Dunia ini bukan sebuah film yang diarahkan sempurna oleh seorang sutradara. Orang yang memiliki ciri khas kuat saat ada di film dengan yang terlihat kuat saat di kenyataan tentu saja tidaklah sama. Namun, satu yang harus dipahami adalah bahwa terkadang satu-satunya cara yang dimiliki manusia untuk bertahan di dunia yang tidak punya belas kasihan ini adalah dengan jadi pengikut pihak yang paling kuat yang meyakinkan.
Walau memang bukan sebuah film, dunia ini tetap merupakan jalinan dari banyak cerita yang sambung menyambung hingga jadi sebuah kesatuan yang padu, bahkan bisa juga sama sekali tidak padu. "Suatu" kisah dari banyak jiwa yang ditulis oleh para tangan agung Sang Kuasa. Kita, manusia, tak lain merupakan sebuah tokoh. Dan dunia ini hanya ada dalam pikiranNya. Menghancurkan maupun mengubah nasib seorang tokoh sama mudahnya dengan membayangkan sesuatu.
Hidup ini merupakan hal yang sangat sederhana. Kita terjebak dalam kesederhanaan kerumitan pikiran Sang Maha Pencipta.
Namun ini hidup kita. Kita yang memutuskan mau dibawa ke mana cerita ini. Kitalah yang memiliki andil paling besar dalam keputusan maupun kebahagiaan.
Mungkin kita hanya tokoh. Tapi kita tak sama lemahnya dengan tokoh dalam cerita buatan manusia. Kita memiliki kekuatan untuk memutuskan.
Ł
Malam itu di suatu apartemen yang terletak tiga blok dari SMA Apocalypse. Seorang penulis muda tengah sibuk memeras pikirannya. Huruf demi huruf terangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat menyusun menjadi sebuah frasa. Frasa demi frasa meluncur keluar dari jemarinya. Dari pikirannya yang kalut.
Meski kalut, ia bukan seseorang yang sempit. Ia sangat luas dan keluasan dirinya meliputi semesta Tuhan. Seluruh bagian bumi telah ia jelajahi. Seluruh tempat yang berguna untuk referensi bukunya telah ia kunjungi. Ia telah sangat mengenal dunia ini seperti dirinya sendiri.
Karena ia bukanlah penulis biasa. Ia terlahir ke dunia dengan membawa kisah yang lebih besar dari manusia biasa. Meski itu semua akan mengakhiri hidupnya sendiri sekalipun.
Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Mercy berusaha merenggangkan otot pinggangnya yang pegal karena bekerja tanpa henti sejak jam enam sore. Ia memang selalu memulai pekerjaannya sejak pukul enam sore sampai pukul dua pagi. Itu sudah rutinitas.
Jam sebelas sampai jam setengah dua belas memang waktu istirahatnya. Waktu itu bisa ia gunakan untuk tidur atau bersantai jika mau. Namun malam ini merupakan jatahnya menikmati kebiasaannya yang berbahaya.
Temannya, Gazette, manggut-manggut merespon desakan Mercy untuk bergerak lebih cepat. Ia sudah tidak sabar melihat yang tersaji di dalam gelas. Ingin segera melahapnya.
“Kalau makan ini terus badanmu bisa melar, lho, Joie de Vivre,” katanya dengan tatapan menggoda. Mercy langsung menghantam kepalanya dengan teplon terdekat.
“Sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama itu lagi. Kau tidak lihat ini?” Mercy menunjuk ke papan nama yang melekat di dadanya. Tertulis dengan huruf kapital; JUVENILE.
Gazette menyerahkan hasil akhir dari pekerjaannya. Ketika Mercy ingin mengambil, Gazette menjauhkannya. Ia selalu senang menggoda temannya yang hobi makan parfait ini.
“Bisa sedikit lebih cepat nggak, sih? Waktu istirahatku yang tersisa tinggal lima belas menit, nih,” pohon anak remaja itu dengan tatapan penuh harap sambil melihat parfait setinggi tiga puluh centi di hadapannya.
“Aku pengen tau nama asli kamu dulu,” kata Gazette semakin jahil.
Dengan cekatan Mercy langsung merebut gelas berisi parfait itu. Meski melakukannya membuat stroberi di pucuk parfait jadi terjatuh dan beberapa bagian di bawahnya tumpah berceceran. Ia sudah kadung lelah bin tidak peduli menghadapi keingintahuan Gazette yang salah tempat sejak pertama mereka bertemu.
“Buat apa, sih? Nggak ada gunanya juga tau,” balas Mercy kesal, gemas, geregetan, pengen menampol, semua bercampur jadi satu sekaligus sangat tidak terkendali.
Selesai menghabiskan parfait, Mercy meninggalkan gelas di dapur. Tidak seperti Gazette yang bertugas di bagian belakang. Di klub malam ini, Juvenile merupakan salah satu bintang. Khususnya untuk para pengunjung dengan jenis kelamin perempuan.
Ia naik ke atas panggung dan memainkan bass bersama band-nya, Early Bird. Setelah lagu usai dibawakan, biasanya masing-masing anggota band akan dipesan untuk menemani pengunjung tertentu. Yang tentunya membawa kocek lebih karena memesan anggota band Early Bird tentu saja tidak murah.
Ketika dipesan untuk menemani pengunjung, host, begitu julukan mereka, bertugas menghibur dan menyenangkan hati pelanggan. Di antara yang jadi tugas mereka adalah melawak, mendengarkan curhatan dan memberi solusi bermanfaat, memainkan berbagai macam alat musik, berbincang dengan pemesan mereka tidak peduli apa pun yang jadi topiknya, semua harus bisa mereka kuasai, dan juga yang lain.
Malam ini pun Mercy telah siap melakukan hal itu. Namun, seorang bartender bernama Raison d’ Etre tiba-tiba malah menghampiri dirinya dan mencegah ia dari dipesan oleh seorang pengunjung.
“Ada apa sih dengan kamu?” tanya Mercy gusar.
Raison d’ Etre menjawab, “Rainbow lagi nggak masuk, nih. Padahal Pak Kuncoro akan datang malam ini.”
Rainbow sedang tidak masuk, ya, batin Mercy jadi ikut gundah gulana. Kalau ia tidak salah ingat sendiri Pak Kuncoro merupakan nama dari seorang pelanggan eksklusif klub malam mereka. Ia nyaris selalu, tidak pernah ragu saat ingin menghamburkan puluhan hingga ratusan jutaan rupiah setiap kali datang ke sana. Singkat kata, semua yang pria itu inginkan harus dipenuhi. Tanpa terkecuali.
“Terus kenapa? Apa juga urusannya dengan aku?” tanya Mercy menghentikan langkah. Perasaannya memang jadi sedikit gundah. Tapi…
“Sebagai gantinya dia mesan Joie de Vivre,” beritahu Raison d’ Etre.
“Bukannya manajer kita mau ngumumin kalau Joie de Vivre udah nggak ada lagi di tempat ini, ya?” tanya Mercy gamang.
Raison d’ Etre langsung tampak naik pitam. Menjawab dengan suara yang ditinggikan oktafnya, “Mana bisa, LAH! Pak Kuncoro itu cuma mau dia atau Rainbow. Kalo nggak ada Rainbow, ya harus dia.”
“Aku nggak mau, nggak akan pernah mau,” jawab Mercy, langsung ia gelengkan kepala cepat. Menunjukkan ketidaksetujuan. Keengganan.
“Kamu cuma harus nemenin dia. Nggak ada seyang lebih dari itu atau hal yang seburuk pikiranmu, bro. Nggak ada kontak fisik. Cuma menghibur dia doang. Dia udah jauh-jauh datang dari Jakarta masa kita perlakukan seperti ini, sih?”
“Nggak masalah kalau yang dia pesan perempuan. Tapi aku, aku...”
“Ini akan jadi malam keberuntungan kamu,” katanya sebelum mendorong tubuh Mercy memasuki ruang rias.
Ł
Sesosok tubuh melenggang memasuki ruangan yang Kuncoro pesan untuk menghabiskan malam. Ia bersama para kolega bisnis dan pekerjanya tengah bersantai sambil menenggak bergelas-gelas minuman keras.
Tentu saja, Number Thirty Nine tak hanya menyediakan sarana pendidikan. Justru karena terletak paling jauh di kepulauan Reklamasi, Number Thirty Nine juga menjadi surga bagi ladang hiburan malam. Namun tentunya dengan syarat; tidak mengganggu proses atau jalannya pendidikan di pulau ini.
Pak Kuncoro tak bisa berkedip melihat sosok itu. Sebenarnya juga ia sedang bosan dengan host bernama Rainbow. Membuat kontak dengan Joie de Vivre bisa menyegarkan kembali kebosanannya. Sudah lama ia tak melihat gadis berparas ayu itu.
Untung saja wajahnya menggunakan make up cukup tebal. Setidaknya itu bisa mengurangi sedikit kejelekan dan kekurangan yang ada di wajahnya. Dengan topeng bernama make up, laki-laki dewasa seperti Pak Kuncoro pun bisa tertipu dengan wajah pemuda sepertinya.
Inilah kenapa bekerja di kabaret itu berbahaya.
Aku bakal mati sampai dia sadar aku juga berbatang! Mercy meremas rok mengembang yang sengaja ia gunakan untuk menyembunyikan kejantanannya.
Pak Kuncoro memeluk punggung Joie de Vivre. Ia mengusap wajah gadis, maksudnya pemuda itu. Pak Kuncoro mengendus leher Joie de Vivre dengan sangat lembut.
Bulu kuduk Mercy langsung ajojing kala mendengar semua penuturan itu.
“Kamu keluar saja dari sini. Sebagai gantinya, kamu akan saya pekerjakan di perusahaan saya. Saya ingin melihat kamu setiap hari,” tawar Pak Kuncoro mantap.
Mati! Mercy tak boleh memberitahu orang ini kalau ia masih SMA. Bisa makin tergila-gila dia jika tau dilayani gadis SMA. Masalah terbesarnya, dia itu laki-laki!
Klub malam bersedia saja mempekerjakan pekerja paruh waktu anak SMA. Tapi dia memang harus memiliki jenis kelamin laki-laki.
“Bos kan bisa ke sini kapan aja. Saya nggak bisa meninggalkan pulau ini, Bos.”
Kuncoro melihat ke pria-pria lain di ruangan itu. Kepalanya mengisyaratkan mereka semua untuk pergi. Tertinggallah Mercy, seorang pemuda biasa, dengan Kuncoro, seorang pria tua bangka.
“Kalau begitu saya ingin menghabiskan malam ini dengan kamu saja.” pak Kuncoro mengeraskan rabaannya ke seluk beluk tubuh ramping Joie de Vivre.
“Maaf, Bos, kebijakan klub kami nggak ada kontak fisik.” Joie de Vivre hanya bisa mengelak. Jika ia berteriak atau memanggil bantuan, bisa-bisa hubungan klub malam ini dengan sang bos berakhir. Padahal Kuncoro merupakan salah satu sumber pemasukan terbesar Aintzane Club N’ History.
Pak Kuncoro berkata, “Saya kan hanya ingin dibelai sama kamu. Kamu tau? Istri saya di rumah pekerjaannya hanya marah-marah terus. Anak saya terlalu banyak menuntut. Saya tidak mau kembali ke rumah itu lagi,” ceritanya dengan tampang sendu.
Kepala Kuncoro terjatuh dan berhenti bergerak di pangkuannya. Mercy membelai pelipis laki-laki itu. Dan Kuncoro pun jatuh terlelap.
Ł
Keesokan paginya Kuncoro bangun masih di pangkuan Joie de Vivre. Ia meminta maaf pada pemilik klub karena membuat mereka tidak bisa tutup malam itu. Terlebih lagi, ia sangat berterima kasih karena Joie de Vivre bersedia mendengarkan curhatannya semalam suntuk.
Sebelum naik ke jet pribadinya, Pak Kuncoro memberikan sebuah kartu pada Joie de Vivre.
“Ini apa?” tanya Joie de Vivre.
Pria itu menjawab, “Hanya sebuah kartu ATM. Isinya di sana juga tidak begitu banyak. Tapi mungkin bisa sedikit membalas jasa saya sama kamu.”
“Terima kasih banyak, Bos!” ucap Joie de Vivre semangat empat lima.
Kuncoro dan gerombolannya pun pergi dari Number Thirty Nine. Mercy menerima hadiah jutaan hanya untuk kebaikan kecil yang ia lakukan. Tak ayal, dua teman terbaiknya di klub malam itu meminta pajak.
“Kayaknya kita bakal makan enak nih,” kata Raison d’Etre pada Gazette.
Mercy melihat ke arah jam tangannya saat dua temannya itu sibuk berbicara tentang makanan mahal yang ingin mereka nikmati. “Sedikit lagi aku akan telat!” ucap pemuda itu tiba-tiba.
“Gawat, aku juga hampir terlambat!” teriak Gazette bersamaan dengan berlarinya kembali Mercy ke ruang pekerja.