Bukan Sembarang Dosen

1411 Kata
Sore ini, setelah Rheo mengajar dari siang sehabis bersama Cindra pagi tadi, mereka akan bertemu kembali. Sekarang mahaisiswi cantik itu tengah disibukkan dengan pikiran nanti akan memberikan bingkisan berupa apa pada Rheo. "Apa uang aja kali, ya? Katanya kan, Pak Rheo itu miskin." Pertemuan kedua pada hari ini, Rheo janjikan agar mereka bisa bersama-sama melihat langsung salah satu dari SMA yang sebelumnya dosen itu rekomendasikan. Cindra pun sudah menunggu sang dosen galak itu di taman kampus paling dekat dengan ruang kerja Rheo. Ia menggendong Nana dengan mengabaikan tatapan aneh atau bisikan-bisikan setan dari orang yang penasaran dan keheranan Cindra tebak, mereka tengah berpikir seperti ini: "Eh, itu Cindra dari Fakultas Teknik, kan?" "Cindra Estella, Jurusan Teknik Informatika." "Ngapain itu orang bawa anak kecil ngampus?" "Hamil di luar nikah kayanya." "Pasti dibuang keluarga. Karena kalo enggak, harusnya itu bocah dijaga sama ayahnya atau nenek dan kakeknya aja." Cindra menarik napas panjang. Ini adalah risiko yang harus ia tanggung. Tidak apa-apa. Cindra yakin dia bisa melewatinya. Kalau demi Nana, semua akan Cindra hadapi. "Oh iya Nana, nanti kalo ketemu Pak Rheo jangan ngomong yang aneh-aneh lagi, ya," peringat Cindra saat duduk di bangku sambil memangku Nana. "Yang aneh-aneh itu aya apa, Ma?" Mata Nana yang bundar membesar, menatap Cindra dengan polos. Kata yang ingin balita itu sampaikan memang kadang tidak jelas karena lidahnya masih belum sampai. “Emm … kaya manggil papa. Itu gak boleh.” “Cenapa, Ma?” “Ya … karena dia bukan papa Nana.” “Cenapa, Maa?” Ciri khas anak kecil. Mereka akan bertanya sampai orang dewasa lelah sendiri menjawabnya. “Coba jawab Mama. Kenapa Nana tiba-tiba manggil Pak Dosen, papa?” “Kalena ampan! Nana suka olang ampan!” Mata Cindra mengerjap. Ia kehabisan kata-kata. Cindra juga tidak bisa menangkal pernyataan Nana yang mengatakan dosennya itu adalah orang yang tampan. “Mama antik! Mau coklat!” Nana secara random tiba-tiba menadahkan tangan dengan menampilkan wajah yang sangat menggemaskan. Dasar bocah. Cepat sekali beralih fokusnya. Cindra tidak bisa menolak. Ia meraih kantong dan memberikan cokelat pada Nana setelah membuka bungkusnya terlebih dahulu. “Maacih, Ma!” “Jangan sering-sering makan cokelat, ya. Nanti gigi Nana ada bakterinya, jadi berlubang dan susah makan. Mau?” Nana menggeleng cepat, tapi tetap memakan cokelatnya tadi dengan lahap. “Imut banget sih, anak Mama!” Cindra menjerit gemas sambil mencuit dua buntalan besar bernama pipi di wajah Nana. Rambut lebat Nana dia ikat dua. Pipi balita itu mengembang bagai roti baru keluar dari panggangan. Bulu mata Nana panjang dan lentik, serta iris hitamnya begitu jernih tampak besar seperti boneka. Siapa pun yang melihat Nana tentu saja akan terpesona. “Ngelamun itu bisa bikin kamu makin tambah bodoh,” cemooh suara tak asing yang selalu berhasil membuat Cindra darah tinggi. Cindra bersamaan dengan Nana langsung menoleh ke belakang. Perempuan itu berusaha memasang tampang bagai tembok yang tidak goyah meski ditembakkan rudal sekali pun. “Bapak udah selesai ngajarnya?” “Menurut kamu bagaimana? Kamu bisa melihatnya sendiri, kan?” "Sialan!" Cindra mengumpat di dalam hati. Dosen yang satu ini memang paling lihai membuat orang lain kesal. Sambil menyodorkan makanannya yang sisa setengah dan dipenuhi air liur, Nana menyela percakapan antara Cindra dan Rheo. “Onstel ampan! Mau coklat Nana, nggak?” Cindra bisa merasakan ledakan bom atom di dalam kepalanya. “Nana! Gak boleh nawarin makanan kamu kaya gitu!” “Cenapa? Bukannya Mama biyang belbagi itu indah?" “Iya, tapi—" “Pertama, saya bukan monster.” Rheo berjongkok di hadapan Nana. “Ini buktinya,” ucap sang dosen sambil memberikan Nana balon merah yang memiliki gambar kucing berkumis. Melihat itu, tentu saja mata besar Nana membola indah. Ia terpukau. “Waah! Maacih, Papa—eh, salah. Maacih Om kelen!” Cindra benar-benar tidak tahu dari mana Nana belajar kosa kata itu. Apa jangan-jangan dari tetangganya? Tidak mungkin, Cindra menggeleng. Bu Minah adalah ibu-ibu yang tidak terlihat tahu menahu perihal bahasa gaul. "Ehem." Bulu kuduk Cindra merinding ketika mendapati tatapan tajam dari Rheo. Dosennya kini tengah mengeluarkan sapu tangan dan hand sanitizer dari dalam tasnya. “Nama kamu Nana, kan?” “Iya! Nana! Nana yang imut! Putlinya Mama yang antik!” Cindra mengulum senyum sambil mengalihkan pandangan ke samping. Menghindari delikan dari Rheo yang seolah ingin menyerangnya dengan kata-kata kejam lagi. “Pfft! Apa gunanya cantik kalo otaknya macet?” Rheo tersenyum miring. Ia dengan telaten membersihkan tangan dan mulut Nana yang belepotan oleh cokelat. “Otak bisa macet, Om?” Nana menatap iris Rheo polos. "Bisa. Contohnya otak Mama kamu." "Kacian Mama Nana." "Iya. Kasihan banget. Itu ulah dia sendiri. Jangan kamu tiru!" "Iya, Om kelen!" Apa-apaan perundungan ini? Cindra terperangah. Rheo bisa mengambil hati Nana dalam sekejap mata. Sungguh di luar dugaannya. “Kedua. Kamu harus makan dengan bersih. Kotor itu tanda orang jelek.” Cindra terkejut karena dosen nan menyebalkan ini malah menyerang dirinya dan Nana dalam satu kali lemparan. “Nana nggak jeyek!” “Kamu jelek kalo makan belepotan.” Mata Nana mulai berkaca-kaca. “Kamu juga jelek kalo nangis.” “Pak!” Cindra tidak bisa lagi membiarkan ini. Meski ia sempat merasa luluh karena Rheo memberi Nana balon, tapi ternyata itu hanya akal bulus saja. Dasar dosen tidak punya hati! “Sopir saya sudah datang.” Rheo berdiri. Menyudahi perdebatan secara sepihak. Amarah Cindra yang tadi membara-bara langsung surut dalam seketika. “Eh, sopir?” “Iya. Saya lagi malas bawa mobil.” Rheo memberikan kode agar Cindra mengikutinya. Sopir pribadi maksud dosen galak itu? Pikiran Cindra masih mengudara. Perempuan ini sudah mulai merasa ciut nyali. Cindra pun melangkah di belakang Rheo bagai anak ayam mengikuti induk. Bedanya, Cindra berjalan sambil menggendong Nana. Kemudian hantaman kedua bagi mental Cindra langsung menyapa. Mereka disambut oleh seorang sopir dengan pakaian yang Cindra yakini, lebih mahal dari pada apa yang ia pakai saat ini. Mobil yang menjemput juga bukan sembarang mobil. Sebuah mobil BMW hitam yang tampak sangat elegan dan mahal tentu saja. Rheo duduk di samping supir. Mereka berdua bahkan mengobrol dalam bahasa asing, membuat Cindra di belakang sana nyawanya melayang meninggalkan bumi. Terkutuklah Kesya dan Gadis yang mengatakan kalau Rheo adalah dosen miskin. Tidak ada jejak kemiskinan, bahkan dari wajah Rheo saja sudah menguarkan aura bangsawan! Berikutnya hantaman mental ketiga adalah ketika mereka sampai di depan salah satu SMA elit, tapi bukan itu yang membuat Cindra hampir pingsan. Melainkan sebuah fakta bahwa ternyata rumah Rheo yang tidak jauh dari SMA itu, sudah menyerupai sebuah istana. “Kacau! Gue enggak bakal bisa nyogok kalo gini.” Cindra bergumam kecil. “Kamu ada bilang apa barusan?” Jantung Cindra rasanya luruh ke lutut karena Rheo yang tiba-tiba muncul dan berbicara tepat di sampingnya. Seperti hantu dengan aura gelap yang misterius. “Nggak ada apa-apa kok, Pak." “Kepala sekolah SMA ini kenalan saya, bagaimana? Mau ke sana langsung? Nana bisa dititipin sama pembantu saya. Bibi punya banyak anak jadi bisa dipercaya. Ayo kita masuk dulu saja biar kamu bisa ketemu sama dia.” Inilah alasan kenapa mereka singgah di rumah Rheo terlebih dahulu. Memang dosen yang satu ini sepertinya menganggap kehadiran Nana sebagai pengganggu. “Om kelen!” Nana bergerak turun dari gendongan Cindra. Kaki kecilnya berlari lucu menghampiri Rheo. “Kenapa? Kamu gak mau tinggal?” “Nana mau tinggal di sini aja!” Kening Rheo langsung mengernyit. “Om kelen udah ampan, anyak uang lagi! Nana makin cuka! Lumah Nana kecil. Mama juga halus kelja cambil cekolah. Kalo Om jadi papa Nana, pasti Mama ndak keculitan lagi!” “Nana! Sttt! Jangan ngomong lagi! Diem dulu!” Cindra sepertinya harus melakban mulut balita nakal yang satu ini. Kenapa Nana sangat agresif saat bersama Rheo coba? Biasanya juga kalau bertemu orang asing, Nana suka ketakutan atau malu-malu. “Cindra.” “I-iya, Pak.” “Kamu harus lebih ajarin dia banyak hal yang enggak boleh dan boleh buat dikatakan.” Ini juga dosen yang satu. Si paling tidak bisa mentolerir apa pun! Bahkan sampai ocehan anak kecil berumur dua tahun. “Tapi buat anak seumuran dia … udah lancar banget ngomong. Di jalan tadi ngoceh panjang lebar soal warna dan banyak hal. Ciri anak jenius.” Mata Cindra mengerjap. Tiba-tiba memuji? Dasar manusia labil. Pasti ada maksud tersembunyinya ini. Cindra jadi waspada, bukannya bahagia. “Tapi itu belum cukup. Kamu masih muda, udah sok-sokan milih peran jadi ibu.” Lihat? Apa Cindra bilang? Rheo sangat pandai memainkan kata-kata yang bisa mengaduk emosi orang. Apakah Cindra bisa bertahan dengan semua tekanan ini demi skripsinya nanti?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN