Lorong menuju lift terasa lebih panjang dari sebelumnya. Langkah Bintang begitu berat, seolah kedua kakinya tidak lagi menapak lantai, melainkan tenggelam ke dalam lumpur yang menghisap kewarasannya.
Setiap tarikan napas terasa menusuk d**a. Setiap bayangan wajah Helia yang muncul di kepalanya seperti pukulan telak.
Saat akhirnya pintu lift terbuka di lantai dasar, Bintang menyambung langkah tanpa bisa benar-benar melihat apa yang ada di sekitarnya. Pandangannya buram. Bukan karena air mata, melainkan karena kepalanya terlalu penuh oleh satu kalimat dokter yang terus terulang;
“Kami tidak bisa memprediksi kapan pasien akan sadar… atau apakah ia akan sadar sepenuhnya.”
Tubuhnya berjalan seperti robot. Setiap yang melintas menjadi sekadar siluet.
Hingga bahunya tanpa sengaja menabrak seseorang.
“Pardon—” Orang itu terdengar kaget.
Bintang sedikit membungkukkan tubuh. “Maaf… saya—”
Kalimatnya terputus. Suaranya berhenti mengalir seolah tak cukup energi untuk melewati lidah.
Orang yang ditabraknya mendengus. “Sudahlah. Perhatikan langkahmu,” pesannya.
Bintang hanya menunduk dan melangkah lagi, meski lututnya terasa lemas.
Lalu, kejadian itu terulang lagi.
Orang kedua yang ia tabrak hanya mendapat anggukan lesu.
Kemudian kali ketiga yang bahkan tak mendapat permintaan maaf darinya, hanya anggukan tak berdaya.
Sampai akhirnya ia melewati pintu geser yang membawanya ke jalan setapak menuju taman kecil rumah sakit — area hijau yang berada di sisi kiri bangunan utama, biasanya digunakan pasien untuk menhirup udara di pagi dan sore hari.
Di sana, di bawah lampu taman yang temaram dan angin malam bulan November yang menggigit, tubuh Bintang akhirnya berhenti. Ia duduk di sebuah bangku, tak memedulikan udara dingin yang menerpa wajahnya.
Ia lalu merogoh saku jaket. Ponselnya tampak bergetar di genggaman — bukan karena notifikasi, namun karena tangannya gemetar terlalu hebat.
Ketika ia mencoba mengaktifkan layar, gawai itu justru tergelincir dari tangannya dan jatuh ke permukaan paving block.
‘KRAK!’
Sykurlah tak pecah.
Hanya suara casing bertemu batu.
Namun bagi Bintang… suara itu mewakili sesuatu yang benar-benar patah di dalam dirinya. Juga membuatnya berhalusinasi mendengar suara hantaman saat kecelakaan Helia terjadi.
Ia menunduk. Tangan yang seharusnya mengambil ponsel justru gemetar kian hebat. Bahunya naik-turun, menahan sesak yang sejak tadi ia bendung.
Lalu... tangis itu akhirnya pecah.
Bukan tangis kecil.
Bukan tangis lirih.
Melainkan tangis yang keluar dari hati terdalam — tangis seseorang yang menyadari bahwa ia terlambat.
“Izora…” Bintang memanggil nama itu seperti sebuah doa yang dipanjatkan di titik nadir. Bahunya berguncang, kedua tangannya mengepal di pangkuan. ‘Seandainya aku jemput kamu… seandainya aku cegah kamu pergi ke pesta itu… seandainya aku langsung bilang saat menemukan tunanganmu berkhianat.’
Napasnya patah, sesenggukannya membungkam ucapan.
Ia memukul pahanya keras — sekali, lalu lagi — seolah ingin menghentikan rasa bersalah itu dengan rasa sakit fisik yang nyatanya tak cukup untuk menenggelamkan kenyataan.
Helia seharusnya berada di jembatan itu bersamanya.
Di bawah langit senja.
Dengan dua gelas teh hangat.
Dengan parfum baru favoritnya.
Jika saja ia lebih berani....
Jika saja ia lebih tegas....
Jika saja ia tak menunda-nunda menceritakan fakta....
Mungkin malam ini tidak akan berakhir seperti ini.
Mungkin Helia tak akan sudi berada di satu pesta dengan Gavin.
Mungkin Helia akan memilih menikmati senja dan lembayung bersamanya.
Mungkin Helia tidak sedang berada di ruang intensif.
Mungkin ia tidak sedang berjuang untuk hidupnya.
Mungkin Helia… masih tersenyum, seperti waktu mereka mencoba parfum bersama.
Tangannya masih gemetar saat akhirnya ia berhasil meraih ponsel dari tanah.
Ia menggeser layar.
Tidak ada pesan baru.
Tidak ada missed calls.
Tidak ada tanda Helia memberi kabar padanya.
Bintang menarik napas panjang.
Ia menutup mata, berusaha menenangkan diri.
Lalu dengan pandangan berkabut, ia menekan satu nama yang selalu berada di tiga ID teratas di phone log-nya; Ayah.
Satu kali.
Dua kali.
Baru pada nada ketiga panggilan tersambung.
Suara yang selalu berhasil menenangkannya menjawab dari seberang. “Assalammu’alaikum, A?”
Bintang diam saja. Bukan karena tak ingin menjawab, namun karena air matanya berderai lagi.
“A? A Bintang?” panggil Edo.
Bintang menutup mulutnya.
Napasnya tercekat.
Tersendat.
“Astaghfirullah. Aa? Ada apa? Ngomong atuh, A?”
“Ayah…” tangis Bintang.
“Ya Allah, ada apa, A? Aa sakit?”
“Henteu, Yah.”
“Kemalingan?”
“Henteu.”
“Ngga punya uang?”
“Bukan, Yah.”
“Ngomong atuh, A.”
“Itu....” Suara Bintang bergetar. “Cuma mau minta temenin.”
Tersua hening sejenak.
Sang ayah di seberang sana seolah tertampar saat mendengar jawaban putra keduanya.
Ada yang tak beres.
Ada yang menyakitinya.
Ada yang terlalu berat untuk Bintang hadapi sendiri.
“Astaghfirullah,” lirih Edo, suaranya terdengar berat di telinga Bintang. “Aa?”
Tangis Bintang pecah lagi.
Sekuat apa pun ia mencoba, ia tak sanggup mengeluarkan kata. Hatinya remuk, jiwanya ketakutan.
“Ayah di sini, A,” ujar Edo kemudian.
“Siapa, Do?” tanya Hana—ibu Bintang.
“A Bintang, Na,” jawab Edo.
“Kok jam segini nelpon? Baru beres part time?”
Sungguh, rasanya Bintang pulang, bertemu keduanya, mengadu dalam pelukan.
Edo sendiri bingung harus mengatakan apa pada istrinya. Ia menekan tombol pengeras suara, membiarkan Hana mendengar tangis putranya.
“Ya Allah, Anak Bunda. Aa? A Bintang kenapa, sayang? Sakit?” ujar Hana,
“Ngga. Bukan sakit, bukan kemalingan, bukan ngga punya uang juga,” jelas Edo. “Cuma mau ditemenin aja.”
Hana terdiam. Ia jelas tau sifat Bintang. Ia bukan tipe orang yang peduli ada teman ataupun tidak. Ia bisa nyaman meski hanya sendirian. Namun, jika sampai minta ditemani, artinya ada beban berat yang terlalu sulit untuk ia hadapi.
“Nanti Bunda cek cari penerbangan yang lebih cepat, ya A?” ujar Hana.
Awal Desember nanti, masa pendidikan Bintang akan rampung. Wisuda akan digelar. Dan ia akan menerima ijazahnya ditemani orangtuanya.
“Ngga usah, Bund. Tinggal dua minggu lagi kok,” jawab Bintang di sela segukannya.
“Habis ini Ayah telpon Sam, biar duluan ke sana. Oke?” timpal Edo.
“Iya, Yah.”
Bintang memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh lagi.
“Aa tarik napas dulu. Tenangin diri dulu,” ujar Edo lagi. “Ngga usah buru-buru, Ayah dan Bunda temani dari sini.”
Bintang mencengkeram ponsel itu sekuat tenaga, seolah itu satu-satunya yang membuatnya tetap berdiri di dunia yang sedang runtuh ini.
Lalu... kisah pun mulai mengalir, meski terbata-bata.
Tentang perkenalannya dengan Helia.
Tentang pengkhianatan yang ia lihat.
Tentang ia yang menunggu di taman danau.
Tentang sirine yang terdengar menakutkan.
Tentang keadaan Helia kini.
Dan juga... tentang rasa bersalahnya.
Ia menyeka wajahnya, namun air matanya tetap enggan berhenti mengalir.
“Aa takut, Yah, Bund.” Ia melirih. Hancur.
Dari seberang sana, terdengar suara tarikan napas berat orangtuanya yang ikut patah mendengar duka putranya.
“Aa…” Suara Edo terdengar pecah, namun tetap hangat. “Aa ngga salah. Dan Aa ngga boleh sibuk nyalahin diri sendiri di saat Izora berjuang mempertahankan hidupnya. Karena bukan itu yang dia butuhkan.”
Bintang menengadah ke langit malam Versailles.
Hening. Dingin. Gelap.
“Sekarang Aa pulang, kalau ngga bisa istirahat, banyak-banyak berdoa buat kesembuhannya. Bunda dan Ayah bantu doa juga dari sini. Itu yang paling Izora butuhkan, sayang,” sambung Hana.
***
Tiga hari kemudian.
Cahaya redup menembus tirai putih ruang rawat intensif. Monitor mesin medis di sisi kiri mengeluarkan suara ‘bip’ yang teratur, seperti detik jam yang tengah sibuk menghitung ulang waktu hidup seseorang.
Arani membuka mata perlahan.
Semua awalnya gelap.
Lalu samar.
Lalu putih menyilaukan.
Kepalanya terasa berat, seolah ada batu besar yang menindih di sana.
Lehernya kaku.
Dadanya nyeri setiap ia mencoba bernapas lebih dalam.
Arani mengerjap. Sekali. Dua kali.
Kesadaran kembali—perlahan-lahan.
Ia menyapukan pandangan; ruangan asing, infus yang menusuk punggung tangan kirinya, wajahnya yang berat di sisi kiri, dan tubuhnya yang nyeri seperti remuk.
Perawat yang sedang memeriksa catatan medisnya langsung mendekat begitu melihatnya bangun.
“Mademoiselle?” sapanya lembut. “Anda sudah sadar. Anda sudah melewati fase berbahaya. Kami senang melihat Anda kembali.”
Ia menyapukan pandangan lagi. Hanya ranjang-ranjang lain, tak ada siapa pun yang ia kenali.
Arani kembali memandang wajah perawat itu.
“Anda di rumah sakit, mademoiselle.”
Arani menelan ludah melewati tenggorokannya yang terasa teramat kering. “Adikku?” tanyanya. “Bagaimana adikku… Helia?”
Perawat itu terdiam sejenak—terlalu lama untuk ukuran jawaban baik-baik saja. Tatapannya juga bukan tatapan kabar baik. Dan Arani tau itu.
“Adik Anda.…” Perawat mencari kata yang paling aman. “—masih dalam pengawasan dan perawatan intensif. Kami menempatkannya di ruangan khusus. Dokter akan menjelaskan kondisinya ketika Anda sudah lebih stabil.”
Arani memejamkan mata. ‘Sakit di tubuhku pasti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan apa yang Helia alami, bukan?’
Perawat lalu memanggil dokter untuk menilai kondisi Arani sebelum memindahkannya ke kamar rawat inap. Berselang sekitar satu jam kemudian, ranjang Arani perlahan didorong keluar dari ruang intensif.
Lorong rumah sakit terasa asing dan sunyi. Suara roda ranjang bergesekan dengan lantai membentuk nada monoton yang tak nyaman untuk didengar. Arani memandang langit-langit, berusaha mengatur napas walau setiap tarikan dan embusan seolah menusuk tulang rusuknya.
Di antara rasa sakit itu, ada satu hal yang terasa lebih nyata. Rasa bersalah.
Rasa yang menghantam tanpa ampun, mengalir ke seluruh pembuluh darahnya.
Bukan hanya karena ia yang menyetir. Bukan hanya karena ia kehilangan fokus di saat paling kritis.
Tapi karena Helia—adiknya—mungkin sedang berada di ambang hidup dan mati… sendirian. Dan Arani tidak di sana untuk memegangi tangannya.
‘Helia... maafin Kakak.’