13. Tantangan dari Ayah

1805 Kata
Ayah dan Ibu rupanya tak menyerah. Meski aku sudah bilang tidak ingin, mereka masih terus merayu. Belum lagi, mereka juga semakin sering mempersilakan Mas Rendra datang ke rumah. Membuatku semakin kesal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kalimat minta putus kemarin rasanya hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tak benar-benar sampai hati. Nyatanya, Mas Rendra tetap datang dan bertindak seolah-olah aku tidak pernah mengatakan kalimat itu. Mau terlalu mengabaikan, aku masih tak sampai hati. Alasannya masih sama dengan yang sebelumnya kusinggung— yakni, karena pada kenyataannya dia belum berbuat jahat apa pun. Kalau aku tiba-tiba menuduh, itu akan lebih aneh. Apalagi kalau aku sampai menyinggung tentang fenomena yang kualami. Yang ada, aku akan dicap tak waras. Lagi pula, sampai detik ini pun aku masih belum tahu pasti sebenarnya apa yang kualami waktu itu. Aku hanya malas kalau terus overthinking. Makanya, aku mencoba berdamai dan memilih kesimpulan yang kiranya lebih nyaman di hati dan lebih bisa pula kuterima. Ya, ini masih tentang aku yang diberi ‘kesempatan kedua’ untuk hidup lagi pasca kematian tragis. Mengenai hal-hal lain, aku benar-benar tidak ingin ambil pusing. “Salma … tolong ambilin Ayah air putih hangat!” terdengar teriakan Ayah dari arah teras belakang. Saat ini beliau sedang mengupas petai. Tentu, untuk dimasak dan dijual. Sekadar infomasi saja, baik Ayah ataupun Ibu sama-sama tidak begitu suka petai. Hanya bisa makan, tetapi seperlunya saja. Namun, makanan itu justru salah satu paling best seller di warung. “Oke, Yah! Tunggu!” Aku segera mengambil air hangat di dapur, lalu berjalan cepat keluar. Petai yang Ayah kupas nyaris selesai. “Ini, Yah.” “Makasih, ya.” “Sama-sama.” Alih-alih masuk lagi— tadi aku sedang mengupas bawang, aku memutukan untuk duduk di sebelah Ayah. Ayah duduk lesehan di lantai yang dialasi tikar anyaman plastik. “Dulu hal begini dikerjain karyawan semua, ya, Yah?” Aku membuka percakapan. “Ayah cuma atur sana dan atur sini. Wira-wiri cuma buat ngecek kebelangsungan tiap cabang. Sekarang, sesederhana ngupas petai aja, Ayah ikutan.” “Beginilah hidup di dunia, Ma. Kadang di atas, kadang di bawah. Sebenarnya, kita tetap perlu bersyukur. Toh ‘di bawah’ versi kita masih diberi kecukupan. Hanya jangan bandingkan dengan dulu ketika masa jaya. Memang cukup drastis perbedaannya.” “Iya, Yah. Aku paham.” “Lagian, para karyawan juga udah ngerjain kaya begini di warung. Ini ayah cuma nambahin aja.” “Kalau karyawan lembur, gaji nambah, kan, Yah?” “Iyalah. Meski keadaan udah berbeda jauh jika dibanding saat di Jakarta, Ayah tetap akan bayar karyawan sesuai jam kerja mereka. Termasuk lembur, harus ada bonus sendiri. Jangan sampai kita zalim ke karyawan. Nanti malah enggak berkah. Siapa tahu, mereka diam-diam mendoakan kita.” Aku tersenyum. “Bener, Yah.” Jujur, rasanya ironi sekali. Ayah yang sebaik ini harus besanan dengan Pak Cakra yang penuh akal bulus. Benar-benar tidak rela! “Ma …” “Iya, Yah?” “Kamu ini kenapa tiba-tiba kelihatan enggak suka banget sama Rendra? Ayah nangkepnya kamu jadi kaya gini sejak Ayah sakit sampai opname waktu itu. Sebelumnya, kamu enggak kaya gini. Senang-senang aja, lho!” Ya, benar. Karena pada saat Ayah sakit sampai opname itulah aku mengalami keajaiban. “Ayah, kok, bisa ingat se-spesifik ini?” “Sebenarnya ini perasaan Ayah aja. Soalnya waktu Rendra jenguk Ayah, wajah kamu itu beberapa kali ketahuan natap Rendra agak sinis.” “He? Emang iya, Yah? Enggak sadar. Ehehehe!” “Ayah lihat sendiri, makanya bisa ngomong gitu.” “Hm … gimana, ya, ngomongnya? Sebenarnya lebih karena enggak jadi ingin nikah. Pengen hidup lebih lama sama Ayah dan ibu di rumah ini. Kita, kan, belum lama pindah, masa udah ditinggal aja?” “Ayah ini kenal kamu bukan baru kemarin, Salma. Kamu ngomong gitu enggak akan bikin Ayah percaya gitu aja—” “Tapi aku enggak bohong.” “Oke, enggak bohong. Tapi itu alasan tambahan, kan? Ada alasan lebih yang enggak bisa kamu katakan ke Ayah.” Aku terdiam. Memang ada, tetapi alasan yang jelas-jelas tidak akan pernah Ayah percayai. Alasan yang terdengar mengada-ngada. Mungkin aku akan dicap tukang halusinasi. “Apa kamu diam-diam punya cowok, Ma?” “Enggak, sih, tapi aku emang suka orang lain,” jawabku jujur. “Kalau suka orang lain, kenapa waktu itu mau-mau aja dikenalin sama Rendra? Apa perjodohan terjadi dulu, baru kamu suka orang itu?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, Yah. Aku suka orang itu dulu, baru rencana perjodohan ada.” “Nah! Kenapa kamu terima? Kalau kamu suka orang lain, aturan kamu bilang. Kalau belum terjalin apa pun, nolaknya masih enak. Kalau udah begini, Ayah serba bingung sama Pak Cakra. Soalnya awal-awal itu kamu nunjukin sinyal positif. Eh, tiba-tiba banget berubah.” “Perasaan manusia, kan, emang berubah-ubah, Yah.” “Tapi kamu terlalu tiba-tiba dan langsung drastis.” Aku menunduk, diam. Aku bingung harus membalas apa karena yang Ayah katakan memang benar adanya. “Ngobrol apa kalian, ini? Serius banget!” Aku agak tersentak ketika Ibu tiba-tiba nimbrung. Beliau membawa satu piring tempe goreng yang masih mengepul. Aku langsung mengambil satu dan menggigitnya. “H-hah, panashh!’ “Hati-hati, makanya. Udah jelas masih ngebul gitu!” Aku nyengir. “Kelihatannya enak, Bu. Jadi enggak sabar.” Ayah dan Ibu ikut mengambil. Untuk sesaat, kami kompak makan tempe goreng. Karena tadinya Ayah mengenakan sarung tangan, beliau tak butuh cuci tangan. Tinggal lepas, beres. “Jadi? Lagi ngobrol apa, kalian?” tanya Ibu beberapa saat kemudian. “Lagi ngomongin Salma,” jawab Ayah. “Lagi aku tanya-tanya soal kenapa tiba-tiba nolak banget sama Rendra.” “Iya, Ma. Kamu ini kenapa, sih?” “Ibu tanya Ayah aja.” Ibu menoleh. “Kenapa, Mas?” “Dia udah suka orang lain.” “Loh! Kalau suka orang lain kenapa dulu mau? Waktu itu kamu bilang enggak ada pacar—” “Enggak ada pacar bukan berarti enggak suka orang, Bu.” “Tapi kalau kamu emang lagi suka orang, harusnya nolak perjodohan ini. Kalau serba nanggung, jadi serba enggak enak. Udah terlanjur maju dan iyain, masa tiba-tiba mundur? Iya, kalau ada alasan jelas. Tapi ini? Enggak ada. Mau bilang apa ke Pak Cakra dan Istri? Masa mau jujur soal perasaan kamu. Sama aja kita menghina harga diri mereka.” “Ya jangan terlalu jujur juga, Bu.” “Terus?” “Maaf …” aku menunduk. “Harusnya aku emang enggak pernah iyain.” Ayah tampak menghela napas panjang. Beliau menatap kolam ikan, lalu menatapku. “Terus mau kamu apa, Ma? Ayo saling jujur aja. Jangan ada yang ditutup-tutupi.” “Ayah sama Ibu dulu, maunya apa? Tolong sejujur-jujurnya. Jangan enggak enak. Biar nanti aku nanggepinnya juga jujur banget.” “Oke.” Ayah mengangguk. “Kamu aja, Dek,” ucap beliau pada Ibu. Ibu pun langsung setuju. “Karena udah begini, Ibu sama Ayah akan jujur banget ke kamu.” Ibu berdehem pelan. “Beberapa udah Ibu sebutin sebelumnya, tapi Ibu akan sebutin lagi kali ini.” “Enggak papa, Bu. Malah kalau bisa yang sedetail-detailnya.” Kini, Ibu menatapku serius. “Jadi gini, Ma. Saat kami baru aja ketipu, Pak Cakra udah langsung nawarin bantuan. Tapi kami nolak kalau dikasih cuma-cuma. Akhirnya, ada obrolan soal perjodohan ini. Singkat cerita, begitu.” “Terus?” “Kalau kamu menikah sama Rendra, Pak Cakra siap menyokong modal warung kita. Termasuk itu mau beli tanah Ibu.” “Oke. Lalu?” “Memang kesannya Ibu sama Ayah kaya jual kamu demi kelancaran usaha. Tapi sebenarnya enggak gitu juga. Kami tetap lihat bibit, bebet, dan bobotnya Rendra. Kalau maaf … dia kurang bagus fisiknya, pengangguran yang hanya ngandalin duit orang tua, dan enggak pintar, Ibu sama Ayah tetap enggak akan setuju. Kami setuju juga lihat Rendranya dulu. Dia ganteng, dosen tetap, anaknya sopan. Kan ibarat sekali mendayung, dua tiga pulau telampaui. Ibu dan Ayah punya solusi untuk masa depan warung, kamu juga menikah dengan laki-laki yang cocok sama kamu. Dari segi fisik, juga pekerjaan dan kemampuan.” Baiklah. Jika tidak melihat apa yang sudah kulihat, penjelasan Ibu ini sangat masuk akal. Ibu benar, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekarang, PR-ku adalah bagaimana memberi tahu Ayah dan Ibu kalau keluarga Pak Cakra tidak sebaik kelihatannya. Terlebih, aku belum ada bukti konkrit. Sungguh ini sangat sulit! “Ya, kurang lebih gitulah, Ma. Itu udah semuanya, versi rangkum.” “Paham, Bu.” “Enggak marah, kan?” Aku menggeleng. “Enggak, kok. Aku paham. Alasan Ibu bisa kuterima.” “Terus kamu gimana? Sekarang kamu yang jujur. Jangan ada yang ditutup-tutupi lagi.” “Oke. Sebelumnya, aku mau minta maaf, Bu, Yah, karena enggak konsisten. Alasanku sebenarnya juga banyak, cuma aku ambil paling inti aja.” “Oke, enggak papa.” “Jadi, sebelum dijodohin, aku emang udah suka sama orang. Suka banget kalau boleh jujur. Kami kenal, kok, dan kenalnya ini kenal beneran. Bukan kenal saling tahu aja. Katakan, temanlah. Cuma, dulu aku merasa kaya dia terlalu jauh buat aku gapai. Makanya, waktu Ayah dan Ibu jodohin aku sama Mas Rendra, aku mau-mau aja. Rasanya lebih realistis. Menikah juga bukan soal suka aja, tapi banyak yang perlu aku pikirin. Ibu sama Ayah enggak salah, kok. Kalau dilihat dari kulit luar, Mas Rendra memang calon mantu idaman. Cuma, entah kenapa, akhir-akhir ini aku kaya belum ikhlas aja ngelepas orang yang aku sukai.” Aku menjeda senak. “Dengan Mas Rendra, aku juga beberapa kali ngerasa enggak cocok. Semakin ke sini, obrolan kami makin garing. Awal-awal excited karena baru kenal, bahasannya masih kulit luar. Semakin ke sini, kok, kayaknya enggak ada titik temu yang bikin aku klik. Prinsip kami agak beda, kayaknya. Intinya kaya gitulah. Rasa ‘klik’ di hati itu malah perlahan hilang sepenuhnya.” Ayah dan Ibu kompak mengangguk. Agaknya, mereka paham poinku. “Oke, Ibu ngerti. Sekarang, yang kamu suka, suka balik atau enggak?” “Dia baik. Cuma kalau soal suka balik, belum tahu. Dia lagi sibuk ngurus spesialis—” “Oh? Sesama dokter, to, Ma?” Aku mengangguk. “Iya, Bu. Nah, aku ngerasa dia juga bisa dukung karirku nanti.” “Kalau cintamu bertepuk sebelah tangan, gimana?” “Ibu, ih!” “Ya misal.” “Semoga enggak. Soalnya dia … eee … pernah bahas yang menjurus gitu—” “Tentang nikah?” “Hm … iya.” Aku tidak bohong, kan? Memang kenyataanya begitu. Ya, sekalipun yang terjadi tidak sederhana. Semua kacau karena Mas Rendra. “Ya udah.” Ayah menyela. “Kalau gitu, Ayah dan Ibu kasih kamu pilihan. Kalau dalam satu bulan dia menunjukkan keseriusannya nikahin kamu, urusan dengan Rendra bisa udahan. Ayah dan Ibu akan bantu mikir caranya. Tapi kalau sampai sebulan enggak ada kemajuan apa pun, kamu harus mikir ulang sama Rendra. Ayah dan Ibu akan semi maksa. Gimana, Ma?” Kini aku sudah mendelik. “B-bentar, bentar! S-satu bulan?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN