Sebelum ini memang tak ada satu orang pun yang tahu seperti apa itu rupa wajah Mercy yang sebenarnya.
“Tanpa punya niat untuk memotong pertanyaan yang diajukan oleh Feng, aku juga merasa pengen menanyakan sesuatu,” kata Sera.
Semua anak lain di sana membatin, itu namanya motong, jeng!
Siswi itu melanjutkan, “Aku sempat merasa curiga waktu denger bagaimana suara anak itu saat berbicara. Apa kelamin dia? Sebenernya Mercy itu cewek atau cowok?” tanyanya dengan tampang sangat geregatan seperti seorang tante tante yang ingin menjambak saja langsung wajah perempuan yang ia curigai habis berhubungan di bawah tangan dengan suaminya.
“Jawab saja semua pertanyaan satu demi satu ya, Mercy,” beritahu Kharisma agar Mercy juga tak jadi bingung dan malah berakhir tidak tau harus menjawab apa atau malah berakhir diam saja seperti patung batu, maksudnya seperti selama ini.
Mercy pun memulai kisah yang sebenarnya ia punya. Ia mengaku sebagai orang anak yang miliki sifat pemalu. Alasannya memutuskan untuk meenempuh pendidikan di pulau reklamasi Number Thirty Seven tepatnya di Apocalypse High School ini sendiri untuk menghindar dari semua orang yang pernah ia kenal dulu. Yang mengetahui bagaimana wajahnya yang sebenarnya. Rupanya. Bentuk fisiknya. Semua itu yang ia rasa sendiri sebenarnya sangatlah jelek dan tidak enak dipandang. Ia tak merasa sama dengan bagaimana kebanyakan orang lain.
“Buruk rupa atau indah rupa semua itu kan prespektif pribadi untuk tiap orang. Aku rasa nggak ada alasan untuk malu karena hal semacam itu,” kata Feng sambil menaikkan satu telapak tangan dengan tampang sok memudahkan atau menganggap apa yang saat ini sedang anak itu rasakan atau khawatirkan juga sama sekali tak punya arti.
“Setuju sekali. Lebih banyak orang yang punya tampang pas-pasan, tapi bisa sukses karena justru mereka adalah orang yang lebih percaya pada diri sendiri,” tambah Kharisma sok bijaksana.
“Sebelum itu kira-kira kamu bisa kasih gambaran apa nggak, apa yang bisa buat kamu sampai sebegitunya berpikir kalau wajah kamu tuh sangat jelek,” tanya Sera menelisik sudah seperti penyelidik ahli.
Mercy tampak berpikir sejenak. Setelah berpikir dan mempertimbangkan, akhirnya ia putuskan untuk menyibak poni yang selama ini menutupi salah satu matanya, tepatnya mata kanannya, “Alasan di balik semua itu adalah ini,” ucapnya.
“WHAAA!!!” teriak ketiga anak remaja itu serempak. Mercy jadi semakin yakin untuk tak pernah memperlihatkan wajahnya pada siapa pun.
“Waduh, Mercy, kami minta maaf sekali. Kami sama sekali nggak punya maksud untuk membuka luka lama yang kamu punya, kok,” pohon Sera dengan raut wajah penuh penyesalan.
“Kalau alasannya itu, aku rasa memang sebaiknya kamu tutupi aja,” kata Kharisma.
Tak pakai lama Feng langsung menyikut lengan anak remaja itu dan berbisik, kamu kok nggak peka banget sih.
“Mungkin itu alasan Mercy jadi orang yang sangat pemalu. Dia merasa nggak sama dengan orang lain di sekitarnya dan tanpa sadar mulai berusaha untuk menarik diri,” simpul Sera sambil memegang dagu..
“Seharusnya kamu nggak usah malu hanya karena hal seperti itu. Orang dinilai dari apa yang ada di dalam mereka. Cuma orang picik aku rasa yang sampai hati memperhitungkan penampilan luar dari seorang manusia kecuali hanya di saat khusus seperti waktu ngelamar kerja,” tambah Feng sambil memejamkan mata dan mengayun-ayunkan satu jari telunjuknya.
Bagaimana cara mengatakan alasan sebenarnya yang ia punya pada mereka semua? Pendapat mereka salah! Tapi kayaknya mereka sudah keburu keenakan saja sama anggapan yang mereka buat buat mereka sendiri. Daripada situasi jadi tak enak, lebih baik Mercy ikuti saja ke mana alur percakapan ini mengalir.
“Mercy pasti ngerasa nggak pantes sama orang lain. Itu kenapa dia cuma memantaskan dirinya sama pengetahuan. Orang yang terlalu pintar atau berpengetahuan itu kan biasanya memang punya wajah buruk rupa dan kurang elegan,” kata Kharisma, lagi-agi bersikap tidak peka.
Teori dari mana itu?! batin teman-temannya yang lain tak habis pikir.
Tanpa ia sadari, itu hanya membuat anggapan teman-temannya tentang dirinya semakin melenceng dari jalur.
“Yang punya masalah kan hanya satu matanya aja. Kenapa hidung ke bawah juga merasa perlu kamu ikut tutupi?” tanya Kharisma lagi, memperjelas.
“Kharisma! Kamu itu emang nggak peka banget, sih. Alasannya jelas karena Mercy ngerasa wajahnya jelek keseluruhan. Bener, kan, Mercy?” tanya Feng yakin dengan percaya diri.
Mendengar ucapan tak masuk di akal itu Kharisma hanya bisa berakhir berpikir: aku rasa yang sebenarnya nggak peka di sini tuh kamu deh, Feng.
“Stop, stop, stop! Terus mengungkit semua masalah itu aku rasa hanya bisa makin menyakiti perasaan Mercy. Ayo kita perbaharui saja topiknya. Kamu nggak usah jawab pertanyaanku barusan. Apa ada yang punya topik lain?” tanya Sera serius.
Kharisma langusng mengangkat satu tangan lebih cepat timbang Feng. Ia bertanya, “Kenapa kamu pakai sarung tangan?”
Penampilan Mercy memang terlihat seperti… apa gitu. Sudah pakai masker saat pergi ke mana pun di negara tropis yang suhu udaranya saja cukup tinggi seperti ini. Pakai sarung tangan juga sudah seperti sedang ada di kutub utara saja. Tinggal pakai kacamata hitam maka jadilah dia akan ditangkap polisi karena dikira akan membobol bank.
“Buat gaya aja, kok,” jawab Mercy sangat simple. Alasan sebenarnya yang ia miliki sendiri karena di tangannya ada bekas luka bakar yang memang lumayan parah yang cukup mengerikan. Itu kenapa ia tak ingin seorang pun tau soal itu dan berakhir menanyakan berbagai macam hal yang tidak perlu.
“Giliran saya,” kata Feng. “Sebutan mata ikan mati itu muncul karena mata kamu keliatan selalu bosan." Ia bertanya, "Kamu juga jarang ketawa di depan orang lain. Pertanyaannya, apa bener kalau kamu melihat semua hal itu membosankan?”
Mendengar itu Sera auto berkata, “Kalau pertanyaan Feng sulit dipahami, biar aku jelaskan dengan gamblang. Apa kamu berekspresi normal seperti kami? Jangan-jangan alasan kamu pakai masker untuk menutupi suatu kelainan.”
Sementara dengan enteng Mercy menjawab, “Sejak dulu aku memang cukup susah memahami seperti apa itu konsep lawakan yang sebenarnya. Ada yang salah dengan bagian bernama Lobus prefrontal cortex di kepalaku,” jelasnya mengeluarkan kata-kata yang tak semua anak di sana pahami apa artinya.
Sera, Feng, dan Kharisma auto merespon, “Oooh…” Apaan itu? Lanjut mereka dalam hati tak mengerti.
“Aku denger kamu kerja di dua tempat berbeda setiap hari. Boleh tau di mana kamu bekerja?” tanya Feng lagi.
“Aku adalah pegawai di dinas kebersihan dan keindahan kota. Dan juga sebagai seorang kabaret,” jawab Mercy tenang sudah seperti seorang calon pencari kerja yang sedang serius menghadapi ujian interview user.
“Kabaret itu yang ho hi he sama tante-tante dam om-om atau semacam itu?” tanya Kharisma asal jeplak.
“Kabaret bukan prostitusi,” balas Mercy tak terima pekerjaan yang ia jalani selama ini dipandang seperti itu oleh orang yang bahkan tak benaar-benar memahami seperti apa sistem bekerjanya. Asal bicara sekali.
“Kamu kok sampai kerja keras seperti itu? Memang untuk apa? Emangnya juga orang tua kamu pergi ke mana? Atau ada di mana? Apa alam baka? Mereka seperti orang Tua yang tidak punya tanggung jawab,” tanya Kharisma. Lagi-lagi menanyakan sesuatu yang cukup tidak peka.
Mercy menjawab, “Mereka masih hidup dan ada di dunia ini dengan dua kaki sehat, kok. Tapi memang aku saja yang nggak mau terlalu nyusahin mereka.”
Saat Feng hendak bertanya lagi, “Kalau masalah…”
“Coba tunggu sebentar, deh! Daripada penyelesaian aku lebih ngerasa lagi diintrogasi sama kalian. Kalian tuh mau ngapain sih dengan aku sebenarnya?” tanya Mercy menghentikan keingintahuan para anggota klub itu yang ia rasa sangat tidak jelas dan tidak punya dasar.
Sera, Feng, dan Kharisma saling melihat. Melalui tatapan, mereka yakin memiliki alasan yang sama mengapa menanyakan begitu banyak pertanyaan pada Mercy. Alasannya hanya satu. “Karena kamu adalah seorang anak yang sangat menarik, Mercy!” ucap mereka bersamaan.
Ya, alasannya hanya itu. Karena anak remaja di hadapan mereka itu begitu misterius. Aneh. Sulit ditebak. Terkadang ambigu atau bahkan lebih dari itu. Begitu banyak hal menarik darinya yang tak dimiliki anak lain. Hanya ia yang memiliki tatapan wajah seperti itu. Tatapan seekor ikan busuk yang masih hidup. Dan terus berusaha untuk gerakkan sirip guna berenang melawan arus.