Menguntit Part 2

863 Kata
Venus membatalkan rencananya pulang ke Bandung. Sekarang dia sedang mengemas pakaian untuk pergi ke Bali, berniat menguntit Altezza yang tengah berselingkuh. Venus tidak menggunakan koper, hanya membawa tas besar yang biasa digunakan ke gym sehingga bisa dia sandang di pundak. Kepergiannya ke Bali bukan untuk liburan jadi semuanya harus ringkas agar tidak repot dan memudahkannya bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Supaya bisa muat ke dalam tas, Venus memasukan pakaian seadanya yang kebanyakan adalah pakaian kurang bahan selain karena memang udara di sana panas. Dan bila kekurangan pakaian bersih, dia akan membeli pakaian di Bali saja. Setelah semua keperluannya masuk ke dalam satu tas, Venus membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi terlentang. Matanya menatap kosong langit-langit kamar dan perlahan buliran kristal meluncur dari setiap sudut matanya. Sesuatu di dalam d**a Venus terasa begitu sakit sampai Venus menyimpan satu telapak tangannya di sana, berharap rasa perih itu bisa berkurang. Ada cemburu yang teramat besar, marah dan kecewa tapi tidak ingin kehilangan. Entah sampai jam berapa Venus meratapi kisah cintanya, yang pasti ketika alarm berbunyi dia kesulitan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Tubuhnya terasa lemas sekali. “Lo jadi ke Bali?” Diana bertanya saat mereka kebetulan bertemu di lift yang sama pagi ini. “Jadi, gue pergi nanti malam … naik penerbangan terakhir. “Semangat!” Diana mengepalkan tangan di udara. “Lo pake apa ke Bandara?” Sahabatnya itu bertanya lagi. “Pake taksi online.” “Gue anter aja ya?” “Enggak usah, jauh … gue naik taksi online aja.” Venus tidak ingin merepotkan. “Enggak apa-apa, gue antar.” Diana memaksa. Jadilah Venus di antar Diana ke Bandara sepulang mereka bekerja. “Suaminya si Wulan itu ganteng, enggak?” celetuk Diana bertanya dengan tetap fokus pada kemudi. Venus tampak berpikir, dia mengingat-ngingat wajah dan keseluruhan apa yang ada pada Archio. “Lumayan ganteng sih … badannya bagus kaya Altezza, tapi kayanya dia lebih tinggi … agak lebih besar … dan lebih kekar.” Karena Venus sempat melihat otot samar di lengan kemeja Archio saat mereka makan malam di Caffe depan hotel. Tanpa sepengetahuan Venus, Diana tersenyum tipis. “Rambut sama alisnya juga tebal tapi bibirnya tipis … idungnya mancung dan gue suka sama matanya ….” Venus menjeda, kemudian menoleh ke samping menatap sahabatnya yang tengah mengemudi. “Matanya indah,” sambung Venus dengan sorot mata dan ekspresi datar menunjukkan perasaannya yang biasa saja, padahal setiap kalimatnya tadi adalah pujian untuk Archio. “Menurut gue, dia juga cukup mapan … dia punya kantor konsultan arsitek sendiri …,” sambung Venus, masih memuji Archio sebelum akhirnya dia kembali menatap ke depan. “Gue juga enggak ngerti kenapa Wulan sampai bisa selingkuh padahal menurut gue mas Archi itu sempurna.” Venus mengakhiri penilainya tentang Archio dengan raut wajah sendu. “Ya udah, kalian tukeran pasangan aja … lo sama suaminya si Wulan … si Wulan sama si Al,” cetus Diana yang ceplos-ceplos. “Mana bisa semudah itu,” gumam Venus dengan bibir mengerucut. Jangankan memikirkan untuk jatuh cinta lagi, masalahnya dengan Altezza saja belum selesai dan membuatnya trauma. Diana malah tertawa melihat respon Venus. “Lagian memang lo enggak marah atau dendam sama si Wulan? Enggak pengen ngebales gitu?” Jadi maksud Diana, dengan Venus menjalin hubungan asmara dengan Archio akan memberi pelajaran kepada Altezza dan Wulan sendiri selaku istrinya. “Marah lah, gue kesel … pengen jambak-jambak si Wulan yang udah kegatelan sama si Al, tapi laki guenya juga b******k … kalau si Al setia, enggak akan kaya gini ceritanya.” “Iya sih, mau ngelabrak juga gengsi … soalnya si Al memang dengan sadar berselingkuh sama si Wulan, jadi mending hempaskan aja kata gue mah.” Lagi- lagi Diana memberi saran perpisahan. Venus tidak merespon, dia malah melamun menatap kosong ke depan. Andaikan belum terjadi pesta tunangan, andaikan dia belum mengenalkan Altezza kepada kedua orang tua dan seluruh keluarganya di kampung, andaikan dia belum membayar DP segala macam persiapan pernikahan, mungkin detik ini juga dia bisa memutuskan hubungan dengan Altezza. Venus mungkin bisa menanggung perih di hatinya sendiri tapi dia tidak bisa melihat kedua orang tuanya bersedih dan mendapat malu karena keputusan pembatalan pernikahannya tersebut. Venus dan keluarganya tinggal di daerah yang masih bisa disebut pedesaan, pola pikir orang-orang di sana masih sederhana. Mereka tidak peduli alasan sebenarnya dari batalnya pernikahan dia dengan Altezza, yang mereka tahu adalah Venus tidak jadi menikah yang alasannya akan mereka karang sendiri sesuai dengan pemikiran masing-masing. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Ambu dan abah mendengar gosip miring tentang putri semata wayangnya. Diana tidak bersuara lagi sampai mereka tiba di Bandara. “Thanks ya, gue berhutang banyak sama lo,” kata Venus memeluk Diana. “Udah lah … kaya ke siapa aja, lo hati-hati di sana … sampein salam gue sama mas-mas calon duda.” Diana masih bisa berkelakar. Venus mendengkuskan tawa singkat, dia lantas turun dari mobil tidak lupa melambaikan tangan. Setelah mobil Diana menjauh, Venus masuk melewati pintu keberangkatan dan melakukan checkin. Venus beruntung sekali karena masih bisa mendapatkan satu kursi kosong terakhir itu pun di maskapai bergengsi. Perjalanan ini nyaris menguras dompetnya jadi Venus harus mendapatkan hasil yang mungkin bisa mempengaruhi keputusannya, apakah melanjutkan pernikahan dengan Altezza atau tidak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN