Mas Gala akhirnya mau membalas pesanku. Menunggu nyaris dua minggu dulu baru dia merespon. Namun, tak apa. Ini lebih baik daripada tidak sama sekali.
Mas Gala
Udah, Ma
Siapa pun dia buat kamu, bukan urusanku lagi
Aku cuma minta kamu jangan ungkit ajakanku malam itu
Benar-benar lupakan itu, ya!
Aku yang impulsif
Aku bertindak tanpa banyak mikir
Tenang, kita masih bisa berteman
Soal pagi itu, aku lagi diajak ngobrol Pakde
Enggak enak kalau mau main hape
Pesan itu terus saja k****a sampai berulang-ulang. Aku agak lega karena Mas Gala tidak benar-benar marah padaku. Jeleknya, kemungkinan dia mengajakku menikah lagi nyaris tidak ada. Sudah cukup kemarin dia merasa malu.
Pesan terakhirku sebelum dia membalas, aku memang sempat mengungkit soal kejadian di Alun-alun Utara. Makanya dia membahas perihal Pakde-nya. Ya, aku paham. Main ponsel saat diajak ngobrol dengan orang tua memang kurang sopan.
Namun, andai Mas Gala tahu, keabaiannya pagi itu membuatku tidak enak makan seharian. Silakan katakan aku berlebihan, tetapi benar-benar itulah yang terjadi.
“Ya udahlah. Aku enggak tahu lagi harus gimana. Biarin ngalir aja!”
Saat aku keluar kamar, aku dibuat terkejut ketika melihat Mas Rendra datang bersama Ibu sembari membawa belanjaan beliau. Tadi memang ibu pamit ke pasar untuk belanja sayur dan daging— karena di sana harga-harganya jauh lebih murah daripada di supermarket.
Tadinya mau kuantar, tetapi Ibu tidak mau. Alasannya karena tadi aku sedang membuatkan bubur untuk sarapan Ayah.
“Salma! Kok bengong, sih? Sini bantu Ibu!”
“O-oh, iya, iya.”
Aku berlari menghampiri Ibu dan segera membantu beliau. Mas Rendra tersenyum padaku, jadi aku membalas. Namun, hanya sekenanya. Sekadar basa-basi saja karena aku masih cukup punya sopan santun.
“Kamu bikinin minum buat Rendra, Ma. Ibu mau beresin ini dulu.”
“Iya, Bu.” Aku menatap Mas Rendra dengan mimik muka yang kubuat ramah. “Mau minum apa, Mas?”
“Air es aja kalau ada.”
“Oke. Tunggu, ya.”
“Iya.”
“Silakan duduk, Mas.”
“Ya.”
Mas Rendra segera duduk di ruang tamu sementara aku buru-buru ke dapur.
Sejujurnya, sampai detik ini, tiap lihat Mas Rendra aku masih ingat bayangan saat dia mencekikku dengan sadis. Masih ingat pula saat dia KDRT. Padahal, kalau melihat dia sekarang, dia macam laki-laki yang ramah dan soft spoken.
Karena di kehidupan ini dia tidak— atau belum— melukaiku, maka aku masih bisa bersikap baik padanya. Tidak mungkin juga aku marah-marah padanya tanpa alasan yang jelas. Ingatan mengerikan itu tidak bisa kujadikan alasan karena sifatnya sangat pribadi.
Namun, aku tetap tidak akan membuka celah lebih lebar untuk dia masuk ke dalam hidupku. Baikku padanya benar-benar seperlunya saja. Cukup sewajarnya manusia.
“Ini minumnya, Mas.”
“Makasih.”
Aku ikut duduk, sekadar menghargai tamu.
“Mas Rendra, kok, bisa sama Ibu?” tanyaku membuka percakapan.
“Tadi aku ke pasar anter Mama. Lalu Mama nyuruh aku buat anter ibumu.”
“Lalu Mamanya Mas Rendra gimana?”
“Beliau dijemput Papa. Kebetulan, Papa juga ada di dekat situ.”
Meski agak aneh dan kurang masuk akal, aku iyakan saja. “O-oh, gitu. Iya, iya.”
“Ayah kamu mana, Ma?”
“Udah ke warung. Habis ini aku sama Ibu mau nyusul.”
“Ah …” Mas Rendra manggut-manggut. “Artinya, aku enggak bisa lama, ya?”
“Ya, begitulah.”
Mas Rendra sepertinya sadar kalau aku memang tidak ingin dia berlama-lama di rumah ini. Dia hanya pura-pura tak peka. Padahal, ekspresi spontannya barusan menjelaskan semuanya.
Sebetulnya, sejak aku mengenalnya, aku merasa dia cukup peka pada hal-hal kecil. Jadi, wajar sekali kalau dia sangat peka dalam menangkap perubahanku.
Dan jujur, aku juga jadi curiga kalau dia diam-diam mengintaiku karena mencurigaiku. Pasalnya, kebetulan di café Pawon Kinanthi terlalu tepat.
Apa ini artinya, waspadaku harus lebih lagi?
“Maaf, ya, Rendra. Rumah Tante masih berantakan.” Ibu yang tadi menata belanjaan, kini sudah bergabung di ruang tamu.
“Enggak papa, Tante. Ini saya malah mau langsung pamit aja. Soalnya kata Salma, habis ini Tante sama Salma mau ke warung—”
“Oh, enggak papa. Jangan buru-buru. Ke warungnya bisa ditunda sebentar. Ayahnya Salma udah ke sana, kok. Di sana juga udah ada yang bantuin. Jadi, aman aja.”
“Enggak, Tante. Saya pulang sekarang saja.”
“Oh, ya sudah. Maaf, ya!”
“Tante santai saja.”
Mas Rendra menghabiskan minumannya, lalu berdiri. Aku pun ikut berdiri. Akhirnya, aku dan Ibu mengantar Mas Rendra sampai teras.
“Saya pulang dulu, Tante, Salma …”
“Iya.”
“Iya, Mas.”
Mas Rendra naik mobilnya, lalu bergegas pergi keluar halaman. Aku pun buru-buru masuk kembali.
“Salma, kamu ini apa enggak bisa yang lebih ramah sama Rendra?” sudah kutebak kalau ibu akan memprotes bagian ini.
“Tadi aku udah ramah, lho, Bu.”
“Kelihatan banget dibuat-buatnya.”
“Emang iya?” aku pura-pura tak sadar.
“Iya! Ibu bisa rasain itu.”
Ibu tampaknya tak suka jika aku terlalu menunjukkan ketidaksukaanku pada Mas Rendra. Agaknya beliau masih berharap besar pada perjodohan ini.
“Hm … ya ini yang aku rasain, Bu. Aku enggak suka dia. Mau aku baik-baikin kaya apa juga, tetap kelihatan enggak sukanya. Jadi, tolong jangan dipaksa.”
“Kamu ini, lho! Ibu dibaikin bukannya senang, malah kesel ke orangnya.”
“Konsepnya bukan itu, Bu. Lagian, Mas Rendra kelihatan banget lagi caper. Ya sama Ibu, sama aku.”
“Apa salahnya kalau dia caper? Yang penting, yang dia lakuin itu baik.”
“Tahu gitu, tadi aku ngotot antar Ibu ke pasar. Soal bubur, kan, sebenarnya tinggal matangnya aja. Ayah bisa ambil sendiri. Pokoknya, besok-besok selagi aku belum internship, aku yang antar Ibu ke pasar. Jangan naik ojek lagi.”
“Naik ojek itu berbagi rezeki sama orang lain, Ma. Apalagi ojek pengkolan itu enggak pasti laku. Ibu niatin itung-itung sedekah ringan. Katanya, kan, sedekah yang paling ringan itu jajan. Dan menurut ibu, ojek itu juga termasuk jajan. Jajan jasa.”
“Aku tahu, Bu. Tapi kalau itu dijadiin alasan biar Mas Rendra bisa kaya barusan, aku enggak mau sampai terjadi lagi. Masih pagi-pagi udah bertamu aja. Bikin enggak bebas.”
Ibu tampak kehabisan kata-kata untuk membalas. Beliau sempat membuka mulut, tetapi malah urung dan tak jadi bicara. Kini beliau justru pergi ke dapur dengan mimik muka kesal.
Aku menghela napas pelan, lalu mengusap d**a berulang kali. “Ini demi kebaikan Ibu juga. Aku enggak mau Ibu dan Ayah makin menderita.”
***
“Dengar-dengar, Mas Gala mau pergi ke Belanda, tahu!” Mita si informan paling terpercaya sedang menyampaikan berita utama. Seperti biasa, anak ini memang sejak dulu selalu paling cepat dapat berita. Mulai dari berita remeh, sampai berita yang agak berat.
“Wih! Kabar terbaru lagi, Mit?” balas Jani.
Saat ini memang aku, Jani, dan Mita sedang video call bertiga. Mau mengajak Risa, dia sedang tidak bisa. Harap maklum, perbedaan waktu antara WIB dan waktu Belanda sana cuku banyak.
“Iya, Jan, tapi masih simpang siur katanya. Cuma kalau kata kakakku, gosip adalah fakta yang tertunda. Paling Mas Gala masih nyiapin macam-macamnya.”
“Buat penelitiankah, Mit?” tanyaku.
“Iya, Kak Ma. Katanya tinggal penelitian akhir banget. Kurang data apa, gitu. Sama biar meyakinkan pembimbing dia. Agak kompleks, deh, kayaknya.”
Ngomong-ngomong, aku lupa belum membahas ini. Jadi, Mita dan Jani ini sebenarnya adik tingkatku. Dulu aku yang telat koas karena masalah administrasi. Makanya mereka memanggilku ‘Kak’.
Kalau Risa, dia sama denganku. Dia telat koas juga. Bedanya, dia telat karena dulu sempat cuti sakit.
“Padahal waktu itu Mas Gala bukannya penelitian di Singapura, ya? Kupikir udah cukup. Ternyata belum?” sahut Jani.
“Nah, enggak tahu, tuh, Jan!”
“Habis lulus, pasti langsung disuruh pulang.”
“Pastinya!” balas Mita cepat. “Eh, iya. Ada info lagi, saudara-saudara. Aku lupa udah bilang ini atau belum, tapi mau aku ulangi. Jadi, Mas Gala enggak hanya ponakan Sultan Jayaningrat, tapi ayahnya juga direktur rumah sakit swasta terbesar di Jogja. Seingatku, waktu itu aku bilangnya baru petinggi, belum posisi yang pasti. Kalau ini, udah pasti. Dan info ini valid, soalnya udah dikonfirmasi.”
“Ya Allah, ngerinya!” Jani menganga hiperbola.
“Ini dari kemarin kita dibikin kaget mulu sama Mas Gala. Ada aja gebrakannya. Ternyata, di balik ramah dan sederhananya, dia keturunan darah biru yang enggak kaleng-kaleng.”
“Kalau aku mau deketin Mas Gala, bakal dilirik enggak, ya?” Jani terkekeh.
“Sebaiknya Anda ini sadar diri, Saudari Janisha.”
“Iyelah! Siapeee, aku ni!”
“Kak Salma kok diem aja dari tadi? Ada apa gerangan?”
“H-hah?” aku mendadak tersadar dari lamunanku.
Sebenarnya, aku tidak benar-benar melamun. Hanya saja karena aku sudah tahu info itu, jadi aku bingung harus membalas apa.
“Kan! Kak Ma ini malah ngelamun!”
“Sorry, sorry. Hari ini aku banyak bantuin orang tuaku di warung. Jadi capek, rada ngantuk. Tenaga agak habis, makanya cuma pengen dengerin kalian ngobrol.”
“Tapi nyimak info tentang siapa Mas Gala, enggak?”
“Nyimak, kok.”
“Kok enggak kaget?”
“Kaget, ya! Cuma ketutup agak ngelamun aja. Jadi agak telat responnya.”
“Aneh banget Kak Salma ini.”
Aku hanya meringis. Bingung sekali harus bilang apa ke mereka berdua.
“Eh, by the way … nanti kalau Mas Gala udah mau berangkat ke Belanda, kabari, ya, Mit!” ujarku kemudian.
“Lah! Aku pun enggak tahu, Kak.”
“Ya, kan, ada kakakmu.”
“Kenapa, hayo! Kenapa Kak Ma kepo?”
“Mau nitip buat Risa. Kan dia di sana,” jawabku asal ceplos, tetapi ternyata masuk akal.
“Oh, oke. Nanti kalau ada kabar, aku kasih tahu— eh, kenapa enggak tanya Mas Gala langsung aja, Kak Ma? Kan kalian deket.”
“Iya, tuh! Waktu itu aku lihat Mas Gala lihatin Kak Salma terus!”
“Lihatin aku? Emang iya? Ngawur, kamu, Jan!”
“Beneran, ya! Aku sampai ngeledek, tapi malah dilempar roti. Ya udah, rotinya aku makan.” Jani terkekeh pelan.
“Enggak usah sembarangan, Jan. Saat kita koas, Mas Gala udah ada cewek.”
“Apa sekarang udah enggak?”
“Entah.” Aku mngedikkan bahu.
Tidak mungkin juga aku jujur. Kesannya aku jadi tahu sekali masalah pribadi Mas Gala. Yang ada, mereka nanti curiga.
“Lha gimana, sih, Kak!”
“Udah, udah. Jangan dibahas lagi. Mending bahas rencana kalian setelah lulus nanti.”
“Oh, iya. Kita bahas itu aja!”
Aku menghela napas lega karena obrolan teralihkan.
Namun, karena obrolan ini agak serius dan pengumuman UKMPPD juga masih agak lama— akibat diundur, akhirnya obrolan malam ini dihentikan. Jadinya kami akan bahas lain kali saja.
Setelah panggilan beres, aku tidur telentang dengan ponsel kutaruh di atas d**a. “Apa aku chat Mas Gala aja, ya? Tapi masa iya bahas Belanda? Nanti dikira aku terlalu kepo sama urusannya.”
Aku masih menimbang-nimbang ketika ponsel yang kugengam tiba-tiba bergetar. Aku buru-buru mengecek, dan aku dibuat kaget karena Mas Gala mengirimiku pesan lebih dulu.
“Apa, nih? Tumben!” aku bangun dan langsung membaca pesan itu baik-baik.
Mas Gala
[foto]
Dia calonmu, kan, Ma?
Tolong bilang dan tekanin ke dia kalau kita enggak ada apa-apa
Dia tiba-tiba memperingatiku untuk jangan dekat-dekat denganmu
Apa-apaan, ini?
Memangnya kita dekat apanya?
Perasaan sejak dari café, kita belum ketemu lagi
Aku membaca pesan itu dengan kepala yang mendadak mendidih. “Mas Rendra sialan! Berani-beraninya dia bertindak sejauh ini!”
***