Malam telah larut, dan mansion megah itu tetap sunyi senyap seperti biasanya. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, mengisi lorong-lorong panjang yang diterangi lampu temaram.
Lumina, dengan langkah hati-hati, keluar dari kamar Nigel setelah memastikan bocah kecil itu telah terlelap.
Wajahnya yang polos dan tenang saat tidur membuat Lumina tersenyum. Meskipun Nigel adalah anak yang hidup dalam kemewahan, ada kesedihan yang tersembunyi di balik matanya.
Bocah itu kehilangan figur ayah dan ibunya, meskipun mereka masih hidup.
Nigel sebenarnya sudah tidak perlu lagi ditemani tidur sejak nanny-nya pergi. Namun, malam itu, dia meminta Lumina untuk menemaninya sampai dia tertidur.
Lumina, yang sebenarnya adalah guru privat Nigel, tidak bisa menolak permintaan itu. Dia sangat menyayangi Nigel, dan bocah itu selalu mengingatkannya pada anak-anak panti asuhan tempat dia tinggal dulu.
Meskipun hidupnya dulu penuh dengan kesulitan, Lumina merasa bahwa Nigel, dengan segala kemewahannya, justru lebih membutuhkan kasih sayang daripada yang dia kira.
Setelah memastikan Nigel benar-benar tertidur, Lumina berjalan menuju kamar tamu yang telah disiapkan untuknya oleh pelayan.
Kamar itu terletak persis di sebelah ruang kerja Jadynn, ayah Nigel. Lorong yang dilaluinya sepi, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu dinding.
Tiba-tiba, dari ujung lorong, muncul sosok tinggi tegap yang membuat jantung Lumina berdebar kencang.
Jadynn, dengan mengenakan piyama hitamnya, membawa gelas berisi wine di tangannya. Tampaknya dia baru saja keluar dari ruang kerjanya.
Mereka belum pernah benar-benar mengobrol sebelumnya. Jadynn selalu terlihat dingin dan menjaga jarak, sementara Lumina merasa tidak nyaman berada di dekatnya.
Sikapnya yang misterius dan tatapannya yang tajam membuat Lumina merasa kecil dan takut.
Namun, di balik ketakutannya, ada sesuatu yang menarik tentang pria itu. Sesuatu yang membuatnya penasaran.
Lumina mencoba untuk melewati Jadynn dengan cepat, mengangguk hormat sebagai tanda penghormatan.
Namun, sebelum dia sempat masuk ke kamarnya, suara rendah Jadynn memanggilnya.
"Lumina," ujarnya, suaranya dalam dan tenang, namun penuh dengan otoritas.
Lumina berhenti, jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh perlahan, mencoba untuk tidak menunjukkan ketakutannya. "Ya, Tuan Jadynn?" tanyanya, suaranya hampir bergetar.
"Mau temani aku minum?" tanya Jadynn, mengangkat gelas wine di tangannya. "Aku tidak ingin minum sendirian malam ini. Dan … kita mungkin perlu sedikit mengobrol karena aku belum benar-benar mengenalmu selama kau bekerja di sini.”
Lumina terkejut. Dia tidak pernah membayangkan akan diajak minum oleh Jadynn.
Pria itu selalu terlihat begitu jauh dan tidak tertarik pada orang lain, terutama pada dirinya.
Namun, dia tidak bisa menolak. Ada sesuatu dalam suara Jadynn yang membuatnya tidak bisa berkata tidak.
"Baik, Tuan Jadynn," jawabnya, mencoba untuk terdengar tenang.
“Panggil saja aku Jadynn.”
Lumina mengangguk canggung.
Mereka pun berjalan menuju ruang tengah besar yang terletak di lantai tiga, lantai teratas di mansionnya.
Ruangan itu dipenuhi dengan perabotan mewah dan lukisan-lukisan mahal yang menggambarkan pemandangan alam.
Jadynn duduk di sofa besar, sementara Lumina duduk di seberangnya, merasa tidak nyaman dengan situasi ini.
Jadynn menuangkan wine ke dalam gelas lain dan memberikannya kepada Lumina. "Kau tidak perlu gugup," ujarnya, seolah bisa membaca pikiran Lumina. "Aku hanya ingin ada seseorang untuk diajak bicara malam ini."
Lumina mengangguk, mencoba untuk rileks. Dia mengambil gelas itu dan menyesap wine-nya perlahan.
Rasanya manis, tapi ada sedikit kepahitan yang tersisa di lidahnya. "Terima kasih, Tuan Jadynn. Hmm … Jadynn," ralatnya.
Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, sebelum Jadynn akhirnya memecah kesunyian. "Bagaimana Nigel hari ini?" tanyanya, matanya tertuju pada Lumina.
"Dia baik-baik saja," jawab Lumina. "Dia sudah tertidur. Dia memintaku untuk menemaninya sampai dia tertidur."
Jadynn mengangguk, wajahnya tetap tenang. "Mungkin dia merasa nyaman denganmu."
Lumina tersenyum kecil. "Aku hanya mencoba untuk membuatnya merasa tenang. Dia anak yang baik, tapi aku rasa dia membutuhkan lebih banyak perhatian."
Jadynn menatap Lumina dengan tatapan yang dalam, seolah mencoba untuk memahami apa yang ada di pikiran wanita itu. "Kau baik padanya," ujarnya. "Aku bisa melihat itu. Bahkan melebihi Annie.”
Lumina merasa wajahnya memanas. Dia tidak terbiasa menerima pujian, terutama dari seseorang seperti Jadynn. "Aku hanya melakukan apa yang saya bisa. Kurasa Annie juga baik padanya, hanya saja dia mungkin ter—“
“Dia bahkan ingin menggugurkannya dulu,” potong Jadynn.
Lumina menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa. Dan dia cukup terkejut karena Jadynn menceritakan itu padanya.
“Kau pasti sudah mendengar tentang hubungan buruk kami dari para pelayan. Atau mungkin kau bisa melihatnya sendiri bagaimana keadaan di rumah ini,” lanjut Jadynn.
“Mengapa kau tak pernah bersama Nigel? Maaf, aku tahu bahwa ini bukan urusanku. Hanya saja, aku ingin tahu alasanmu,” tanya Lumina ragu.
Jadynn menghela napas, matanya menatap ke arah jendela besar yang menghadap ke taman belakang. "Dia bukan putraku," ujarnya, suaranya terdengar berat. "Terdengar jahat, tapi … aku tetap tak bisa menerimanya. Dan kau juga pasti tahu fakta tentang Nigel. Sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa menerimanya.”
Lumina merasa hatinya sedikit sedih oleh kata-kata Jadynn. Lumina bisa merasakan kesedihan yang tersembunyi di balik sikap dingin Jadynn.