Setelah acara usai, beberapa orang tua mendekati mereka, berusaha berkenalan.
"Kalian pasti orang tua Nigel, ya? Anak kalian sangat berbakat!" puji seorang ibu.
Lumina membuka mulut untuk membantah, tapi sekali lagi, Jadynn lebih cepat.
"Terima kasih," ujarnya singkat, sambil meletakkan tangan di punggung Lumina dengan santai, seolah menegaskan bahwa mereka memang bersama.
Lumina hampir tersedak. Tapi sebelum dia bisa protes, Nigel sudah berlari ke arah mereka, wajahnya bersinar karena kegembiraan.
"Kalian benar-benar datang!" seru Nigel, memeluknya erat.
"Tentu saja, aku janji kan?" Lumina membalas pelukan itu, sambil mengusap rambut Nigel.
Jadynn memperhatikan interaksi mereka dengan ekspresi yang tak bisa dibaca.
"Dan ... Daddy juga datang?" Nigel melihat ke arah pria itu dengan mata berbinar.
Jadynn hanya mengangguk dan sikapnya masih saja kaku pada Nigel, seolah enggan menyentuhnya sama sekali.
Meskipun begitu, Nigel tetap tersenyum lebar. "Aku senang kalian berdua ada di sini."
Kalimat sederhana itu membuat Lumina dan Jadynn saling memandang. Ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka—sesuatu yang mungkin, suatu hari nanti, harus mereka hadapi.
Tapi untuk saat ini, biarkan saja.
Biarkan cahaya kecil kebahagiaan Nigel menyinari mereka berdua, meski hanya untuk sesaat.
*
*
Sore itu, udara terasa sejuk. Di dalam mobil mewah yang meluncur pelan, Nigel duduk di kursi penumpang dengan wajah berseri-seri.
Pertunjukan seninya malam ini sukses besar, dan ia tak bisa berhenti bercerita tentang pujian yang diterimanya dari para kritikus dan koleganya.
"Miss Lumi lihat tadi? Mereka berdiri! Mereka bertepuk tangan!" ujar Nigel dengan semangat, matanya berbinar.
Jadynn, yang sedang menyetir, hanya tersenyum tipis dan Lumina menengok pada Nigel yang ada di belakang kursinya. "Ya, Nigel. Kau memang luar biasa." Suaranya ceria, dan Nigel sangat bersemangat.
Lalu Lumina memandang keluar jendela, ponselnya tergenggam erat. Ia bahagia—Nigel berhasil, dan itu berarti pekerjaannya sebagai pengajar pribadinya tidak sia-sia.
Lumina menghela napas dan memutuskan untuk menelepon Annie, ibu Nigel. Annie pasti ingin mendengar kabar baik ini. Ia menekan nomor Annie dan menunggu.
“Nigel, Miss Lumi akan menelepon ibumu,” kata Lumina sambil menyalakan speakernya agar Nigel bisa mendengar suara Annie.
Nigel hanya mengangguk saja.
Satu dering. Dua dering.
Lalu, suara seorang pria menjawab.
"Hello?"
Lumina membeku. Itu jelas bukan suara Annie, dan itu adalah suara seorang pria. Suara itu dalam, asing, dan terdengar serak seperti bangun tidur—seolah pria itu memang seharusnya ada di sana, di dekat Annie.
Tanpa berpikir panjang, Lumina menekan tombol end call. Jantungnya berdegup kencang.
“Itu pasti teman Mommy," kata Nigel dengan polos, yang masih asyik berbicara tentang pertunjukannya.
"Tidak, bukan. Aku salah menekan nomernya. Itu salah sambung," jawab Lumina cepat, memaksakan senyum.
Tapi matanya melirik sendikit ke arah Jadynn. Jadynn tak bereaksi—bertanya, atau setidaknya menunjukkan ekspresi heran.
Dia begitu datar dan cuek, seakan tak mendengar apa pun. Jadynn tetap fokus menyetir, wajahnya tenang seperti biasa.
“Tak perlu kau telepon. Dia tak akan peduli,” ucapnya lirih setelah beberapa menit kemudian.
Pikiran itu menghantam Lumina. Jadynn pasti tahu sesuatu tentang itu dan sudah biasa menghadapi itu selama bertahun-tahun.
