3. His Room & Drunken guy

1963 Kata
Rully melipat tangannya di d**a menunggu Adrianni mencatat apa saja yang dikatakannya. Adrianni menulis setiap ucapan Rully yang ia rasa perlu dicatat sambil menggerutu kecil. Memang sudah kebiasaan Adrianni , mencibir dan menggerutu apa saja yang tidak disukainya.   "Jadi kamu harus siapin pakaian saya untuk meeting nanti, terus reservasi hotel dan tiket pesawat jangan lupa, oh iya karena saya ada rapat setelah ini kamu juga jangan lupa ke apartment saya untuk sedikit membereskannya dan menyiapkan segala keperluan saya untuk perjalanan bisnis ke Kuta nanti, sekaligus berkas yang juga harus dibawa."   Adrianni menggerakkan jemarinya dengan cepat mencatat setiap keperluan apa saja yang harus disiapkannya untuk Rully. Adrianni menggerutu kala Rully memprotesnya jika dia bertanya atau meminta penjelasan lebih. Seperti menanyakan dimana letak Rully menyimpan koleksi jam tangannya, memangnya dia istrinya apa sampai harus tau segala macam benda di dalam apartment bosnya?   Sejak setahun resmi menjadi sekretaris pribadi Rully, Adri memang memiliki akses bebas masuk ke dalam apartemen mewah Rully yang terletak di Kebayoran Baru. Tetapi Adri masuk ke sana sebatas untuk mengambil barang atau berkas milik Rully yang tertinggal di dalam ruang kerjanya, atau Adri ke sana saat Rully juga memang sedang berada di sana.   "menyiapkan ini itu..." gerutu Adrianni sambil berlalu ke luar setelah selesai mencatat segala macam yang Rully butuhkan. Namun sebelum Adri mencapai pintu lagi-lagi ia mendengar, "Adrianni Hanggita!" tegur Rully membuat gadis itu mengumpat dirinya sendiri. Ketauan lagi, deh.   "Iya, Pak, maafkan saya..." ucapnya sambil melesat dengan cepat dari pandangan Rully. Rully hanya menatap datar ke arah pintu yang menelan sosok sekretarisnya itu sambil menyandarkan tubuh pada kursi besarnya. Lalu sebuah lekukan tercipta di sudut bibirnya, senyuman. Ya, senyuman tulus yang sudah cukup lama tak ia pamerkan ke orang lain dengan mudahnya.   ---   Adrianni menekan tombol kombinasi apartment Rully dengan seksama, memastikan tidak ada angka yang salah ia tekan. Klik. Pintu apartment terbuka ketika Adrianni mendorongnya ke dalam. Suasana elegan dan minimalis langsung menyambut ketika Adrianni masuk ke dalamnya. Sudah sering Adri ke apartemen milik bosnya itu tetapi Adri tidak pernah dengan benar-benar memperhatikan setiap sisi apartemen mewah tersebut. Meskipun Rully adalah seorang presiden direktur namun apartmentnya tak semewah yang Adrianni kira. Ia kira akan ada kolam air mancur berisikan permata dan pahatan emas yang menghiasi seisi apartment, namun kenyataannya apartment Rully sama dengan apartment normal lainnya. Oke, tapi normal di sini tentu normal untuk orang-orang kalangan jetset. Tak begitu mencolok, mungkin karena Rully tinggal sendiri di dalamnya.   Adrianni mulai menekuri ruangan luas yang bisa disebut juga sebagai kamar utama Rully. Ini kali pertamanya masuk ke kamar pribadi seorang Ruliano Permana selama ia menjadi sekretarisnya. Biasanya Adri hanya sebatas sampai ruang tengah dan ruang kerja saja, tetapi hari ini secara spesial Rully menyuruhnya masuk ke kamar pribadinya. Ingin rasanya Adri mengabadikan momen ini untuk dijadikan bahan pamer di i********: atau path. Tetapi Adri yakin hal ini akan memicu masalah, maka Adri menahan keinginannya.   Adrianni mengeluarkan catatan yang selalu ia bawa dari tas jinjingnya dan mulai membuka lemari baju Rully. Pakaian formal hampir mendominasi lemari berukuran besar itu membuat Adrianni berdecak. Ok, Adri berdecak bukan karena banyaknya kemeja dan jas kerja yang mengisi ruang di lemari tetapi karena hampir semua atau memang semua barang yang ada di dalam lemari Rully merupakan pakaian branded.   Rata-rata atau mungkin hampir semua pakaian yang mengisi lemari besar milik Rully itu semua keluaran brand ternama sekelas Zara, Hugo, Polo Ralp Lauren, Calvin Klein, Fendi, Dolce & Gabbana sampai Armani. Tapi sungguh disayangkan karena Rully jarang mengenakan pakaian-pakaian itu dan lebih sering mengenakan setelan kerja formal yang modelnya itu-itu saja. Bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali dalam tiga bulan Rully memakai sweater turtle neck merek Armani nya yang harganya tidak perlu ditanya. Adri saja yang perempuan cukup ngiler dibuatnya hanya dengan melihatnya.   Adrianni akhirnya mulai memilihkan beberapa pakaian Rully untuk dibawa ke Kuta, lusa. Ya, dia dan Rully akan berangkat ke Bali atau Kuta untuk mengikuti perjalanan bisnis. Mereka akan meninjau langsung proyek pembangunan resort yang ditanami saham oleh PT. Royal Cendana. Adrianni sebenarnya sangat malas untuk ikut apalagi dia harus terus bersama Rully selama lima hari. Rasanya Adri ingin bunuh diri saja.   "Adrianni siapkan pakaian saya, Adrianni mana sarapan saya, Adrianni kamu terlambat! Hadeeeh, laki-laki ini bener-bener memperbudak gue seenak jidatnya. Apapun yang gue lakuin selalu salah di mata dia. Ngelakuin sesuai yang dia minta pasti masih dibilang telat, ngelakuin tepat waktu entar dibilang hasilnya masih belum sesuai. Coba aja gue orang kaya, udah gue kirimin dia pembunuh bayaran deh!" Adrianni melipat dengan hati-hati kemeja Rully dan memasukkannya ke dalam koper. Celana, ikat pinggang, blazzer,tuxedo, sweater, jam tangan , dasi, piyama, pakaian dalam segala keperluan Rully sudah Adrianni atur secara rapi didalam koper. Jika setelah ini Rully masih protes, Adri janji akan mengacak-acak koper itu dihadapan Rully saat itu juga.   Adrianni menarik tas kerja Rully yang terletak di lemari tas. Dia mulai memilah berkas-berkas yang bersangkutan dengan proyek di Bali lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah merasa beres, Adrianni menyusun koper-koper dan tas itu di dekat tempat tidur.   Adrianni mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Terlalu simple hingga tidak ada yang menarik sama sekali untuk Adrianni lihat. Adrianni bergegas keluar kamar Rully lalu memakai kembali tasnya. Bergegas pulang sebelum Rully pulang karena dia sangat malas bertatap muka dengan bosnya itu. Namun dering dari ponselnya menahan langkah Adri. "Ya, hallo.." "Hah? Apa? Ba—baik, saya akan segera kesana." Pip. "Bos macam apa sih ini kerjaannya nyusahin pegawainya terus!" Adrianni mengecek jam tangannya sambil berjalan keluar dari apartemen Rully. Pukul sebelas malam. Pantas saja matanya terasa berat, ini sudah malam dan dia belum beristirahat sama sekali sejak tadi. Adri akhirnya menaiki taksi yang sudah ia pesan sebelum ia keluar dari apartemen Rully tadi. Dalam lima belas menit, taksi sudah melaju dengan cepat membelah jalanan Kebayoran baru menuju kawasan Sudirman yang biasanya macet itu kinimulai sepi. Sepi bukan dalam artian benar-benar sepi, hanya saja tidak ada kemacetan berarti sehingga Adri sampai lebih cepat. Sesekali Adri menatap ke jalanan dengan cemas. Taksi berhenti melaju di depan SCBD. Adrianni membayar argo taksi dan bergegas menuju ke lantai dua fairground, tepatnya menuju ke Fable, salah satu club malam yang sedang happening di Jakarta terutama di kawasan SCBD. Setelah menunjukkan kartu pengenal Adrianni mulai memasuki ruangan utama club tersebut. Begitu masuk mata Adri langsung dihiasi pemandangan club dengan lorong gua berdinding batu hingga ruang utama yang berkesan megah, mewah sekaligus misterius. Bau alkohol, rokok dan bunyi berdebum yang menyebabkan polusi suara mulai menyambutnya. Adrianni benci keramaian dalam club namun apa mau dikata? Lagi-lagi Rully memaksanya untuk memasuki tempat ramai tersebut. Adri meringis saat melihat puluhan atau mungkin ratusan manusia sedang memenuhi dance floor diiringi musik yang diputar dan dimainkan DJ. Daya tarik Fable memang karena DJ yang tampil seringnya DJ yang didatangkan langsung dari luar negeri. Adri sendiri agak heran, padahal besok adalah hari Kamis tetapi kenapa club malam ini begitu penuh. Memangnya orang-orang yang sedang berjoget-joget ria itu besok tidak butuh kerja apa? "Sumpah, kalo lo bukan bos gue, udah gue cincang abis daging lo buat dijadiin bahan perkedel kentang buatan mama," omel Adrianni sambil matanya menelusuri setiap kerumunan dan sudut-sudut club. Adrianni melihat beberapa wanita dengan pakaian minim tengah mengerubungi seseorang yang tengah dicarinya. Ah, dasar wanita-wanita sialan! "Minggir permisi!" ucap Adrianni sambil menembus kerumunan beberapa wanita tersebut. Perbuatannya berhasil menghadiahinya tatapan tajam. Adrianni menghela nafasnya lalu mendekatkan tubuhnya pada sosok Rully yang tengah tak sadarkan diri di sofa. Pesona Rully yang memang dasarnya punya wajah tampan dan aura memikat plus barang yang menempel ditubuhnya dari ujung kepala sampai kaki menunjukkan dirinya adalah orang kaya, tentu saja membuat wanita-wanita matrealistis yang datang ke tempat ini untuk merayu atau menggoda om-om kaya jelas berebut untuk menggoda Rully. Secara, Rully tidak hanya tampan dan kaya tapi juga masih muda dan single sehingga tidak akan begitu menyulitkan bagi wanita-wanita tersebut. "Minggir permisi, gue mau bawa pulang suami gue." ucapan Adrianni berhasil membuat gadis-gadis haus akan pria tampan kaya itu segera minggir satu per satu. Menggoda suami orang adalah kasus paling merepotkan dan mereka tak suka hal yang begitu repot jadi mereka memilih mundur menjauhi kedua orang yang mereka kira suami-istri tersebut. Dasar cewek-cewek b**o, jelas-jelas kita berdua nggak ada yang make cincin kawin. "Ya Allah, amit-amit jabang bayi, jangan dijabah ya Allah omongan saya. Jangan sampe dia beneran jadi suami saya, ya Allah..." Adrianni membopong Rully meskipun cewek itu cukup kewalahan mengingat tubuh Rully jauh lebih besar daripada tubuhnya yang kurus. Adrianni menggerutu pelan ketika tanpa sadar Rully memukul wajahnya meskipun pelan. "Ya Tuhan, lagi mabok aja masih sempet-sempetnya nyiksa gue!"   ---   Adrianni menekan dengan repot tombol nomor kombinasi apartment Rully. Setelah terbuka Adrianni lagi-lagi bersusah payah membopong Rully menuju kamarnya. Setelah sampai di hadapan kasur, Adrianni membanting tubuh Rully dengan cukup kuat karena tubuhnya mulai terasa sakit. Membopong Rully sama saja membawa tiga karung beras berukuran besar!   "Dasar gendut!" rutuknya pada Rully yang tengah terkapar dalam keadaan mabuk. Well, sebenarnya Rully sama sekali tidak gendut. Badannya memang padat, tetapi oleh otot bukannya lemak, tetapi Adri selalu menganggapnya gendut. Adrianni melepas high heels dan blazzernya. Dia menggulung lengan kemeja hingga siku lalu duduk di sisi kanan Rully. Adrianni memperhatikan lekat-lekat wajah Rully yang tampak tampan namun sangat menyebalkan ketika terbangun itu.   "Oy, bos... kok lo ganteng sih kalo lagi tidur? Lo keliatan lebih nyenengin kalo kayak gini ketimbang kalo lo lagi sadar. Makan hati gue bawaannya, gondok terus, " ucap Adrianni sambil mengelus lembut pipi Rully tanpa sadar. Tak disangka tangan Rully secara tiba-tiba memegangi lengannya, membuatnya terlonjak.   "Anjir!"   "Sshh...kenapa kalian ngelakuin ini?" Rully bergumam dengan mata terpejam.   "Hah?" tanya Adrianni tak mengerti. Rully masih terlelap namun mulutnya terus saja bergumam.   "Rully bukan boneka, Rully bukan boneka," kali ini Rully bahkan membuka matanya. Adrianni menatap bingung kearah Rully dan laki-laki itu menatapnya tajam. Rully bangun dari posisinya dan masih memegangi lengan Adrianni .   "Pa—pak Rully..."   "RULLY BUKAN BONEKA KALIAN!!"   Adrianni sontak mundur beberapa senti. Dia merasa takut karena Rully membentaknya dengan tatapan tajam yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Bahkan meskipun hampir setiap hari Rully mengomelinya, Rully tak pernah terlihat semarah ini.   "Pak Rully..."   "HAHAHAHHA... bego... g****k! t***l, kalian semua t***l," Rully mulai meracau tak jelas bahkan laki-laki itu tertawa-tawa. Adrianni mulai faham jika kini Rully tengah berada dibawah kendali alkohol.   "Iya, lo emang b**o, Rul. Lo pikir dengan mabok kayak gini masalah lo kelar? Lo tuh Cuma ngeluapin masalah lo pas mabok doang, tapi nanti pas lo udah sadar, lo bakal ngerasa masalah lo malahan makin berat." Adrianni menatap Rully yang sudah kembali terlelap dengan prihatin. Dia tidak mengerti dan sebenarnya tidak mau mengerti masalah apa yang tengah di hadapi bosnya itu, tapi yang jelas bosnya itu lelaki datar yang selalu terlihat kaku di kantor itu terlihat sangat tertekan.   "Permasalahan orang kaya..." gumam Adrianni sambil mengusap lembut kepala Rully, iba.   Adrianni akhirnya membuka perlahan dasi yang masih melekat pada Rully dengan hati-hati. Dia juga mengambil lap basah untuk mengelap wajah Rully yang terlihat lengket karena keringat. Sebenarnya Adrianni berniat untuk menggantikan baju Rully dengan piyama namun dia merasa terlalu lancang untuk melakukan itu. Dan juga Adri masih belum kuat iman untuk melihat bosnya itu telanjang secara langsung.   Adrianni yang sejak tadi terduduk disisi ranjang Rully kini beranjak berdiri berniat untuk memasakkan sesuatu dan membuatkan minuman hangat untuk Rully berjaga-jaga jika nanti bosnya itu bangun dan kelaparan. Namun tiba-tiba tangan Rully memegang lengannya dengan kuat. Mata Rully masih terpejam namum bibirnya bergumam lirih dengan kalimat yang tidak bisa Adri cerna. Tetapi anehnya Adri merasakan hatinya berdebar keras. Sesuatu yang baru pertama kali dirasakannya.   Refleks Adri kembali ke posisi awal. Menopang dagunya dengan sebelah tangan dan sebelah tangan dalam genggaman tangan Rully. Mata Adrianni menekuri dengan teliti setiap inch wajah Rully. Seperti manekin tanpa cacat, Rully terlihat begitu sempurna. But he's not a doll or manequin, he's human, he can breath and his heart still beating.   "Sleep tight, boss." dan detik berikutnya Adrianni ikut terlelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN