73. Kepulangan Ibu

1715 Kata
Sebagai seorang anak, apa yang paling berat selain jauh dari orang tuanya? Kirana memang sudah terbiasa hanya dengan sang ibu. Setelah kuliah di kota orang pun, dia juga sudah terbiasa jauh dari ibunya. Hanya saja, kali ini terasa berat sekali ingin berpisah dengan ibunya. Bagaimana kalau ibunya sedih dan tidak ada yang bisa diajak untuk berbicara? Gadis itu tahu kalau ibunya ini kuat, sangatlah kuat. Hanya saja, untuk sekarang Kirana ingin manja dan egois dengan berlama-lama dengan ibunya. Tak ada yang dirinya miliki lagi selain Bu Ghina. Seorang ibu single parent sekaligus menjabat sebagai seorang ayah yang paling dirinya cintai di dunia ini. “Buk, aku ikut pulang ke Jogja saja ya menemenai, Ibuk. Aku ndak mau kuliah lagi.” Bukannya Kirana yang menangis, malah Bu Ghina yang menangis mendengar putrinya berbicara seperti itu. Rasanya sakit sekali putrinya berkata demikian setelah perjuangan menempuh pendidikan yang tinggal sedikit lagi. Entah ada apa dengan pikiran Kirana sekarang. “Kamu bicara apa, Nduk? Kenapa ndak mau melanjutkan sekolah? Kamu pikir, hidup kita yang paling susah sampai kamu milih berhenti tengah jalan?” Kirana bungkam mendengar nada suara ibunya yang bergetar. “Ndak, Nduk. Ndak. Kita alhamdulillah selalu dikasih rejeki sama Allah. Kita masih bisa makan, kamu masih bisa sekolah, kenapa di saat orang di luar sana ndak bisa makan nasi, ndak bisa mengenyam pendidikan, malah kamu yang diberikan rejeki itu semua tidak ingin melanjutkan sekolah lagi? Mau jadi apa kamu?” “Aku mau nemenin Ibuk.” Bisik Kirana lirih karena nyalinya menciut kalau ibunya sudah kecewa seperti ini. Tak ada maksud hatinya membuat sang ibu sedih. Kirana hanya takut ibunya tidak ada yang menemani. “Biasanya ibuk juga sendiri. Sekarang kenapa? Kamu mau ninggalin Anggi sendiri? Jangan jadi orang yang ndak tahu balas budi, Na. Ibuk tahu keluarga Anggi tidak akan meminta balasan atas kebaikan mereka, tapi kamu yang harus sadar diri, ndak boleh maksain diri sendiri.” Silvi yang mengantar cuma bisa terdiam dengan bibir gemetar menahan tangis mendengar percakapan antara Kirana dan ibunya. Ingin hati dia menenangkan atau paling tidak jadi penengah lah. Namun sayangnya, Silvi tidak mampu. Dia tidak sekuat itu untuk terlihat baik-baik saja di saat hatinya ikut terluka. “Aku takut Ibuk ndak ada yang jaga kalau sendirian.” Bu Ghina diam cukup lama, membiarkan Kirana juga menangis dalam diamnya. Sampai rasa-rasanya, Bu Ghina juga kasihan, tapi mau bagaimana lagi kalau suratan takdir mereka memang seperti ini. “Ibuk dari dulu kan memang sendiri, Na. Sudah, ndak papa. Mata kamu lhoh, seperti dientup tawon, nangis terus.” Tak ada jawaban dari Kirana karena gadis itu masih saja sibuk menahan tangis. Kirana benar-benar ingin mengakhiri pendidikannya asal bisa berkumpul dengan ibunya. Kalau terpisah seperti ini, Kirana tidak akan tenang. “Wes, ndak usah dipikir to, Nduk. Ndak papa. Eh…” Bu Ghina mengusap punggung Kirana yang masih saja bergetar menahan tangis. “Kamu jaga kesehatan, yo. Makan ndak boleh telat. Ndak usah pikiran yang aneh-aneh, nanti asam lambungnya naik bahaya.” “Aku ikut Ibuk saja ya, Buk. Ndak papa berhenti kuliah.” Bu Ghina yang tegar kembali diam tatkala Kirana mendadak seperti anak kecil yang labil sekali. Bayangkan saja, kuliah Kirana kalau dihutung-hitung tidak ada satu tahun, tapi malah minta berhenti di tengah jalan seperti ini. Apalagi Kirana penerima beasiswa kan sayang sekali kalau sampai putus begitu saja. “Boleh ya, Buk. Aku mau pulang… ndak mau di sini.” “Dengerin ibuk baik-baik. Kalau kamu menyerah begitu saja, ibuk akan kecewa sekali. Silakan kalau kamu ingin ikut ibuk pulang sekarang, ibuk tunggu. Ambil semua barang-barang kamu. Tapi ingat, ibuk akan kecewa sekali.” Kirana menggeleng, kalau begitu tidak ada bedanya. Yang ada, Kirana malah membuat ibunya lebih susah kalau dirinya memutuskan untuk berhenti di tengah jalan seperti ini. “Kenapa diam saja? Nantu keduluan keretanya datang. Ayo, ibu tunggu.” Kata Bu Ghina lagi. Gadis yang diajak bicara ini lebih memilih menunduk. Tidak berani melihat ke arah ibunya sama sekali. Karena Bu Ghina juga tidak tega, bagaimanapun, Kirana adalah putri semata wayangnya. "Pundaknya yang tegak." Ditepuknya punggung anaknya itu, menguatkannya. Sebentar lagi, Na. Ndak boleh nyerah, ya. Anak Bapak sama ibuk pinter." Ketika bapaknya disebut, tangis Kirana kian menjadi-jadi, yang langsung saja dihadiahi pelukan sayang oleh ibunya. Silvi yang melihat cuma bisa mewek. Dalam hatinya, gadis itu juga membatin banyak hal dan mendikte dirinya sendiri kalau dia juga harus kuat, tidak boleh menangis meskipun Tuhan memang menciptakan perempuan seperti ini adanya. Begitu dimuliakan. "Ndak papa. Ibuk akan dampingi kamu sampai akhir, ya. Kita sama-sama. Ibuk ndak pergi kemana-mana kok. Ibuk kan pulang, mau jaga rumah. Memang kamu mau rumah di desa ndak ada yang jaga? Nanti dimakan Mbak Ti." Kirana tersenyum mendengar candaan ibunya, Bu Ghina pun turut tersenyum. "Tuh, lagunya sudah menyala. Ibuk pulang dulu, ya. Kamu hati-hati di sini." Meskipun terpaksa, pada akhirnya Kirana memang harus melepas ibunya kembali ke desa kelahirannya. Bu Ghina memang orang desa yang begitu sederhana, begitu menjujung tinggi unggah-ungguh atau tata krama. Dan sikapnya yang baik ini membuat beliau banyak disegani orang entah itu miskin maupun kaya. Seperti Bu Tari, juga mamanya Kirana yang sudah mengganggap Bu Ghina adalah saudara sendiri. "Kalau sakit, ndak boleh diem. Minta tolong sama temen kalau memang ndak kuat, ya?" "Nggih, Buk." Ada senyum begitu tulus yang terpatri di wajah Bu Ghina ketika menyadari tangisan putrinya sudah berlalu. Sebagai seorang ibu, memangnya apa lagi yang Bu Ghina minta selain untuk kebahagiaan anaknya? Bu Ghina tidak punya apa-apa lagi. Hartanya yang sangat berharga adalah Kirana. Yang sampai kapanpun, Bu Ghina akan berjuang untuk anak semata wayangnya itu. "Ibuk pamit dulu, ya." "Salim" Kata Kirana, langsung menarik tangan ibunya dan menciumnya lama sekali. Silvi yang tidak tega langsung menarik Kirana mundur guna gantian melepas Bu Ghina. "Ibuk hati-hati ya, jangan sungkan telfon aku seandianya Mbak Kirana nggak bisa dihubungi." "Yo pasti itu, nanti ibuk hubungi kamu ya. Kamu juga semangat kuliahnya." "Mau dipeluk, Buk." Bu Ghina tersenyum haru. Beliau langsung memeluk Silvi sebagaimana dia memeluk Kirana ataupun Anggi. "Wah, anak ibuk tambah satu lagi ini. Sehat-sehat yo, yo yang akur sama mas-masnya. Ibuk pamit dulu." Hanya anggukan yang mampu Silvi berikan sebagai jawaban. Karena kalau Silvi nekat berbicara, yang ada gadis itu akan menangis kencang sekali. Dia tidak ingin terlihat cengeng di depan siapapun. "Yo wes ibuk pulang dulu." Lagu daerah Jawa Barat yang sengaja diputar menjadi pengiring setiap langkah yang diambil semua orang untuk menuju pemberhentiannya masing-masing. Berlalunya Bu Ghina dengan senyuman menenangkan tetap tak mampu membuat Kirana dan Silvi menahan tangisnya. Kirana yang sedih sekali langsung memeluk Silvi begitu erat. Kirana tahu dia tidak pernah sendirian. Karena Allah selalu bersamanya. Allah berada di hatinya. "Mbak Kirana kuat." Bisik Silvi lirih sekali. Sadar jika mereka harus pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi Anggi, baik Kirana maupun Silvi baru bersedia pergi saat kereta yang ditumpangi oleh ibunya itu tidak terlihat lagi di penglihatannya. *** Kirana dan Silvi berjalan beriringan ketika menuju ruang rawat Anggi. Karena melihat dari luar ada Pak Damar, langkah kaki Kirana terhenti di depan pintu, kemudian berbalik menghadap Silvi. "Vi, aku di sini dulu sampai Pak Damar keluar, ya." Sadar jika Silvi juga tidak bisa memaksakan kehendaknya, gadis itu mengangguk menyetujui daripada penolakannya malah memberatkan Kirana. "Mbak mau makan dulu, Ndak? Habis itu minum obat. Tadi, Ibuk bilang kalau Mbak Kirana masih kurang sehat, kan?" Gelengan pelan Kirana jadikan sebagai jawaban. Gadis itu merasa baik-baik saja sekarang."Aku ndak papa kok, Vi. Ndak usah khawatir." Silvi cuma bisa mengembuskan napas berat menyadari penolakan Kirana. Silvi tahu ini sama saja menyiksa Kirana. Hanya saja, dia tidak bisa memaksakan kehendak pada orang lain. Kalau seandainya dia ditempatkan di posisi Kirana, Silvi mungkin akan lebih keras kepala sekali. Jadi, daripada Kirana tidak nyaman dan tanpa sengaja malah membuat Kirana tertekan, lebih baik dia setujui saja permintaan sederhana Kirana tapi terasa berat sekali untuk dipenuhi. "Kalau begitu, aku duluan ya, Mbak." Hanya anggukan yang Kirana berikan sebagai pengiring Silvi masuk ke dalam ruangan Anggi. Ketika pintu dibuka, terdengar tawa kecil lepas yang membuat Kirana yang diam di kursi tunggu ikut senang. Dia hanya tidak ingin kalau keberadaannya menjadi sumber kecanggungan di antara semua orang setelah semua yang terjadi, setelah dirinya tahu kebenarannya seperti apa. Di dalam sana, gantian Silvi yang bercengkrama dengan Anggi. Sementara kakaknya Anggi sendiri yang sibuk di sopa cuma diam memainkan handphone. Sampai akhirnya karena suntuk juga, dia memilih keluar. Begitu keluar, Kirana yang pertama kali dirinya dapati. Tentu saja kakaknya Anggi ini sampai berbinar senang bukan main. "Lhoh, Na? Sejak kapan di sini, kenapa tidak masuk?" Karena pintu ruangan tidak tertutup rapat, Pak Damar bisa mendengar Na disebut yang tentu saja di pikiran Pak Damar langsung merujuk kepada Kirana. Karena kalau bukan Kirana, siapa lagi? "Oh iya, ini menunggu dulu." Kata Kirana tanpa sadar. "Hm, menunggu siapa?" kakaknya Anggi yang tak lain bernama Bobby ini melihat ke arah depan, mencari sosok yang mungkin saja itulah yang Kirana tunggu. Namun kenyataannya, tidak ada yang datang. "Maksudnya mau menunggu di sini dulu, takut menganggu." Mas Bobby cuma geleng-geleng. Dia memang sudah menyimpan hati pada Kirana sedari dulu. Dasarnya sekarang bisa dipertemukan setelah sepertinya bertahun-tahun Mas Bobby tidak melihat Kirana karena sudah pasti Kirana jarang keluar rumah. Dan datang ke rumahnya pun bisa waktu lebaran dan dia juga tidak berada di rumah, lebih memilih menghabiskan waktu dengan teman-teman seperjuangannya. "Masuk saja kan ndak papa, Na. Memangnya siapa yang akan terganggu dengan kehadiran kamu? Kami justru senang." Kirana tersenyum tipis, mana dia harus menjawab hal seperti ini? Memang tidak ada yang terganggu sepertinya, tapi hanya membuat tidak nyaman yang terasa menyebalkan sekali. Sampai tiba-tiba pintu ruangan Anggi terbuka, Pak Damar keluar. Beliau ikut duduk. Jadi, lima kursi berderet yang berada di depan itu, Kirana berada di tengah-tengah, dengan masih-masing satu bangku kosong di masing-masing tempat duduknya. "Masuk saja, Na. Dicari Anggi dari tadi." Oh Allah, mudah sekali Pak Damar bersandiwara di saat Kirana sudah menahan tangis sedari tadi. Kalau saja Kirana mengangkat kepalanya, Kirana pasti ketahuan kalau sudah menangis karena saking bengkak matanya. "Iya Pak, saya segera masuk." "Eh sebentar!" cegah Mas Bobby ketika Kirana sudah berdiri. "Kamu habis nangis, Na? Kenapa?" tanyanya begitu khawatir. Dan Kirana, dia hanya bisa memalingkan wajah, memilih menunduk dan mengatakan kalau dirinya tidak apa-apa. Pak Damar yang melihat penggung ringkih gadis itu cuma bisa menghela napas berat berulang kali dengan menyebut nama Allah tiada henti dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN