Kharisma yang sedang menyiapkan makan malam terpaksa meninggalkan pekerjaannya.
*
Di dalam kamar. Ia tak sampai keluarkan siara keras seperti respon yang Sera lakukan. Tapi kalau boleh juju ia memang cukup terkejut ketika melihat apa yang terjadi pada permukaan kulit anak yang sedang terbaring tak berdaya itu, Mercy. Bukan hanya di permukaan kulit bagian tangan, tapi juga permukaan kulit bagian kaki. Bisa jadi di perut dan wajah juga. Namun mereka tak berani membuka bagian yang memang selalu ia tutupi itu. Rasanya akan seperti melanggar privasi.
Kulitnya seperti melepuh dan mengeluarkan cairan bening kekuningan yang keluarkan aroma kurang sedang seperti nanah.
“Feng, kamu itu kan anak seorang dokter. Kita harus melakukan apa jika ada dalam situasi seperti ini?” tanya Kharisma gusar melihat situasi kondisi sepertinya tak akan bisa ia kendalikan seorang diri. Pendapat Feng yang harusnya jauh lebih mengerti pada permasalahan seperti itu ia rasa akan sangat dibutuhkan.
Feng langsung memasang raut wajah kaget tiba-tiba mendapat tanggung jawab seperti itu hanya karena ia lahir sebagai anak seorang dokter. “Hah? Apa juga hubungan dengan orang tuaku yang seorang dokter dan aku? Lebih baik sekarang juga kita bawa Mercy ke rumah sakit. Atau panggil saja seorang dokter sekalian ke sini agar kita tidak takut sampai lakukan kesalahan lagi,” usulnya tak mau terlambat lagi seperti apa yang terjadi sebelumnya.
“Mau bawa pakai apa, heh? Apa kamu mau digendong?” tanya Kharisma tak habis pikir pada saran yang anak itu berikan.
Feng yang makin emosi langsung membalas, "Bawa pakai hidungmu itu mungkin lebih kuat, Ris!" ucapnya emosi.
Untung saja Kharisma tidak kebawa perasaan saat dikatai balik seperti itu. Yah, untung saja ia laki-laki berhati baja. Timbang terlalu lama pusing untung saja ia ingat pada satu hal dan masuklah ia sebentar ke dalam kamarnya sendiri dan keluar lagi sudah dalam pakaian yang jauh lebih rapi. Ia berkata pada dua temannya, “Sebenarnya aku punya mobil. Walau belum punya SIM aku cukup handal dalam mengendalikannya. Terlepas apa pun yang mungkin terjadi di jalan raya nanti lebih baik kita bawa saja Mercy dengan itu,” sarannya sekaligus berika solusi solutif untuk masalah yang sedang menerpa mereka.
“Gila. Kamu itu memang bener-bener anak remaja borju, ya, Ris?” tanya Feng sambil membopong tubuh Mercy ke parkiran di ruang bawah tanah apartemen. “Sudah apartemen mewah seperti ini bahkan ternyata punya mobil sendiri juga,” komentarnya tak habis pikir.
“Aku cuma sedikit lebih beruntung ketimbang kalian,” balas Kharisma rendah hati.
"Baiklah, ya, ya," respon Feng balik.
Ł
Di rumah sakit Mercy langsung dilarikan ke unit gawat darurat. Rombongan Kharisma dan dua temannya langsung diminta menunggu saja di ruang tunggu. Selama itu, ketiganya membincangkan bermacam kemungkinan apa yang sudah terjadi pada Mercy.
Feng sendiri beranggapan bahwa aktivitas merekalah yang jadi alasan penyebab keadaan Mercy jadi seperti ini. Ia berasumsi jika Mercy miliki masalah kesehatan di mana ia memang gampang kelelahan. Itu kenapa ia juga sangat lemah di olah raga dan beragam aktivitas fisik lain.
Sera langsung membantah hal itu. Ucapan Feng seperti memojokkan dia yang sudah beri usul untuk mengadakan cara itu. Kalau memang Mercy mudah kelelahan, kenapa kulitnya sampai jadi mengerikan begitu. Pasti alasannya bukan itu.
Bantahan Sera mengundang debatan lanjutan dari Feng. Mereka terus berdebat sampai suara mereka meninggi. Terus meninggi. Terus meninggi. Kharisma yang duduk di bagian tengah sampai pusing sendiri.
“Kalian bisa diam nggak?!!” sentaknya dengan nada yang lebih tajam. Feng dan Sera memutuskan diam diam kembali duduk.
“Untung aja di sini juga sedang tidak banyak orang,” syukur Sera.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang pria yang mengenakan jas berwarna putih, sepertinya dia dokter, bersama seorang perawat perempuan dengan rambut separuh panjang yang diikat rapi dan dicepol ke belakang mendorong ranjang tempat Mercy terbaring tanpa tenaga. Kondisi anak itu sendiri dianggap sudah cukup baik untuk dipindahkan ke ruang perawatan untuk pasien biasa.
Melihat itu Kharisma semangat menanyakan keadaan Mercy kepada dokter. Tapi dokter tak menjawab dan malah meminta dia bertanya sendiri ke Mercy.
Hmm, bukankah itu respon yang tidak biasa? Mercy ini bagaimanapun juga sedang sakit, lho. Apa seorang dokter yang normal akan menyarankan hal semacam itu pada kerabat atau teman dari pasien? Sangat tidak biasa sekali. Mencurigakan.
*
Di dalam kamar perawatan. Di kamar dengan enam buah tempat tidur itu Mercy hanya ada seorang diri di ranjang yang paling dekat dengan pintu keluar. Kharisma, Feng, dan Sera langsung menyerobot masuk karena khawatir pada keadaannya yang tidak terduga. Mana telpon pintar Mercy yang Sera bawa sejak tadi berdering terus hingga cukup mengganggu. Muncul kontak dengan nama misterius pula, Raison d’ Etre, sebagai pemanggilnya. Karena itu tak terasa seperti nama manusia normal Sera pun takut dan khawatir hingga memutuskan untuk mendiamkan saja.
Namun, untung Mercy sudah sadar dari pingsannya. Sayangnya ia masih cukup lemas hingga masih menggunakan masker oksigen untuk memebantu proses respirasi. Begitu para temannya datang reflek ia merasa perlu melepas masker oksigen itu dan mengganti dengan masker penutup wajahnya yang biasa.
“Kalau masih lemas dipakai saja kan tidak apa-apa, Mercy,” kata Sera dengan nada dan tatapan khawatir.
“Kamu itu sebenarnya kenapa? Apa yang sudah terjadi sama kamu?” tanya Kharisma berintonasi datar.
Penuh dengan pertimbangan akhirnya Mercy memutuskan untuk ceritakan kenyataan, “Aku punya alergi saat mengeluarkan keringat.”
What??!! Ada alergi semacam itu ya di negara tropis yang hampir udaranya selalu panas ini? Kasihan sekali, batin semua teman penjenguk Mercy saat itu.
“Jadi penyebab kamu sampai… bisa jadi begitu hanya karena mengeluarkan keringat?” tanya Feng sedikit tak percaya. Pertama kali ia dengar ada alergi dengan subjek keringat.
“Tapi, tubuh semua orang kan pasti akan mengeluarkan keringat nyris setiap saat,” kata Kharisma, "Apalagi di negara yang panasnya seperti alam barzah ini."
“Yang aku maksud dalam kasusku sendiri hanya keringat yang berlebihan. Kalau hanya keringat sehari-hari sih rasanya paling cuma perih kulit terasa seperti sedang digigiti semut. Semut sekampung,” respon Mercy dengan nada suara datar. Habis ia jadi bingung juga bagaimana cara menjelaskan yang baik kalau pendengarnya sejak awal sudah punya anggapan semacam itu.
“Pantes aja Mercy selalu menghindari olah raga dan segala macam jenis kegiatan fisik. Jadi itu ya penyebabnya,” ucap Feng.
“Aku sangat minta maaf karena tanpa sadar sudah buat kalian semua kerepotan,” pohon Mercy seraya menundukkan wajah dengan raut tidak enak.
“Oh iya, Mercy, telpon pintar kamu dari tadi bergetar terus. Nama penelponnya mencurigakan, jadi nggak aku angkat,” beritahu Sera.
Mercy menerima telpon pintarnya dengan tangan yang masih sedikit bergetar hingga harus digerakkan seperlahan mungkin. Ia langsung menghubungi balik kontak yang habis menelpon tapi tidak diangkat. “Raison d' Etre, aku minta tolong katakan sama Master kalau aku sedang sakit. Cukup parah hingga tidak bisa meninggalkan tempat tidu untuk saat ini. Sekarang saja aku sedang dirawat di rumah sakit. Mungkin beberapa hari aku tidak akan bisa masuk kerja. Tolong katakan juga pada Gazette kalau jatahku hari ini untuk aku kalau nanti sudah masuk saja. Double lho, ya! Jangan diembat!” ucapnya semangat. Ia masih lemah, tapi kalau membahas entah apa itu ia terdengar jauh lebih semangat dan meyakinkan. Semoga ia bisa cepat sembuh dan kembali baik-baik saja.
Sementara itu di seberang Raison d' Etre langsung membalas, “Ah, kamu itu lagi sakit juga sempet-sempetnya memikirkan parfait,” ledek lelaki muda itu.
Mercy yang kesal karena kecintaannya pada parfait lagi-lagi diledek langsung membalas, “Aku bakal makin sakit sampai nggak mikirin itu. Bye!”
Mercy memutus telponnya. Sera menengok kedua teman di sisinya. Sepertinya apa yang saat ini sedang mereka pikirkan semua sama. Para teman kerja Mercy punya nama yang aneh-aneh semua.
“Makasih kalian udah nganterin aku ke sini. Sekarang juga udah malem. Aku rasa lebih baik kalian pulang aja. Kharisma, aku minta tolong izinnya ya,” ucap Mercy pada semua temannya di sana terkhusus Kharisma sang ketua kelas menyangkut perizinannya tidak masuk sekolah.
“Apa nggak sebaiknya salah satu dari kami nemenin kamu aja?” tanya Sera khawatir.
“Ini di rumah sakit, lho, Mercy!” kata Feng dengan nada menakuti. “Di kamar yang seluas ini apa kamu yakin mau menghabiskan sepanjang malam sendirian?” tanyanya dengan wajah sok menyeramkan. Walau yang ada malah jadi lucu karena dua mata Feng itu sipit.
“Toh kasur di ruangan ini juga banyak yang tidak ada pasiennya. Aku rasa sepertinya bisa minta izin untuk nemenin kamu malam ini,” tawar Kharisma rendah hati.
“Hmm, biar aku kasih tau satu hal sama kalian," respon Mercy, ia melanjutkan, "dari umur satu sampai dua belas tahun itu aku sudah tinggal di rumah sakit. Mulai dari yang namanya pocong ngesot, pala buntung salto, kuntilanak ngedance, aku udah pernah lihat mereka semua. Sudah berteman akrab kami. Jadi, tidak ada yang perlu aku khawatirkan Lebih baik kalian pulang dan pikirkan saja diri kalian sendiri,” ucapnya.
Akhirnya ketiga anak remaja itu pun menyerah. Mercy memang terlihat seperti orang yang tidak akan takut pada sesuatu semacam hantu.
Karena ada hal yang lebih menakutkan dari hantu dalam kehidupannya.
Dari ambang pintu, Kharisma memutar lagi tubuhnya. Ia melihat Mercy dengan raut yang sedikit cemas. “Apa perlu aku minta sekolah untuk menghubungi orang tuamu?” ia bertanya.
“Terima kasih. Nggak perlu,” jawab Mercy dengan raut wajah tidak peduli.
“Terus yang akan bayar biaya perawatan dan rumah sakit ini nanti siapa?” tanya Feng.
“Tenang aja, aku juga nggak mau terlalu lama ada di rumah sakit ini. Aku nggak suka rumah sakit ini, maaf,” ucap Mercy jujur.
“Padahal ini rumah sakit paling bagus di Number Thirty Nine,” komentar Sera.
“Dan yang paling mahal. Kalian juga harus ingat itu,” tambah Mercy.
Mereka mulai berpikir, mungkin salah membawa Mercy ke rumah sakit ini. Alasannya benar, terlalu mahal. Seharusnya puskesmas saja cukup.
Mercy memiliki alergi tersendiri dengan nama Aquarion. Rumah sakit yang sudah menemani dua belas tahun masa tumbuh kembangnya.