dengan tingkah lelaki ini, "kamu bersihin muka dulu biar aku pesankan makanan." Lucas tersenyum ceria, "makasih!" sebuah kecupan ringan ia daratkan di pipi Rahel sebelum ia beranjak, membuat Rahel mengelus pipinya dengan gelengan pelan. "Dasar," kekeh Rahel lalu ikut beranjak untuk memesan makan. *** "Jangan pulang malem-malem ya," pesan Lucas hari itu entah kenapa jadi manja sekali. Rahel agaknya tidak keberatan dengan tingkah Lucas, justru tersenyum kecil sembari mengelus lembut kepalanya. "Kenapa hari ini kamu manja sekali sih," herannya. "Mungkin karena habis tidur sama kamu jadi rasanya aku pengen mempel mulu sama kamu." Ujarnya blak-blakan seperti biasa tanpa filter. Rahel jelas mendelik horor, masalahnya sekarang bukan hanya ada mereka berdua saja yang tentu saja membuat Rahel jadi panik takut semua orang salah paham. Sedangkan para pembantunya yang mendengar hal itu langsung kompak membuang muka merah malu. Rahel memijit pangkal hidungnya, entah sejak kapan jadi mulai pasrah dengan sikap menyebalkan Lucas. "Diam dasar bocah nakal!" delik Rahel mencicit yang justru dibalas Lucas dengan tawa renyahnya. "Dah, hati-hati ya sayang." Rahel mendengus kecil namun selanjutnya memilih segera masuk mobil untuk beranjak pergi, mengurusi lelaki semacam Lucas tidak ada habisnya. Setelah kepergian Rahel senyuman Lucas luntur dan tangannya yang tadi melambai langsung turun merogoh benda pipih di sakunya yang sejak tadi bergetar tanpa suara. Melihat nama penelepon raut wajahnya seketika makin datar. 'Pak Tua.' *** Tok tok tok. "Masuk." Terlihat sekretarisnya langsung berjalan masuk dengan sedikit buru-buru menandakan apa yang akan dia katakan adalah hal penting. "Ada apa?" "Pak Presdir datang, Bu." Meskipun terlihat tidak menampilkan ekspresi berarti namun pupil mata Rahel nampak membesar untuk sesaat. Rahel menghela napas perlahan, tanpa diminta langsung berdiri dari tempat duduknya. "Dan sekarang Ibu dipang–" "Hm, aku mengerti. Keluarlah." Titahnya membuat sekretarisnya itu patuh pergi meskipun dengan wajah sedikit cemas. Rahel menunduk mengambil berkas dengan map sampul berwarna biru tua lalu menetengnya pergi dengan langkah pasti dan wajah tanpa ekspresi, beberapa petinggi yang sedang mengerubungi untuk bercakap (cari muka) pada orang paling tinggi di perusahaan itu kompak menatapnya yang baru datang dengan tatapan yang sinis. Rahel mengabaikan semuanya, memilih tetap fokus berjalan meskipun sekarang semua pandangan sedang tertuju kepadanya. "Selamat siang Pak, ini berkas kontrak dengan J'Er Company." Rahel langsung menyerahkan berkas di tangannya dengan hormat. Lelaki paruh baya dengan rambut hampir tertutup uban sepenuhnya, wajah keriput samar, namun tubuhnya masih tegap terjaga itu menatapnya sejenak menimbulkan keheningan singkat disana. Sampai tak lama ... "Hohoho kamu masih saja kaku, saya memanggil kamu bukan untuk masalah pekerjaan kok, ini saya bawa oleh-oleh dari Italia untuk dibagikan ke kalian semua." Balasnya, wajahnya yang ketika diam tadi tegas serius ternyata hanya cover karena ketika lelaki itu berbicara suasananya sangat ceria. Rahel menurunkan tangannya yang memegang berkas. "Maaf saya tidak peka, terimakasih atas oleh-olehnya Pak." Respon Rahel sedikit menundukkan kepalanya. Prabudi dengan statusnya sebagai Presdir nyatanya tidak membuat lelaki paruh baya itu tinggi hati, bahkan ia selalu ramah kepada semua karyawannya, namun jangan dikira ia bodoh, karena jika ada karyawannya yang melanggar aturan dan berbuat hal curang ia akan membalasnya berkali-lipat tanpa belas kasihan. Itulah kenapa meskipun dirinya sangat humble tidak serta merta membuat semua pegawainya jadi bertindak sesuka hati. Prabudi menatap Rahel sejenak, nampak berpikir beberapa saat sebelum akhirnya berujar perlahan. "Saya dengar kabar mengenai Direktur J'Kop Company..." Rahel yang mendengar ucapan yang lebih seperti menggantung itu tidak bereaksi lebih, berita tertangkapnya Direktur satu itu memang begitu menghebohkan khususnya di kantornya, sudah menjadi rahasia umum jika orang-orang mengetahui sifat busuk lelaki tua yang m***m itu, namun selama ini tidak ada yang berhasil menjebloskan lelaki itu ke penjara jadi datangnya berita ini tentu saja sangat menggemparkan semua orang. "Kamu tidak papa?" tanya Prabudi menatapnya lurus. Rahel mengangkat dahinya yang berkerut sesaat, tak lama tersenyum formal. "Iya, saya baik-baik saja." Prabudi menghela napas sesaat, sangat tau tentang sikap Rahel yang selalu mengatakan baik-baik saja meskipun sebenarnya tidak baik-baik saja yang tentu saja membuatnya heran, kenapa wanita ini begitu kuat menanggung semuanya sendirian. "Baik kalau begitu saya pamit undur diri, masih ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan," Rahel menunduk hormat, Prabudi hanya mengangguk sebagai balasan, selanjutnya Rahel melenggang pergi diikuti tatapan senang semua orang disana yang sejak tadi menatapnya sinis. Rahel tidak begitu menghiraukan, toh mereka begitu karena takut kalah saing dengan dirinya. *** "Halo?" Rahel sedikit mengernyit karena tiba-tiba mendapatkan telepon dari Lucas. Terdengar suara sedikit riuh dari seberang, "aku hari ini pulang agak terlambat soalnya sedang kerja kelompok." Jelas Lucas membuat Rahel mengerjap. "Jam berapa?" "Hm ... entahlah." Rahel menghela napas, "yaudah, tapi nanti kabari kalau mau pulang, biar aku suruh supir jemput kamu." "Ah sayangku memang yang terbaik," kekeh Lucas membuat Rahel mencibir tanpa suara, namun tak lama kemudian raut wajah Rahel menegang ketika mendengar suara asing yang berada tepat di sebelah Lucas. "Cas minta tolong bukain botol gue dong." "Elah manja banget, suruh Alif sana, gue lagi sibuk." "Cuma bukak doang pelit banget lo!" terdengar nada merajuk disertai dengusan kecil, Rahel masih setia mendengarkan lewat microphone handphonenya. "Iya iyaaa ini aku bukain," kekeh Lucas dan selanjutnya Rahel kurang bisa mendengar lagi percakapan mereka karena sepertinya Lucas meletakkan handphonenya asal ke atas meja. Rahel tanpa sadar meremat handphone di tangannya dengan mata menajam, baru kali ini Lucas mengabaikan teleponnya! "Hel Kayaknya aku harus tutup teleponnya soalnya udah mulai ngerjain tugas. Bye." Tut. Rahel tercengang, terperangah, sampai speechless tak percaya. Tanpa sadar ia melepas kasar kancing di kerah kemejanya yang terasa mencekik. "Apakah AC nya mati, kenapa panas sekali!" desisnya mengipasi lehernya dengan tangan. *** Rahel awalnya membaca buku santai di kamarnya, namun ketika melihat sebuah mobil asing berhenti di halaman rumahnya dan tak lama keluar 3 orang dari sana Rahel entah sejak kapan sudah berdiri sempurna di pinggir jendela. Bola mata Rahel tidak bisa untuk tidak membesar sempurna saat melihat seorang gadis ikut keluar dari dalam mobil, entah apa yang mereka bicarakan tapi Rahel langsung tercenung saat melihat Lucas tertawa renyah bersama gadis itu. Sepertinya ini pertama kalinya ia melihat pemuda itu sebahagia ini. Rahel menelan ludah, akhirnya memilih kembali ke tempat duduknya semula seolah tidak terjadi apapun. Namun jujur sekarang perasaannya begitu kacau. Ia akui Lucas memang populer, bahkan sejak kemarin ia sudah dibuat cemas oleh gadis-gadis yang berusaha mendekati Lucas, namun tidak mungkin ia bisa mencegah semuanya, bahkan sekarang ia merasa sangat rendah karena tidak betani untuk keluar dan mengatakan jika ia adalah kekasih Lucas. Ia takut mempermalukan Lucas di depan teman-temannya. Ceklek. "Kukira kamu sudah tidur," Lucas tersenyum kecil, segera beranjak mendekati Rahel dan memeluknya. "Aku capek banget," adu Lucas merengek manja. "Istirahatlah ke kamarmu, aku akan meminta pelayan membawakan makan ke kamarmu." Rahel berusaha senatural mungkin menghindari pelukan Lucas namun ternyata lelaki itu jauh lebih peka daripada bayangannya. "Kenapa?" "Hm?" Rahel terkesiap. Lucas menatap serius Rahel, "ada masalah di kantor?" selidiknya membuat Rahel sampai kaget dengan kepekaan Lucas. "Nggak kok." "Lalu kenapa?" "Kenapa apanya sih!" Lucas memegang rahang bawah Rahel dan menatap wajahnya lamat-lamat yang membuat Rahel berusaha menghindari tatapannya kikuk. "A-apa yang sedang kamu lakukan sih!" "Cerita kalau ada yang membuatmu kesal, kenapa kamu senang sekali sih memendam semuanya sendirian." Lucas tidak peduli sekalipun sekarang ia dikatakan posesif, sejujurnya ia