Mobil terus melaju, membawa mereka kembali ke mansion megah milik Jadynn.
*
*
Sesampainya di mansion, Nigel langsung menuju kamarnya dan Lumina mendampinginya bersama satu pelayan.
Nigel ingin digantikan pakaiannya oleh Lumina dan ditemani tidur. Setelah dua jam kemudian, Nigel pun tidur dengan nyenyak setelah sempat makan disuapi oleh Lumina.
“Bagaimana pentasnya tadi?” tanya sang pelayan, Bibi Maria.
“Berjalan lancat,” jawab Lumina sambil tersenyum tapi ada tatapan sendu di matanya.
“Kau pasti sedih melihatnya. Dia sangat butuh perhatian.”
Lumina mengangguk pelan.
“Sejak bayi, Nyonya Annie bahkan tak pernah memberinya ASI. Dia seperti sedang marah pada Tuan Jadynn dan melampiaskannya pada Nigel,” lanjut pelayan paruh baya itu.
“Dia bukan barang, dia mahluk bernyawa, mengapa dia begitu disia-siakan. Jika aku bisa—aku ingin menjadikannya putraku saja. Dia sangat pintar dan sangat menurut.” Lumina menghela napasnya.
“Kami juga heran, kenapa Tuan Jadynn tak menceraikan Nyonya Annie saja. Padahal jelas-jelas dia suka berselingkuh dengan banyak pria yang berbeda. Apakah ini karena Nigel?”
Lumina mengedikkan bahunya. “Ya, mungkin saja. Kita hanya melihat dari luarnya saja. Hmm … tapi apakah menurut bibi—Tuan Jadynn juga memiliki wanita lain?”
Maria menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak. Tuan Jadynn sangat dingin dan seperti malas berhubungan lagi dengan wanita. Dia tak pernah macam-macam karena aku sudah mengenalnya sejak dia kecil dulu.”
Lumina mengangguk meskipun dia masih tak mengerti hubungan rumit antara Jadynn dan Annie.
*
*
Beberapa menit kemudian, Lumina pergi ke dapur. Dia membuat kopi untuk menenangkan pikirannya.
Lumina berusaha terlihat biasa saja, tapi pikirannya terus kembali ke telepon tadi. Annie tampaknya selalu ingin memancing Jadynn agar menoleh padanya, tapi Jadynn tak pernah peduli.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jadynn tiba-tiba, saat mereka berdua sendirian di dapur.
Lumina terkejut dan hampir saja menumpahkan kopi yang dia pegang. Lumina mengangkat kepalanya dan menatap pria tampan itu. "Kau dengar telepon tadi, kan?"
Jadynn mengangkat bahu. "Aku sedang menyetir. Tidak terlalu memperhatikan."
Tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Lumina selalu heran dengan sikap Jadynn.
"Jadynn, jika kau tahu sesuatu, kenapa kau tak—"
"Lumi," potong Jadynn, suaranya rendah. "Kadang, lebih baik kita tidak mencari tahu hal-hal yang tidak perlu."
Kalimat itu seperti pisau. Lumina merasa terlalu masuk ke dalam urusan keluarga Jadynn yang amburadul.
“Kenapa kalian bercerai saja? Bukankah itu menyakitkan untukmu dan Annie?” Lumina dengan berani bertanya hal yang sebenarnya bukan urusannya.
“Ini bukan urusanmu,” sahut Jadynn.
Lumina terdiam, dan ya—itu bukan urusannya. Lumina meneguk salivanya dan beranjak dari kursi.
“Maaf. Selamat malam, Tuan. Aku permisi dulu,” kata Lumina sambil menunduk hormat.
Ketika Lumina akan pergi, Jadynn menarik tangannya dan membuat mereka berdiri dalam jarak yang sangat berdekatan.
“Kenapa memanggilku seperti itu?” lirih Jadynn dan menatap mata indah Lumina.
Lumina tak langsung menjawab karena wajahnya begitu dekat dengan Jadynn. “Le-lepaskan aku,” bisiknya. “Kita berdiri terlalu dekat dan tak seharusnya kita—“
Sebelum Lumina melanjutkan ucapannya, Jadynn memotongnya dengan sebuah ciuman mendadak di bibirnya.