"Udah liat seluruh kelas di sini sekolah ini, kan?"
Cindra mengangguk. "Sekolahnya luas sekali ya, Pak, tapi ternyata kelasnya lumayan sedikit, ya? Cuman ada 6 kelas IPS, 5 kelas IPA, dan 2 kelas Bahasa buat satu angkatan."
"Tahu alasannya kenapa?"
Cindra bergeming untuk beberapa detik. Saat ini Nana sudah digendong oleh Bi Satiah lagi. Mereka telah berkeliling dan karena cukup lelah, sedang singgah di salah satu taman sekolah itu.
"Karena … kualitas lebih diutamain dari pada jumlah?"
Rheo mengangguk. "Tumben kamu bisa jawab."
Cindra langsung cemberut karena itu. Dia kan, tidak sebodoh apa yang Rheo pikirkan.
"Hari ini cukup sampai di sini dulu. Besok kita ke sini lagi. Kamu udah catat hal yang penting, bukan?"
"Besok, Pak?"
"Kenapa? Jadwal kelas kamu penuh? Gak mungkin. Mahasiswi semester akhir kaya kamu harusnya udah longgar kelas dan fokus sama skripsi. Atau kamu ada mengulang mata kuliah?"
Dosen sialan.
"Enggak ada, Pak."
"Oke."
"Anu … Pak. Nana boleh saya bawa lagi, nggak? Dia belum ada yang jagain soalnya, hehe."
"Apa?"
Netra legam Rheo menatap mata hazelnut Cindra dingin. Terjadi kecanggungan yang besar karena ulah dosen itu.
"Terserah," ucap Rheo pada akhirnya yang membuat Cindra membuang napas selega-leganya.
"Ayo, pulang."
Itu adalah kalimat yang tidak Cindra duga. Jantungnya kembali berdetak tak karuan ketika melangkah di belakang Rheo. Menatap punggung tegap itu dengan mata mengerjap beberapa kali.
Tidak mungkin, kan? Masa Rheo yang tidak memiliki hati dan sangat tempremen ini ingin mengantar dirinya dan Nana pulang ke rumah?
Terkadang, Cindra memang merasa tidak asing dengan Rheo. Hanya saja, rasanya mustahil jika mereka pernah bertemu sebelumnya.
Orang seperti Rheo ini memiliki dunia yang jauh berbeda dengan Cindra. Bagaikan langit dan bumi. Cindra hanyalah butiran debu, sedangkan Rheo adalah serbuk berlian.
"Mister Clay, please take them both to their house."
"Alright, Sir."
"Bi Satiah bisa ikut Mister Clay. Saya ada urusan lain."
"Baik, Tuan."
Rheo menoleh ke arah Cindra yang kini sudah menggendong Nana. Bermain ciluk ba bersama sambil berjalan. Mereka berdua tertawa ria tanpa menyadari tatapan Rheo yang cukup dalam.
"Cindra."
"Ah, iya, Pak!"
" … jangan lupa sama tugasmu. Saya gak bakal kasih toleransi meski kamu pake alasan makhluk kecil itu."
Lagi-lagi Rheo melayangkan kata-kata kejam yang membuat tensi Cindra naik sampai ke ubun-ubun.
Namun, perempuan bersurai cokelat madu itu hanya dapat tersenyum palsu selebar mungkin.
"Tenang aja, Pak. Pasti saya selesaikan, kok!"
"Saya gak butuh kalimat, tapi aksi."
Setelah melontarkan kata-kata yang memancing naik tensi, pria berwajah datar itu segera melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan pembantu, sopir, Cindra, serta Nana di sana.
"Hah …."
Rheo menghela napas panjang. Bokongnya ia dudukkan pada kursi tamu dalam ruangan kepala sekah dari SMA itu.
Pria ini juga membuka beberapa kancing baju bagian atasnya. Ia pun kembali mendengkus lelah sambil memijat pangkal hidung setelah melepaskan kacamata.
"Hahaha! Rheo … Rheo! Hidup lo lawak banget! Sumpah! Gak ada duanya di dunia ini, hahaha!"
Sang kepala sekolah yang masih terbilang muda di seberang kursi sana malah tertawa terbahak-bahak melihat sahabat karibnya yang menderita.
"Diam lo b******n," desis Rheo masih menatap langit-langit pasrah.
Kepala sekolah di SMA ini adalah seorang pria yang sepantaran dengan Rheo. Dia adalah sosok yang cerdas dengan segudang prestasi. Ditambah lagi dengan koneksi orang dalam, Ferdian berhasil menduduki jabatan luar biasa itu.
"Yo, hidup lo genre komedi dark!" ledek Ferdian lagi, tidak bisa berhenti menggoda sahabatnya itu. Mereka memang sudah berteman sejak SMA, kuliah, dan bahkan sampai saat ini.
"Berisik."
Hanya ada tanggapan kecil nan menusuk dari Rheo. Pria itu kemudian asyik menatap langit-langit ruangan. Seolah tengah menerawang jauh.
Ejekan Ferdian pun tidak bisa berhenti sampai di situ saja. Dia adalah tipe manusia humoris yang sangat berisik. Berbanding jauh dengan Rheo. Entah bagaimana keduanya malah berteman sedekat ini dengan sifat bertolak belakang itu.
