Jadynn menatap foto-foto di ponselnya dengan mata yang semakin menyipit. Tangannya gemetar, bukan karena usia, tapi karena amarah yang membara. Foto itu jelas-jelas menunjukkan Gareen sedang memasuki apartemen Karynn, putri satu-satunya, dengan senyum santai di wajahnya—seolah-olah dia punya hak untuk berada di sana. “Sudah berapa kali?" suaranya rendah, serak, seperti desis ular yang siap menyerang. Di depannya, sang anak buah—seorang pria bertubuh tegap dengan kacamata hitam—menelan ludah. "Ini yang kelima kalinya dalam dua minggu, Tuan. Mereka tak pernah terlihat di luar, tapi mereka selalu bertemu diam-diam.” Jadynn menggebrak meja kayu mahoninya. “Dan kau baru memberitahuku sekarang?" Informan itu menunduk. "Maaf, Tuan. Kami butuh waktu untuk memastikan karena pria itu ber