The Wo(Man) – 03

1642 Kata
Langit pagi ini tampak begitu cerah. Terlihat seorang lelaki berbadan mungil keluar dari stasiun kereta api dengan langkah yang sedikit canggung. Senyumnya begitu hangat, sehangat udara pagi ini. Lelaki berbadan mungil itu mengenakan sebuah topi berwarna hitam dengan setelan baju kaos belang-belang warna hitam putih dan celana pendek di bawah lutut berwarna cokelat. Penampilannya terlihat seperti anak-anak SMA yang sedang melakukan study tour keluar kota lengkap dengan sebuah ransel besar yang disandangnya. “Aduh, aku kebelet pipis lagi,” bisiknya kemudian. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke semua penjuru, lalu dia mengangguk senang ketika melihat ada toilet umum di seberang sana. Dia pun tersenyum, lalu segera berlari untuk menuntaskan panggilan alam yang sudah datang menyapanya itu. “Aku sudah tidak tahan lagi,” ucapnya seraya masuk ke dalam toilet itu. “AAAA....!!!” Teriakan para gadis yang ada di dalam toilet umum itu pun langsung menggema keras. Sosok lelaki itu pun juga terkejut. Beberapa gadis itu bahkan melemparinya dengan berbagai benda seperti handuk dan juga tisu toilet. “Dasar mesum! Kenapa kamu masuk ke dalam toilet wanita, ha!” “Pergi...! dasar lelaki mesum!” hardik yang lainnya. Deg. Lelaki itu pun tertegun sejenak, hingga kemudian dia tersadar dan menundukkan wajahnya untuk meminta maaf dan segera pergi dari sana. “M-maafkan saya... sekali maafkan saya!” ucapnya seraya berlari keluar. Setiba di luar toilet, lelaki itu menyapu wajahnya dengan telapak tangan. “Aku benar-benar lupa... bahwa mulai sekarang aku akan hidup sebagai seorang laki-laki.” Tunggu… Akan hidup sebagai seorang lelaki? Ya, lelaki berbadan mungil itu adalah Ayu. Dia sudah merombak total penampilannya. Tidak ada lagi rambut panjang yang tergerai indah. Ayu sudah memotong rambutnya sangat pendek dengan gaya poni lempar yang menutupi keningnya. Bagian dadanya juga terlihat datar karena Ayu mengikatnya menggunakan korset yang dililitkan sedemikian rupa. Sekilas Ayu benar-benar terlihat seperti seorang lelaki, walaupun kelembutan diwajahnya masih jelas terlihat. Ayu menghela napas, seraya melepas topinya sebentar. Seketika dia terkesiap saat dia menyadari bahwa dirinya sudah tidak tahan lagi untuk buang air kecil. Ayu pun segera berlari memasuki kamar mandi lelaki, tapi setiba di dalam sana dia langsung menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Kegajilan itu tentu saja membuat beberapa pria yang ada di sana menjadi risih. “Hei... kenapa kamu seperti itu, ha?” hardik seorang pria berbadan gemuk dengan brewok lebat memenuhi wajahnya. “M-maafkan saya.” Ayu pun segera masuk ke dalam bilik toilet itu. Embusan napas lega terdengar jelas saat Ayu menutup pintu itu. Akhirnya dia bisa merasa lega dan menuntaskan panggilan alam yang menyesakkan. Setelah itu Ayu kembali keluar. Namun kali ini dia berusaha bersikap setenang mungkin. Kondisi toilet itu benar-benar ramai. Ayu pun terus melangkah seraya menahan napas. Dan setiba di luar barulah dia mengembuskan napasnya kembali dengan wajah yang sudah terasa sangat panas. Sosok perempuan yang sudah menjelma sebagai lelaki itu kini melangkah di atas trotoar yang cukup lengang. Kali ini tidak ada lagi guratan senyum di wajahnya. Ayu terlihat bingung dan bimbang. “Oke... sekarang aku harus ke mana?” desisnya pelan. Ayu terus melangkah menyusuri padatnya Ibukota. Lama kelamaan bagian leher baju kaosnya sudah basah dipenuhi oleh keringat. Selain itu Ayu juga merasa sesak di bagian dadanya. Ini adalah pertama kalinya Ayu menginjakkan kaki di Ibukota Jakarta. Semua yang dilakukan ini hanya bermodalkan nekad. Ayu benar-benar tidak mau dijodohkan dengan sosok Anto. “Ya... ini adalah keputusan yang tepat. Walaupun semua ini menakutkan, tapi tetap saja ini lebih baik daripada harus menerima perjodohan yang menyesatkan itu,” bisik Ayu lagi. _ Jarum jam di pergelangan tangan Ayu sudah menunjukka pukul 13.00 siang. Itu artinya sudah sekitar empat jam lebih dia berputar-putar tanpa arah dan tujuan. Kedua kakinya kini sudah terasa letih. Selain itu Ayu juga merasa lapar dan haus. Dia benar-benar merasa seperti orang bodoh saat ini. Hingga kemudian langkah Ayu pun terhenti di depan sebuah minimarket yang terlihat lengang. Ayu memasuki minimarket itu dan kemudian memilih beberapa makanan dan minuman untuk mengganjal perutnya. Dia segera membayar pada seorang kasir yang terlihat lumayan tampan. Kasir itu sepertinya berusia sekitar tiga puluhan, namun dari penampilannya dia terlihat tidak pantas menjadi seorang kasir. Tubuh tegap, tahang tegas dan wajah tampan yang sempurna itu sejenak membuat Ayu terpana. “Ini uang kembalian kamu,” ucap lelaki itu. Ayu tersadar dan langsung mengangguk. “B-bolehkah saya memakan semua ini di meja luar?” Lelaki itu tersenyum. “Tentu saja.” Ayu pun beranjak duduk di luar dan segera menikmati makanannya. Ayu membeli 1 set roti dengan sebotol kopi instan. Ayu memejamkan matanya saat roti itu mulai menyentuh lidahnya. Sederhana memang, namun kenikmatan dan kelegaan yang dirasakan Ayu terasa tiada tara baginya. Ayu menikmati makanan itu seraya beristirat sejenak. Sekitar sepuluh menit kemudian makanan dan minuman itu pun sudah habis tak tersisa. Ayu sudah merasa kenyang, tapi sekarang kebingungan kembali datang melanda. “Urusan perut terselesaikan sudah, tapi sekarang aku harus ke mana?” Ayu mengempaskan kepalanya ke atas meja itu secara pelan. Dia ingin beristirahat sebentar lagi. Saat ini ada banyak hal dalam pikirannya. Apa dia sebaiknya mencari kos-kosan terlebih dahulu? Untungnya Ayu mempunyai sejumlah uang sebagai modal pelariannya. Ayu beralih menurunkan ranselnya, lalu mengeluarkan sebuah dompet berwarna merah. Dia pun tersenyum tipis saat mengeluarkan sebuah kalung emas yang merupakan peninggalan almarhumah ibunya. Selama ini Ayu benar-benar sudah menjaga peninggalan itu dengan sangat baik. Dia bahkan bebohong pada pamannya dan mengatakan bahwa kalung itu sudah dijual sejak lama. Ayu sengaja melakukan hal itu agar sang paman berhenti mempertanyakan keberadaan kalung itu. Ayu tertegun sejenak. “Haruskan aku menjual kalung ini untuk tambahan uang?” Srek.... Ayu tertejut saat sebuah tangan tiba-tiba merebut kalung dan dompet itu dari tangannya. Sosok bertopi dengan mengenakan hodie yang sudah mencopet itu pun langsung berlari sekuat tenaga. Ayu melotot kaget dengan telunjuk terangkat. Setelah itu barulah dia bisa berteriak dengan sangat panik. “Copeeeeet...!!! tolong saya dicopeeeeet...!!!” Lelaki yang ada di dalam supermarket itu pun terkejut mendengar teriakan Ayu. Dia bergegas keluar, lalu menatap ke ujung sana. Tanpa pikir panjang, lelaki itu pun segera berlari pergi. Ayu hanya mengangguk pelan. Dia lalu memegangi kedua lututnya yang mendadak terasa lemah. Ayu kembali terduduk sambil meringis pelan. Dia tak henti menatap ke ujung jalan dan menangkupkan tangannya untuk berdoa dalam hati semoga lelaki itu berhasil mendapatkan dompet dan kalungnya kembali. “Saya akan mengejarnya! Kamu tunggu di sini, titip toko saya sebentar.” Pipi lelaki itu terlihat bergetar seiring derap langkah kakinya yang kuat. Dia terus berlari mengejar sosok copet yang terlihat di ujung sana. Lelaki itu berusaha sangat keras dan mempercepat laju larinya. “Kamu mau lari ke mana, ha?” desisnya dengan suara sesak. Aksi kerjar-kejaran itu berlangsung cukup lama. Hingga kemudian pencopet itu memasuki area pasar yang ramai. Langkah kaki lelaki itu pun mulai tersendat-sendat karena suasana pasar yang ramai. Lelaki itu menatap gusar, dia sudah kehilangan jejak pencopet itu. “Siaaal...!” _ Waktu pun terasa berjalan sangat lambat bagi Ayu. Dia terus menunggu dengan gelisah. Sesekali Ayu juga bangun berdiri dan melangkah bolak-balik di tempatnya. Ayu tak henti menjulurkan lehernya untuk melihat ke ujung sana. Hingga setelah lama keumudian, sosok lelaki itu pun kembali terlihat, dia berjalan dengan pundak yang naik turun karena kehabisan napas. Ayu pun segera mendekat dan menatapnya dengan binar mata penuh harap. “B-bagaimana? Apakah anda berhasil menangkapnya?” Lelaki itu menggeleng pelan. “Maafkan saya. Dia menghilang di keramaian dan saya tidak bisa menemukannya.” Deg. Segala persendian Ayu mendadak langsung terasa letih.Tak lama kemudian bibirnya berkedut menahan tangis. Ayu mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan air mata yang yang sudah tergenang, tapi kemudian aliran bening itu tetap saja meluncur di wajahnya. Ayu kembali beranjak duduk dan menatap nanar. Sekarang dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Lantas apa yang harus dilakukannya saat ini? “Kamu berasal dari mana?” lelaki itu ikut duduk di depan Ayu. “S-saya baru saja datang dari luar kota,” jawab Ayu terbata. “Apa kamu datang untuk belajar? Apa kamu seorang mahasiswa?” Ayu menggeleng lemah. “T-tidak. saya berencana untuk mencari pekerjaan. Tapi sekarang saya benar-benar bingung, Persediaan uang saya kini sudah hilang karena pencopet itu.” Lelaki itu menatap Ayu perlahan sambil mengusap-usap dagunya pelan. Sejenak dia memerhatikan Ayu lekat-lekat. Untuk ukuran seorang lelaki, Ayu terlihat sangat lemah dan tidak bertenaga. Raut wajah Ayu pun juga membuat lelaki pemilik minimarket itu terlihat iba. “Nama kamu siapa?” tanya lelaki itu. “Oh iya. Sebelumnya saya Ridwan, pemilik minimarket ini. Deg. Ayu menatap liar memikirkan sebuah nama. “N-nama saya Riyu.” Lelaki itu mengernyit bingung. “Nama yang sedikit aneh. Apa kamu memiliki darah keturunan Jepang?” Ayu lekas menggeleng. “T-tidak.” “Apa kamu mempunyai tempat tujuan? Seperti rumah saudara atau teman?” tanya Ridwan. Ayu menggeleng pelan. “Saya tidak mempunyai kenalan sama sekali.” Ridwan cukup terkejut. Ternyata Ayu lebih berani dari dugaannya. “Ternyata kamu lebih berani dari yang saya pikirkan.” Ayu hanya tertunduk. Ridwan pun terlihat berpikir sebentar seraya mengusap-usap dagunya. Sebenarnya dia sedang mencari seorang karyawan untuk menjaga minimarketnya. Sudah satu minggu belakangan ini Ridwan sangat kewalahan karena karyawan sebelumnya berhenti bekerja secara tiba-tiba tanpa memberikan kabar pemberitahuan terlebih dahulu. Di lain sisi, Ayu terlihat semakin panik. Bagaimana tidak, semua uang miliknya kini sudah menghilang. Berbagai pikiran buruk dan menakutkan pun kini sudah memenuhi kepalanya. Apa sekarang dia akan berakhir menjadi seorang gembel di ibukota? Apa sekarang dia akan tinggal di bawah kolong jembatan seperti para tunawisma Ibukota yang sering dia lihat di televisi. “Ehem.” Ridwan berdehem sebentar. “Sebenarnya saya sedang mencari karyawan untuk menjaga minimarket ini. Apa mungkin kamu berminat?” Deg. Telinga Ayu langsung berdiri mendengarkan tawaran itu. Dia langsung bangun berdiri dan menganggukkan kepala berulang-ulang. “S-saya berminat! Saya sangat berminat,” jawab Ayu dengan suara lantang. Ridwan tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya. “Kalau begitu selamat datang dan semoga kamu betah bekerja di sini.” Ayu langsung menjabat tangan itu dan kembali menundukkan wajahnya berulang-ulang. “Saya akan bekerja dengan baik. Sekali lagi terima kasih banyak untuk tawarannya.” ucap Ayu. Ridwan tidak menjawab. Dia malah termangu dan menatap Ayu lekat-lekat. “Tangannya terasa sangat lembut untuk ukuran tangan seorang pria,” bisik Ridwan dalam hatinya. _ Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN