“M-mas Rendra?”
Jantungku kini seperti mau lepas. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Mas Rendra menyusul. Harusnya ini kebetulan karena sudah cukup lama kami tidak chat-an sama sekali. Terakhir chat-an pun hanya membahas sesuatu yang tak terlalu penting.
Lagi pula, dia tahu dari mana aku di sini? Kenapa momennya bisa setepat ini? Tidak mungkin dia membuntutiku, kan?
“Aku chat kamu sejak tadi, Ma. Tapi enggak dibalas.”
“Masa? Emang iya?”
“Iya. Buka aja.”
“A-aku enggak buka hape—”
“Ternyata, kamu malah lagi sama cowok lain.”
“Kenapa, emangnya? Dia asisten dokter pembimbingku saat koas di Jakarta.”
Aku menatap Mas Gala, dia menaikkan sebelah alisnya. Seolah-olah, dia bertanya … ‘ini siapa, Ma?’
“Oh, asisten dokbing.” Tiba-tiba saja, Mas Rendra mengulurkan tangannya pada Mas Gala. “Kenalin, Mas, saya calon suaminya Salma.”
Aku langsung mendelik. “M-mas? Bisa-bisanya!”
“Apa aku salah? Kedua orang tua kita bahkan udah membicarakan tentang pertemuan keluarga. Tinggal kamu yang belum tahu.”
“Loh! Harusnya aku—”
“Saya Gala. Teman Salma.” Kalimatku terputus balasan Mas Gala atas ajakan kenalan dari Mas Rendra.
Saat aku menatap Mas Gala, dia malah tersenyum. Namun, senyumnya kali ini tidak enak dilihat. Tidak seperti senyum yang tadi.
“Aturan kamu bilang lebih awal, Ma,” katanya pelan— nyaris seperti bisikan.
“M-mas, ini bukan kaya—”
“Aku balik dulu, Ma. Have fun, ya! ”
“Mas—”
“Silakan dilanjut kencannya, Mas,” ujar Mas Gala pada Mas Rendra. “Jangan salah paham. Saya hanya menemui Salma karena kami berteman baik.”
Mas Rendra langsung mengangguk. “Iya, enggak papa. Saya santai, kok.”
Mas Gala kini berdiri.
“Duluan, Ma,” pamit Mas Gala lagi. Dia tetap tersenyum di saat— harusnya— dia kecewa. Dia bahkan bertindak seolah-olah kami tak pernah membahas sesuatu yang serius dan sangat sensitif.
Akhirnya, Mas Gala betul-betul pergi. Langkahnya lebar dan cepat, dalam hitungan detik saja langsung tak terlihat.
“Ma, kenapa kamu natap dia terus? Kamu suka sama dia?”
“Mas Rendra kenapa pede banget bilang kalau Mas itu calon suamiku?”
“Memangnya enggak?” Kini Mas Rendra duduk di kursi yang tadi Mas Gala duduki. “Oh, ayolah, Ma. Kita udah sampai orang tua. Kalau kita udah saling mengenal sejauh ini, enggak mungkin tujuannya bukan pernikahan. Sejak awal juga memang kita dijodohkan. Harusnya kamu enggak kaget kalau aku memperkenalkan diri sebagai calon suamimu. Kenyataannya, kan, begitu.”
“Kenyataannya begitu? Sejak kapan aku setuju?”
“Kenapa kamu jadi begini? Sejak awal kita bertukar nomor, itu udah jelas tujuan utamanya. Jangan bertidak seolah enggak tahu apa-apa. Kita udah sama-sama dewasa.”
Aku menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku belum pengen nikah. Aku masih pengen selesaiin internship dulu. Aku mau pulang.”
Saat aku berdiri, Mas Rendra langsung menarikku untuk kembali duduk. Cukup dalam sekali sentakan karena tenaganya memang kuat.
“Ma, aku bisa menunggu. Kita bisa mengenal lebih lama.”
“Jangan menunggu. Internship itu lama—”
“Cuma setahun, kan? Enggak papa. Aku tetap bisa menunggu.”
“Aku yang enggak mau ditunggu. Pokoknya aku—”
“Aku suka kamu.”
Aku mencibir dalam hati.
Suka, dia bilang? Padahal, bilang saja dia sedang berusaha membuatku luluh. Aku tidak akan termakan lagi rayuan omong kosongnya.
“Atas dasar apa Mas Rendra suka aku?”
“Kenapa masih tanya itu? Jelas-jelas kita udah intens chat-an sejak akhir tahun lalu. Aku merasa cocok denganmu. Aku suka kepribadianmu. Aku mau menikahimu, Ma. Ini serius!”
“Kalau Mas Rendra pengen, itu urusan Mas. Aku mendadak berubah pikiran. Aku masih pengen nikmatin masa muda dulu—”
“Kamu pengen ngecewain orang tuamu?”
“Apa itu urusan Mas Rendra? Orang tuaku, itu urusanku.”
“Kamu beneran suka cowok tadi, Ma? Iya?”
“Kenapa larinya ke sana? Dia itu asisten dokbing-ku sekaligus temanku. Wajar kalau kami sesekali ketemuan hanya sekadar ngopi.”
“Kamu menyengaja selingkuh?”
“Tunggu! Selingkuh, Mas Rendra bilang? Apa kita pernah jadian sebelumnya?”
Mas Rendra terdiam.
“Mas, tolong ingat baik-baik. Pertama, kita belum jadian. Kalau aku ketemuan sama cowok mana pun, itu bukan selingkuh. Mas Gala atau cowok lain, sama aja. Aku masih punya banyak teman cowok selain dia. Kedua, aku belum pengen nikah. Ketiga, tolong jangan sembarangan ngaku-ngaku jadi calon suamiku.”
“Kenapa kamu tiba-tiba begini, Ma? Rasa-rasanya, dua bulan terakhir ini kamu mendadak berubah drastis. Kalau memang belum pengen nikah, kenapa kamu mau dikenalin ke aku? Chat-an kita beneran udah intens sekalipun belum terlalu menjurus. Aku bisa rasain kalau kamu juga tertarik padaku. Kenapa sekarang jadi begini?”
Memang, harus kuakui. Sebelum aku bangun pagi itu, masa sebelumnya aku sudah menunjukkan ketertarikan pada Mas Rendra. Makanya jangan heran kalau Maret kami sudah tunangan dan April sudah menikah. Jangan heran pula kalau saat ini Mas Rendra bingung kenapa aku mendadak berubah. Aku bisa mengerti bagian ini.
Namun, aku tidak akan tertipu lagi. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
Aku sudah tahu apa yang akan terjadi kalau menikah dengannya. Dia hanyalah srigala berbulu domba. Semua yang dia tunjukkan saat ini hanyalah topeng. Tidak dia, tidak orang tuanya, sama-sama busuk. Mereka suka menindas yang lemah.
“Hati manusia bisa berubah, Mas. Waktu itu Ayah belum sering sakit, jadi aku pikir kayaknya bagus aja kalau kita menikah. Tapi setelah Ayah jarang sehat, aku jadi pengen jagain beliau.”
“Ini terkesan seperti alibi yang dibuat-buat, Ma. Kalau soal jagain Ayah, aku bisa membantumu.”
Bullshit!
Yang ada, dia malah memperparah. Bahkan aku masih ingat. Di kehidupan sebelumnya, saat Ayah ingin berobat dan butuh uang, Mas Rendra tak sudi memberi sepeser pun. Membuat Ibu mau tak mau harus menggadaikan cincin pernikahan. Uang hasil jual tanah yang baru diberikan separuh sudah habis untuk yang lain.
Daripada rasa sakit saat di-KDRT, bagian ini adalah salah satu yang justru jauh lebih menyakitkan. Di mana Ayah kesulitan bernapas dan harus segera dibawa ke rumah sakit, tetapi aku tidak bisa membantu apa pun. Bahkan pada masa-masa itu aku selalu berpakaian sangat tertutup untuk menutupi luka lebam di sekujur tubuh.
Membayangkan saja membuatku ingin menangis saat ini juga. Sayangnya, aku tidak mungkin membuat Mas Rendra heran kenapa aku tiba-tiba menangis tanpa alasan.
“Ma, aku serius. Aku beneran bisa bantu merawat ayahmu.”
“Tetap beda, Mas—”
“Apa bedanya?”
“Ah, terserah Mas Rendra aja. Aku lagi malas berdebat. Yang jelas, untuk saat ini aku belum ingin menikah.”
“Oke. Tapi aku minta tolong, kamu jangan langsung menjauh. Beri kesempatan padaku untuk menunjukkan lebih banyak siapa aku sebenarnya.”
Karena aku sudah betul-betul lelah, akhirnya aku mengangguk. “Oke. Aku kasih Mas Rendra kesempatan lebih. Tapi tolong, jika pada akhirnya aku enggak mau, jangan dipaksa.”
“Ya.”
Aku kembali berdiri. “Kalau gitu, permisi.”
Aku segera pergi dan setengah berlari turun menuju lantai satu. Aku juga bergegas ke halaman lalu buru-buru naik motor.
Aku menyempatkan untuk menatap lantai dua, Mas Rendra masih di tempatnya. Dia menatapku dan melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk untuk basa-basi, lalu akhirnya pergi meninggalkan area café.
“Dasar manusia munafik!” seruku kesal di tengah-tengah bisingnya suara kendraan di jalan raya.
***
“Aduh! Mas Rendra sialan!”
Aku menendang-nendang kaki ke udara karena terlampau kesal. Aku kesal karena Mas Rendra telah mengacaukan hubunganku dengan Mas Gala. Dia datang tak diundang dan dengan lancangnya malah mengaku sebagai calon suamiku.
Kapan dia menyatakan perasaannya dan aku mengiyakan? Kapan terjalin kesepakatan di antara kami?
Tidak ada. Betul-betul tidak ada.
Yang membuatku semakin kesal adalah dia mengatakan itu dengan sangat percaya diri. Membuat ekspresi Mas Gala langsung berubah. Membuatku juga mendadak merasa tak enak hati.
Padahal, tadi tinggal satu detik lagi aku akan bilang ‘iya’. Aku benar-benar akan mengiyakan. Sayang sekali, manusia setan itu keburu mengacau.
“Terus gimana hubunganku dengan Mas Gala setelah ini? Apa dia masih sudi berteman denganku? Apa kami tidak canggung setelah obrolan tadi? Arghh! Pokoknya ngeselin!”
Aku jadi kepikiran. Jangan-jangan, ending ‘tertolak’ ini tak bisa berubah. Jadi, sekalipun aku tak menolak, penolakan itu tetap tersampaikan. Hanya saja caranya tak langsung dan berasal dari orang lain— dalam konteks ini adalah Mas Rendra.
“Ini berubah dan enggak berubahnya beneran pilih-pilih banget, ya? Kok bisa, sih!”
Oh, iya. Aku hampir lupa membahas ini.
Jadi, beberapa saat yang lalu Mas Gala baru saja mengirim pesan yang cukup panjang. Tentu saja, masih tentang yang tadi. Aku bahkan sampai membacanya berulang kali. Aku ingin memastikan kalau aku tidak salah baca dan tidak ada satu kata pun yang terlewat.
Mas Gala
Ma, sebelum kamu biarkan aku datang menyusul dan ngomong sebanyak itu, harusnya kamu jujur dulu kalau kamu udah ada calon. Maka aku enggak akan mengganggumu.
Aku tahu etika, Ma. Aku enggak akan merebut calon istri orang.
Sorry, untuk yang tadi.
Lupakan saja. Jangan kamu ingat-ingat lagi.
Anggap aku enggak pernah ngomong apa pun soal pernikahan.
Thanks!
Rasanya sedih sekali membaca pesan yang Mas Gala kirim. Sekalipun belum tentu aku dapat restu dari orang tua jika dinikahinya, minimal tidak langsung pupus begini.
Apa ending di mana aku tidak bisa menikah dengan Mas Gala benar-benar akan terulang seperti kehidupan sebelumnya?
Dulu aku menolaknya, kami tidak bersatu. Kini aku tidak menolaknya, kami juga tidak bersatu pula.
Bagaimana ini? Apa takdirku memang harus menikah dengan Mas Rendra?
“ENGGAK MAUUU!”
Aku bangun, lalu meremas rambut. Kini napasku mulai tak teratur karena menahan emosi. “Semua ini gara-gara manusia b******k itu! Harus gimana aku setelah ini?”
***