"Bercerai? Ibu 'kan sudah berulang kali bilang kalau Ibu tidak setuju dengan keinginan kamu itu? Sudah. Ibu tidak mau membahas masalah itu lagi!" Bentak Danti seraya mengibaskan tangannya ke udara. Ia kesal sekali karena anak perempuannya ini selalu membahas masalah itu-itu saja. Ia sudah mencium bau-bau tidak enak saat anak perempuannya tadi tiba-tiba saja menyambanginya. Pasti berita tidak enak yang dibawanya. Ternyata firasatnya benar. Anaknya meminta dukungannya untuk bercerai.
"Tapi Rara sudah tidak tahan hidup begini terus, Bu. Semalam Mas Panji tidak pulang. Pada Rara, Mas Panji ngakunya sedang ada urusan penting. Tapi saat Rara melihat storynya Soraya, Mas Panji malah terlihat sedang bersenang-senang di club dengan seorang perempuan, Bu. Mereka saling berpelukan mesra. Rara... Rara sakit hati, Bu." Ujar Keira dengan suara terbata-bata.
"Makanya kamu usaha dong, Ra, biar secepatnya bisa hamil. Panji itu begitu pasti karena dia merasa kesepian. Hampa. Tidak ada yang menarik hatinya untuk pulang ke rumah. Coba kalau kalian punya anak, pasti hidupnya tidak akan kesepian seperti ini lagi. Ia pasti akan lebih cepat pulang ke rumah, dan menghabiskan waktunya dengan bermain bersama anak-anaknya. Percaya deh sama Ibu." Nasehat ibunya yakin.
Seperti yang ia duga sebelumnya, ibunya sama sekali tidak menyetujui keinginan bercerainya. Bukannya marah pada suaminya yang telah mencuranginya, ibunya malah menyalahkannya. Keira melirik ayahnya. Seperti biasanya ayahnya bersikap santai-santai saja seperti tidak mendengar apa-apa. Pandangannya tetap tertuju pada televisi yang menayangkan berita-berita politik dalam negeri. Sepertinya ayahnya lebih tertarik untuk mengikuti terpecah belahnya hubungan para elit politik, dari pada pecahnya rumah tangga anaknya.
"Kamu ini 'kan perawat. Kerjanya di rumah sakit. Harusnya kamu itu usaha, Ra. Minum suplemen apa kek gitu biar subur dan bisa cepat hamil. Eh ini malah nyari jalan pintas pengen cerai. Punya otak itu mikir yang beneran dikit dong, Ra? Enak banget kamu memberi jalan pelakor ujug-ujug menguasai singgasana kamu. Sekarang kamu cari tahu dulu siapa perempuan itu. Biar nanti Ibu temani kamu melabraknya. Jadi istri kok ya nggak punya daya juang sama sekali? Heran!" Gerutu ibunya lagi.
"Rara bukannya nggak mau berjuang, Bu. Tapi masalahnya Mas Panji kan sudah jelas-jelas bilang kalau dia itu tidak mencintai Rara. Rara sama sekali nggak punya senjata untuk memperjuangkan Mas Panji, Bu." Keluh Keira. Ia berusaha menjelaskan situasi rumah tangganya pada ibunya.
"Ada Ra, ada. Anak. Itu satu-satu jalan kalau kamu ingin memenangkan pertarungan ini. Anak akan menjerat kedua kaki suamimu untuk selamanya. Mungkin saja Panji tidak mencintai kamu. Tapi pasti dia mencintai anaknya. Salah satu kakinya sudah terikat di rumah. Jadi kemanapun dia melangkah, pada siapapun ia bersenang-senang, pada akhirnya ia akan selalu harus pulang ke rumah. Karena apa? Karena sebelah kakinya sudah kamu belenggu." Sambung ibunya lagi.
"Kamu jangan mengajari anakmu dengan trik-trik kuno warisan devide et impera begitu, Danti. Trik kelabuh-mengkelabuhi hanya akan berhasil dipraktekkan dalam hubungan bisnis. Dagang. Niaga. Tapi tidak dalam hal rumah tangga. Kehadiran seorang anak mungkin bisa mengikat kaki seorang laki-laki, tapi tidak hatinya. Apa gunanya ia setiap hati pulang, tapi hatinya tidak ada di rumah. Kamu sudah lebih dulu merasakan hal itu bukan, Danti?"
Keira terkesima. Ayahnya yang sangat irit bicara, bisa menasehati ibunya dengan kata-kata yang begitu menusuk, tapi benar adanya. Walaupun tetap diam dan terkesan tidak peduli, tapi rupanya ayahnya menyimak juga pembicaraannya dengan ibunya. Keira terharu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ayahnya menyuarakan pendapatnya.
"Jangan mengulangi kesalahan yang pernah kamu lakukan pada anakmu, Danti. Kalau kamu sudah pernah terperosok di sebuah lubang, jangan menarik tangan orang lain lagi. Anakmu berhak bahagia, Danti." Imbuh ayahnya lagi. Wajah ibunya memerah. Ibunya marah. Namun ada sesuatu yang aneh di sini. Mata ibunya memerah dan berkaca-kaca. Ibunya seperti memendam sesuatu.
"Saya juga ingin Rara bahagia, Mas. Rara adalah anak saya. Darah daging saya. Saya hanya ingin dia bertahan sedikit lebih lama lagi, demi untuk kenyamanannya sendiri," pungkas ibunya geram.
"Kenyamanannya atau kenyamanan kamu?" Sindir ayahnya singkat. Walau pun sedang berbicara pada ibunya, pandangan ayahnya masih tetap tercurah pada televisi dihadapannya.
"Jangan berpura-pura jadi orang baik nan bijaksana, Mas. Mas juga menikmati semua fasilitas yang diberikan Panji saat ia masih bersama Sasa bukan? Motor Harley itu salah satu contohnya. Ingat Mas, saat jari telunjuk Mas menunjuk saya, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking Mas itu menunjuk diri Mas sendiri. Malu sama Harley, Mas!" Sembur ibunya lagi. Kemarahan ibunya kali ini berbarengan dengan lelehan air matanya. Sepertinya ayahnya telah menyinggung sesuatu yang menyakiti perasaan ibunya.
"Wajar saja Mas menikmati sedikit imbalan setelah Mas berkorban banyak demi keluarga tercinta kamu ini. Kamu adalah orang yang paling tahu, apa saja yang telah Mas korbankan selama ini. Pesan Mas cuma satu, Danti. Kalau kamu memang tidak bisa menasehati, minimal jangan meracuni. Biar saja Rara mengambil sikap atas keinginannya sendiri. Yang menjalani semuanya itu kan Rara. Bukan kamu." Ibunya diam saja. Ia sepertinya tidak ingin menanggapi kata-kata ayahnya lagi.
"Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus berjuang habis-habisan dulu untuk mempertahankan rumah tanggamu. Selama Panji tidak mengantarkan kamu pulang dan bilang kalau ia ingin menceraikan kamu, Ibu tidak akan menerima kehadiran kamu di rumah ini. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Sudah sore. Sebentar lagi pasti suamimu pulang. Kamu ini seorang istri. Kamu punya kewajiban untuk melayani suami kamu sebaik mungkin."
Kalau ibunya sudah memberi ultimatum seperti ini, mau tidak mau ia harus pulang. Waktu memang telah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit.
"Kenapa nasehat itu tidak kamu terapkan juga pada diri kamu sendiri, Danti? Seingat Mas, kalau kamu sudah keluar dengan Gina dan Tari, kamu selalu lupa Mas itu pulang kantor jam berapa?" Sindiran ayahnya semakin membuat ibunya naik tensi. Ibunya tidak lagi mau menjawab sindiran ayahnya. Namun ia membanting asbak rokok kristal hingga hancur berkeping-keping. Inilah yang membuat Keira tidak betah di rumah. Kalau di depan para awak media dan pewarta, ayah dan ibunya tampak mesra dan serasi sekali. Tapi kenyataan yang sebenarnya ya seperti ini. Mereka berdua seperti anjing dan kucing. Tidak pernah akur. Ayahnya yang merupakan salah satu petinggi partai, memang dituntut harus sempurna di depan publik. Makanya nama baik harus selalu dijaga sebaik mungkin oleh kedua orang tuanya. Dalam dunia politik, pencitraan itu penting. Tetapi pada dasarnya hubungan kekeluargaan mereka itu rapuh. Tidak pernah ada rasa cinta dan ketulusan di antara satu dengan yang lainnya.
==================================
Hari berganti minggu dan dua bulan pun telah berlalu. Selama dua bulan terakhir ini, tingkah suaminya semakin menjadi-jadi. Setiap malam ada saja alasannya untuk bisa keluar rumah. Yang masalah kongkow-kongkow dengan teman lamalah. Entertaint tamulah. Pokoknya ada saja upayanya untuk bisa keluar rumah. Keira sendiri sudah pasrah. Ia tidak pernah lagi ingin mengetahui apa saja kegiatan suaminya di luar rumah. Bukan hanya karena ia sepertinya mulai kehilangan rasa cinta. Tetapi juga karena kehadiran seseorang yang sama sekali tidak ia duga-duga.
Ia hamil. Kejadian di malam suaminya memilikinya secara tidak sadar waktu itu, telah menciptakan malaikat kecil di rahimnya. Dan malaikat kecil yang masih berupa segumpal darah ini telah membuat gonjang ganjing kondisi tubuhnya. Morning sicknessnya terkadang membuatnya muntah-muntah hebat hingga isi perutnya kosong. Belum lagi kesulitannya berdiri terlalu lama karena kerap pusing dan cepat lelah. Perutnya juga selalu bergejolak setiap menghirup aroma tertentu. Kini untuk tetap bisa bekerja saja, ia sudah merasa sangat beruntung. Makanya ia tidak sempat lagi memikirkan tentang masalah suaminya. Suaminya mau berbuat apa atau bertingkah seperti apa, ia sudah tidak peduli lagi. Sekarang ia lebih memfokuskan diri pada kehamilannya. Ia telah memiliki semangat hidup baru. Buah hatinya.
Pada Panji ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Begitu juga dengan kedua mertuanya. Ia belum menemukan waktu yang tepat untuk memberitahukan mereka. Ia menunggu untuk memberitahu Panji terlebih dahulu, baru ia akan memberitahukan kedua mertuanya. Ia ingin melihat reaksi suaminya terlebih dahulu. Hanya saja waktu untuk berbicara secara khusus dengan suaminya itu tidak pernah ada. Suaminya benar-benar menutup diri darinya. Jikalau dulu suaminya masih mau berbicara dengannya walaupun kalimatnya singkat-singkat, sekarang tidak pernah sama sekali. Suaminya benar-benar menutup diri. Saat ia ingin membuka pembicaraan dengan suaminya, ada saja cara suaminya untuk mengelak. Yang sedang sibuklah. Tidak mau diganggulah, dan beribu alasan lainnya.
Satu-satunya orang yang mengetahui soal kehamilannya adalah Robin. Sangat sulit untuk menyembunyikan keadaan dirinya dari supir pribadinya itu. Dengan seringnya ia meminta Robin untuk berhenti tiba-tiba di pinggir demi memuntahkan sarapannya, atau ia yang mendadak kepingin makan ini dan itu, pasti telah membuat Robin curiga. Tanda-tanda kalau ia sedang hamil begitu kentara. Robin itu mengikuti semua aktivitasnya. Di mulai dari pagi sampai sore hari. Bahkan terkadang sampai malam kalau ia kebetulan mendapat shift malam. Makanya Robin adalah orang yang pertama tahu, saat ada perubahan yang signifikan pada dirinya.
Seperti malam ini misalnya. Perutnya kram dan ia terus saja muntah-muntah hebat. Sedari di rumah sakit tadi sebenarnya ia sudah merasa kurang enak badan. Tetapi ia terus bertahan karena beberapa jam lagi sudah waktunya pulang. Tanggung, pikirnya. Tetapi karena lemahnya tubuhnya, ia sampai tidak bisa berdiri sesampainya di rumah. Kakinya selemah agar-agar. Tanpa banyak bicara Robin menggendongnya masuk ke dalam rumah. Saat ini rumah dalam keadaan sepi. Kedua mertuanya sepertinya sudah beristirahat di kamarnya.
Mbak Surti yang melihatnya masuk dengan digendong oleh Robin, buru-buru ke dapur. Katanya si Mbak ingin membuatkan segelas teh manis hangat untuknya. Robin yang sepertinya tidak tega meninggalkannya sendiri, berdiri canggung di pintu kamar. Saat perutnya kembali bergolak, Keira bangkit dari tempat tidur dengan tergesa-gesa menuju kamar mandi. Ia takut muntahannya nanti mengotori tempat tidur. Akibat dari gerakan buru-burunya, tubuhnya terhuyung-huyung dan nyaris terjatuh di lantai. Untung saja Robin dengan sigap segera menahan laju tubuhnya.
Robin jugalah yang memapahnya ke kamar mandi dan menungguinya mengeluarkan isi perutnya di atas closet. Keira sampai gemetaran dan berkeringat dingin karenanya. Saat Robin memapahnya keluar dari kamar mandi, suaminya masuk ke dalam kamar. Robin buru-buru menjelaskan tentang keadaannya yang sedang kurang sehat dan ia yang hanya berniat menolong sebelum Mbak Surti datang. Suaminya hanya mengangguk singkat sambil lalu. Sama sekali tidak mempedulikan keadaannya. Setelah mandi, suaminya pergi lagi dan baru kembali pada pukul dua pagi.
Jika dulu ia selalu menanyakan apakah suaminya ingin siapkan makanan atau minuman jika pulang larut, kini tidak lagi. Ia bahkan tidak menanyakan suaminya dari mana saja. Ia sudah tidak peduli lagi. Ia memang belum tidur saat suaminya masuk ke dalam kamar. Perutnya yang masih saja kram membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Mereka saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya sama-sama membuang muka. Dari semua kesalahan yang pernah terjadi dalam hidupnya, pernah mencintai Panji adalah satu kesalahan terbesar yang pernah dilakukannya.
"Kenapa kamu belum tidur? Menunggu saya pulang?"
Perasaan banget ditungguin, Mas Bro? Iyuh banget nungguin tukang selingkuh pulang kandang.
"Saya kurang enak badan," jawab Keira acuh. Suaminya menatapnya sekilas. Mungkin ia heran mendapatkan jawaban yang terkesan ogah-ogahan darinya. Sesaat kemudian terdengar suara percikan air di kamar mandi. Membersihkan bekas-bekas dosa sepertinya.
Astaga Ra, jangan membatin. Ada malaikat kecil yang kini berkongsi raga dengan kamu. Jaga batinmu, jaga ucapanmu.
Terdengar suara kamar mandi yang dibuka kemudian ditutup kembali. Ia memejamkan matanya. Berusaha menghitung domba demi mencari kantuk yang tak kunjung datang.
"Lho, piyama saya mana? Kenapa tidak kamu siapkan?" Panji memelototinya saat tidak mendapati piyamanya di atas ranjang. Biasanya setiap ia mandi, Rara sudah menyiapkan piyamanya di atas ranjang.
"Saya lagi mager, Mas. Mas ambil saja sendiri dari lemari." Sahut Keira acuh sambil membalikkan tubuhnya membelakangi suaminya. Semenjak hamil ia memang eneg banget melihat wajah suaminya. Sepertinya malaikat kecilnya pun tidak suka berdekatan dengan ayahnya. Suaminya terdiam. Keira mendengar suara pintu lemari pakaian di buka. Berarti Panji melaksanakan apa yang tadi dikatakannya. Ia memejamkan matanya. Kalau ia tidak tidur sekarang, besok pagi pasti ia akan terkantuk-kantuk saat bertugas. Ini juga paling ia hanya bisa tidur beberapa jam. Lesakan tempat tidur di sebelahnya menandakan ada beban lain di sampingnya.
"Kenapa kamu tidak menanyakan, saya dari mana saja tadi? Biasanya kamu selalu tanya?"
Tumben ini orang kepengen ditanya?
"Saya tidak ingin tahu lagi," jawabnya singkat.
"Kenapa tidak ingin tahu lagi? Karena kamu lebih suka mengetahui kabar Robin dari pada suami sendiri? Begitu?" Celetuk Panji ketus. Mendengar nama Robin disebut-sebut, Keira membalikkan tubuhnya. Ia paling benci dengan orang yang suka bersikap playing victim seperti ini.
"Hanya karena Mas suka berbuat curang di belakang saya, itu bukan berarti saya juga akan melakukan hal yang sama. Saya tidak semenyedihkan itu, Mas." Balas Keira getas. Emosinya terkait saat Panji membawa-bawa nama orang lain dalam permasalahan mereka.
"Saya tahu kalau kamu mencintai saya. Seseorang baru saja memberitahu saya. Coba jawab saya dengan jujur, benar atau tidak kata-kata orang tersebut?
"Kalau Mas tanyanya beberapa bulan lalu, saya akan menjawab, iya."
"Kalau sekarang?"
"Sekarang sudah tidak lagi,"
"Mengapa?"
"Karena ada seseorang yang kehadirannya kini merampas semua rasa cinta yang saya punya," jawab Keira lantang.
"Baguslah. Karena saya juga sudah menemukan kembali seseorang yang saya cinta. Kita tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan tentang semua perasaan kita pada kedua orang tua kita. Keadaan kita sekarang ini, toh satu sama."

Keshia Prawirajaya

Keira Wicaksana