Kharisma menghentikan langkah kedua temannya ketika mereka hendak berbelok di persimpangan. Kharisma mengamati ruangan bernomor 07 di seberang serong kanan mereka. Seorang pria dengan jas putih baru saja keluar dari sana. Tampaknya ia dokter – yaiyalah.
Bergegaslah ia berlari mengejar dokter itu.
“Selamat sore, Dokter,” sapa Kharisma. Kedua temannya, Sera dan Feng ikut memberi salam.
Pria dengan postur tubuh cukup tinggi itu tersenyum dan membalas salam mereka. “Iya, ada apa ya, Dek?” tanyanya dengan raut ramah bersahabat.
“Apa penghuni dari kamar rawat ini miliki nama Mercy Adiratna Martaka?” tanya Sera sedikit gugup. Dokter di rumah sakit Aquarion harus ia akui dari hati paling dalam bahwa mereka sangat ganteng dan rupawan. Enak sekali pada wajahnya dilihat dalam waktu lama. Baru saja mereka juga berpapasan dengan dokter yang sudah tua tapi tetap miliki wajah super cakep dan manly. Ini ketemu yang masih fresh.
Pria itu tersenyum lagi. Ia terlihat sangat ramah. “Benar. Kalian teman-temannya?”
“Benar, Dok. Keadaannya sekarang gimana?” tanya Feng.
“Kalian doakan saja dia segera membaik. Kebetulan saya dokter pengganti. Ini pertama kalinya saya memeriksa dia. Apa dia memang selalu menggunakan…” Dokter ganteng itu memegang rahangnya dengan jari tengah dan ibu jari.
“Maskernya nggak Dokter buka?” tanya Kharisma.
Sang dokter menjawab dengan senyum dan wajah ramah, “Dia sedang tidur. Kebetulan penyakitnya memang mengharuskan dia untuk sangat banyak beristirahat. Saya akan datang lagi malam nanti. Semoga dia sudah bangun ya, haha.”
“Sebenernya Mercy sakit apa sih, Dok?” tanya Sera.
Pria dengan pin nama bertuliskan Lenneth B. Orton itu tersenyum lagi. Namun senyumannya sedikit berbeda dengan yang tadi. Seperti senyum penyesalan. Ia melambaikan tangan dan berkata kalau pekerjaannya masih banyak.
“Tuh orang sebenernya dokter bukan, sih?!” kata Feng bernada sewot setelah sang dokter tidak ada lagi di dekat mereka.
“Ada cowok pakai jas putih dan bawa stetoskop di rumah sakit kalau bukan dokter apaan? Tukang jamu?” balas Sera tak terima cowok ganteng itu dikatai.
“Ya bukannya seperti itu juga,” lerai Kharisma. “Kamu nggak liat pin namanya? Di depan namanya nggak ada tulisan ‘dr’,” usahanya mengingatkan dua temannya yang lain.
“Ya tapi kalau bukan dokter apa lagi? Tukang jamu? Atau malah tukang bersihin kaca?” tanya Feng kembali menantang logika Kharisma.
“Itu nggak penting, lah. Tapi kenapa dia pergi waktu kita tanyain gitu ya?” tanya Sera ikut masuk dalam diskusi mereka.
“Itu yang disebut kode etik kali. Atau nggak dia bener-bener lagi sibuk,” jelas Kharisma berusaha memudahkan saja.
“Terus sekarang kita gimana? Mau masuk, Mercy lagi tidur. Mau pulang, sayang,” tanya Feng sambil mengangkat dua telapak tangan sebatas pundak.
“Kalau bisa sih aku mau nungguin dokter tadi datang ke sini lagi. Tampangnya ngangenin,” ucap Sera.
Feng dan Kharisma melihat Sera aneh. Mungkin itu reaksi wajar kalau cewek ababil seperti dia bertemu cowok ganteng. Tapi sikap yang ia tunjukkan kalau boleh jujur memang sedikit berlebihan.
“Aku mau pulang aja,” ucap Feng.
Disusul oleh Kharisma yang berkata, “Aku setuju.”
“Tungguin, dong!” pinta Sera tiba-tiba berubah pikiran sambil tertawa kecil mengejar langkah kedua temannya yang makin menjauh sebelum tidak terlihat lagi.
Ł
Rumah Sakit Aquarion, hari kelima Mercy dirawat.
Mercy baru rbangun sekitar pukul enam sore. Sekarang ia merasakan tak ada lagi yang salah dengan tubuhnya. Namun perasaan itu bisa berubah total jika ia beraktifitas. Seperti tadi pagi saat baru bangun. Ia memutuskan berolahraga untuk mengukur kondisinya sendiri. Yang ada ia malah ngos-ngosan dan nyaris pingsan. Setelah itu ia memutuskan tidur seharian.
Kondisinya benar-benar belum baik.
Tak ada yang bisa ia lakukan selain menonton televisi. Suster biasa membawakan makanan jam tujuh. Masih ada satu jam sebelum jam tujuh. Setelah itu biasanya Dokter Handoko akan kembali memeriksa keadaannya. Pemeriksaan biasa dilakukan tiga kali dalam sehari. Saat pemeriksaan pagi dan sore ia pasti masih tidur.
Menonton televisi selalu membuatnya bosan. Akhirnya ia memutuskan diam saja sampai waktu makan malam.
Pukul tujuh tepat seorang suster membawa baki berisi makanan. Makan malam kali ini merupakan olahan daging merah, kentang, dan kudapan kismis.
Selesai makan ia segera mengenakan lagi maskernya dan menunggu kedatangan Dokter Handoko. Ia biasa datang lima menit setelah piring makanan dibawa keluar. Ia tak sabar menunggu kedatangan pria berkumis itu. Tak sabar menunggu laporan akan perkembangan keadaannya.
Lima belas menit kemudian.
Pria berkumis bertubuh tambun itu mulai membuatnya kesal. Ia nyaris menekan tombol pemanggil.
Pintu terbuka dan diiringi suara tawa yang renyah. Mercy yang kesal memutuskan menutup kepalanya dengan bantal.
“Hayyo, habis makan jangan tidur lagi. Nggak bagus buat pencernaan,” katanya.
“Habis Dokter lama banget,” gerutu anak remaja itu.
“Saya belum jadi dokter, sih. Tapi nggak apa-apa kalau kamu maunya manggil gitu, haha,” kelakar sang "dokter".
Suara itu. Candaan garing itu. Rasanya…
“Perkenalkan, saya Lenneth. Tepatnya, Lenneth Brotho Orton. Saya calon dokter yang bertugas menggantikan Dokter Handoko sampai beliau pulang dari Jakarta,” katanya memperkenalkan diri. Ia menyodorkan tangan kanannya.
Mercy menurunkan bantalnya cepat. Di hadapannya terdapat seorang pemuda yang sangat rapi – cocok banget jadi dokter. Rambutnya tersisir rapi, berponi menutupi dahi – kesan anak baik-baik. Ia mengenakan kacamata berwarna hitam.
Tangan kanan Mercy menyambut sodoran tangan Lenneth. Tangan kirinya bergerak membuka masker yang menyembunyikan identitasnya.
“Raison d’ Etre, kamu Raison d’ Etre, ‘kan?” tanya Mercy dengan tatapan sangat takjub menatap wajah pria di hadapannya. Ia tampak sangat berbeda. Dengan model rambut dan kacamata itu tentunya.
“Juvenile? Gila, terbongkar deh identitasku. Sst, sst, jangan bilang siapa-siapa ya. Apalagi Gazette,” respon calon dokter itu tampak kaget sekaligus bahagia juga dengan pertemuan mereka yang sangat tidak disangka itu.
“Jadi kamu mahasiswa kedokteran? Keren,” tanya sekaligus puji Mercy hendak menyalami tangan sang teman.
Lenneth membalas, “Hanya kalau pagi saja, ya. Kalau malam ya aku jadi bartender demi mendulang rezeki yang tidak seberapa.”
“Oh iya, memang untuk apa juga selama ini kamu kerja jadi bartender? Mahasiswa kedokteran itu kan biasanya…” tanya Mercy.
Terpotong oleh ucapan Raison d' Etre yang seperti bisa menebak ke arah mana pikiran anak remaja itu selanjutnya, “Nggak semua mahasiswa kedokteran itu anak orang kaya, ya. Memang ada yang jadi mahasiswa kedokteran karena dibayari oleh orang tua mereka. Namun, ada juga yang karena dapat beasiswa. Nah, untuk aku sendiri ya yang kedua. Tidak ada jalan lain.”
Plokplokplok. Mercy bertepuk tangan pelan. Berkomentar lirih, "Keren, keren, keren."
Raison d' Etre berkata lagi, “Sebenernya orang tuaku menentang keputusan yang aku buat. Tapi aku udah bertekad untuk jadi dokter. Sejak itu aku nggak menerima dana apa pun lagi dari mereka. Beasiswa untuk kuliah. Bartender untuk bertahan hidup.”
“Waah, nggak disangka ternyata kamu orang yang hebat dan punya pendirian, ya. Mau jadi dokter apa?” tanya Mercy kepo.
“Tujuanku sekarang lulus pendidikan dokter dulu. Habis itu, kalau masih ada yang mau bayarin, aku akan jadi dokter spesialis jantung. Jantung gitu, lho, organ paling capek di tubuh manusia. Kalo mereka boleh istirahat, nggak akan ada tuh yang namanya sakit jantung,” jawab Raison d' Etre.
“Plok, plok. Semoga berhasil,” respon Mercy sekaligus mendoakan.
“Sekarang biar aku periksa kamu dulu. Tolong jangan memandang sebelah mata sama dokter yang biasa megang gelas sama minuman keras ya, haha!” pinta Raison d' Etre separuh bercanda.
Lawakan kamu selalu garing. Tapi kamu selalu menghibur, pikir Mercy dalam hati.