"Makanya kan, apa gue bilang? Mending lo cepet-cepet cari istri dari pada hidup sok mandiri kaya gitu! Kena masalah kan, lo?"
Ferdien tertawa geli. "Siapa yang bakal nyangka, Yo? Perempuan yang jadi cinta pertama lo dulu, malah jadi mahasiswi di kelas lo. Gak sampai di situ aja ternyata plot twistnya! Cindra udah punya anak! Hahaha! Lo ketinggalan jauh, bro!"
"Lo kalo gak diem, gue bunuh."
Ferdian mengindahkan peringatan Rheo. Dia masih cekikian sambil memegangi perut.
"Yo … Yo!" Begitulah panggilan kecil yang Ferdinan buat terhadap Rheo. Meski Rheo tidak pernah sekali pun menerimanya.
"Lo masih suka sama Cindra apa gimana? Kenapa lo malah nerima itu anak buat jadi mahasiswi yang lo bimbing buat skripsi coba? Mana lo sampai bantu penelitiannya begini pula! Lo lagi berencana buat ngancurin rumah tangga orang lain?"
Ferdian bertepuk tangan. "Bagus … sobat! Bagus! Kelamaan jomlo, lo jadi punya cita-cita jadi pebinor! Hahaha—aghh!"
Mulut Ferdian dihantam oleh buku yang Rheo lempar. Sebuah serangan telak yang membuat pria itu menjerit heboh.
"Gue ke sini bukan buat lo ledek, sialan!"
Ferdian bersungut, menggosok mulutnya sambil menatap sengit pada Rheo. Ia ingin membalas tapi cukup tahu, kalau Rheo bisa berbuat lebih dari itu dan dia pasti akan kalah.
"Terus lo mau gimana?"
Jakun Rheo bergerak ringan. Pria itu menegapkan posisi duduknya. "Gue tegasin satu hal. Gue udah gak suka lagi sama itu bocah. Udah dari dulu malah gue lupain dia."
Ferdian menatap Rheo dengan raut wajah skeptis. Tapi dia tidak ingin cari gara-gara lagi.
"Ya terus?"
"Ini … gue lakuin ini sebagai dosen. Iya. Sebagai dosen," yakin Rheo yang lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri.
Cowok bodoh. Ferdian membatin.
"Rheo, asal lo tau aja. Kita bisa jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama."
Iris hitam Rheo naik, memandang senyuman Ferdian yang menggelikan.
"Contohnya gue nih. Gue tiap liat bini gue yang … ahh! Pokoknya bini gue luar biasa banget! Gue tiap hari jatuh cinta sama dia!"
Ini bagian dari Ferdian yang membuat Rheo mual. Jika sudah membicarakan istri, pasti selalu berlebihan seperti ini.
"Gak usah bawa-bawa kata kita. Gue berbeda dari lo."
"Cihh … si paling berbeda."
"Pokoknya gue cuman bantuin Cindra sebagai dosen aja. Gak ada lebih dari itu barang seujung kuku pun. Cuman gue kaget aja. Itu anak gak berubah sama sekali."
"Cantiknya maksud lo? Itu berarti—"
"Bukan."
"Terus apa?"
"Kebodohannya! Cerobohnya! Gak ada yang berubah. Gimana bisa dia jadi ibu kalo kaya gitu? Pasti dikibulin cowoknya, hah! Dasar cewek bodoh!"
Ferdian semakin yakin kalau Rheo masih menyimpan rasa pada Cindra. Mengingat sahabatnya itu tidak akan peduli pada sembarang orang. Tidak akan membicarakan orang lain jika tidak penting.
"Itu kan, bukan urusan lo."
Serangan telak Ferdian membuat Rheo seolah menelan ludahnya sendiri.
"G-gini Ferdian. Gue gak sengaja denger gosipan anak-anak di sana soal Cindra."
"Apa?"
"Dia itu besarin Nana sendirian. Orang tuanya kayanya udah buang dia. Ada yang bilang Cindra korban pemerkosaan. Tapi dengan otak bodoh yang ceroboh kaya gitu, gue yakin dia dikibulin cowok b******k terus dibuang gitu aja."
"Kalo kaya gini … bukannya udah jelas lo masih suka sama Cindra, ya?"
"Gak! Sialan, gue cuman mau bantu dia sampai selesai skripsinya aja! Gak lebih dari itu! Habis dia lulus, gue udah lepas tanggung jawab sebagai dosen. Gue gak bakal berhubungan sama Cindra lagi."
Ferdian meragukan hal itu, ia mengulum senyum sambil membuka buku.
"Kenapa lo malah senyam senyum gak jelas kaya gitu?"
"Gak ada apa-apa."
"Woi!"
"Yo, gue berani taru, lo bakal jatuh sejatuh jatuhnya sama itu perempuan."
"Gue tegasin sekali lag, gue udah gak suka sama Cindra."
"Up to you."
Sialan. Gigi Rheo menggertak. Mengobrol dengan Ferdian hanya membuat masalahnya semakin menumpuk.
Rheo pun beranjak dan keluar dari ruangan itu setelah menutup pintu keras-keras. Menimbulkan bunyi nyaring yang membuat Ferdian terlonjak kaget.
"Apaan, sih? Baru puber ya, itu orang?"