sedikit kecewa karena wanita ini sepertinya belum mau terbuka sepenuhnya kepadanya. Melihat tidak ada respon dari Rahel membuat Lucas hanya bisa tersenyum kecut. "Yaudah aku ke kamar dulu." Ia akhirnya berbalik, dan melenggang keluar dari kamar itu. Dengan Rahel yang hanya terdiam kaku menatap punggung Lucas. *** Tok tok tok. "Permisi Tuan, saya membawakan makanan untuk." Lucas melirik pintu sesaat kemudian membuang muka kembali dengan tidak minat. "Taruh saja di meja depan nanti aku ambil." Balasnya tanpa beranjak dari tempatnya, sekarang moodnya benar-benar sedang buruk. "Baik Tuan." Pelayan tadi kemudian pergi dari sana, setelah hubungannya dan Rahel diketahui banyak orang sekarang semua orang di rumah ini memperlakukannya dengan baik. Bahkan sekarang ia sudah bukan seperti pembantu di rumah ini. Tok tok tok. Lucas mendesah berat, "jangan ganggu aku!" pekiknya kesal. Hening. Lucas mendesah lega, memilih kembali menatap handphonenya, sejak tadi ia menunggu telepon dari Rahel namun sama sekali tidak ada tanda-tanda telepon dari wanita itu. Tok tok tok. Lucas kehabisan kesabaran, beranjak turun dari ranjangnya dan membuka pintu kamarnya dengan kasar. "KAMU..!" Lucas seketika terhenyak di tempat, menatap tak percaya kearah orang yang berdiri di depannya. "Rahel?" speechlessnya. Rahel mengangkat wajahnya, menatap Lucas dengan ekspresi tak terbaca. "Lucas." Lucas menelan ludah, ekspresinya langsung berubah canggung dan bingung, tentu saja keadaan sekarang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. "K-kenapa kesini?" Rahel tertegun, menunduk, lalu mengangkat kembali wajahnya, nampak gelisah. "Aku boleh masuk?" Lucas terkesiap, dan tidak lama mereka jadi bertatapan dengan tak terbaca. *** "Em ... maaf agak berantakan, aku rapikan dul–" Grep. Rahel memegang lengan Lucas, "tidak usah." Rahel berdehem, "maaf aku tiba-tiba datang." Lucas terkesiap, menggeleng kecil. "Nggak papa kok." Rahel menatap Lucas lembut, "kamu pasti capek ya dengan semua sikapku selama ini." Lirihnya, "jujur akupun juga muak dengan sikapku sendiri." Imbuhnya serak. Lucas tertegun sejenak, kemudian segera duduk di sebelah Rahel dan menggenggam lembut tangannya. "Ssshh gak papa kok, wajar jika terkadang kita jadi sensitif." Rahel menyondongkan badannya maju, memeluk Lucas duluan yang tentu saja membuat Lucas cukup syok. Namun meskipun begitu Lucas segera membalas pelukannya. "Siapa tadi cewek yang bersamamu?" "He?" Lucas cengo, "cewek siapa?" "Yang bersama kamu tadi." "Siapa– ... oh," Lucas membulatkan bibirnya, "mungkin maksudmu Dea, dia teman sekelompokku." Rahel bersandar di d**a Lucas, mendengar nama gadis itu disebut oleh lelaki ini membuatnya sangat kesal. "Kamu cemburu sama dia?" tebak Lucas menyengir jahil. Rahel langsung menjawab tanpa ragu, "pertama kalinya kamu abaikan teleponku dan itu hanya demi gadis lain, bukankah wajar jika aku cemburu." Lucas mengerjap cepat, sejujurnya tidak menduga jika Rahel cukup posesif, ia kira wanita ini cuek-cuek saja. Entah kenapa Lucas justru melambung senang karena sedang dicemburui wanita ini. "Maaf itu salahku," Lucas jadi merasa bersalah. Rahel menghela napas perlahan, tanpa diduga mencumbu bibir Lucas yang tentu saja membuat Lucas membeku syok di tempat, ia sepertinya mulai gila, rasanya ia benar-benar sangat ingin mengamankan lelaki ini dari wanita manapun. Tanpa mereka berdua sadari keduanya sama-sama posesif terhadap satu sama lain. Rahel melingkarkan tangannya ke leher Lucas, terus menyecap benda kenyal lembut yang hangat itu. Lucas memejamkan matanya, langsung membalas ciuman Rahel tidak kalah ganasnya. Entah apa dasarnya tapi ciuman yang awalnya tidak terduga itu langsung membesar bagaikan api yang membara. "Engh ... kalau lebih dari ini aku tidak akan tahan," bisik Lucas serak basah. Rahel menatap Lucas dengan napas sama-sama terengahnya. Tanpa diduga Rahel justru kembali melumat bibir Lucas yang nampak syok dengan tindakannya itu. "Tahanlah karena ini termasuk hukuman untukmu," bisik Rahel membelai seduktif dadanya. Membuat Lucas hanya bisa menggeram tertahan, ini seperti kenikmatan yang menyiksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN