Juan cepat menguasai dirinya dan menjawab singkat, "Aku baik. Minum saja minumanmu, Nadia."
Namun, pikirannya tetap berputar pada Magika. Ia takkan membiarkan perempuan itu menarik perhatian sembarang orang.
Nadia yang duduk di hadapan Juan, perasaan kecewa mulai merayap di hatinya. Ia merasa kehadirannya seolah tak berarti. "Kenapa Tuan Juan selalu dingin seperti ini?" pikirnya sambil diam-diam memperhatikan pria di depannya.
Juan, dengan ekspresi tenang namun serius, mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik sesuatu. Nadia mengamati tanpa bicara, mencoba menebak apa yang sedang dilakukan bosnya itu.
"Sepertinya dekat dengan orang super sibuk seperti Tuan Juan, aku harus siap," gumamnya dalam hati. "Sedang makan siang saja masih sibuk seperti ini."
Sementara itu, di layar ponselnya, Juan mengetik pesan singkat namun tegas:
[Juan: Jangan biarkan Magika pakai rok pendek! Dia harus selalu tertutup. Kalau mau pakai rok, pakai rok panjang!]
Setelah memastikan pesannya terkirim ke Terama, Juan meletakkan ponselnya di atas meja. Ia mengangkat minumannya dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa.
Nadia, yang masih memperhatikannya, merasa semakin jauh. "Apa aku benar-benar tak punya tempat di hatinya? Atau dia memang tak peduli pada siapa pun?" pikirnya getir, namun ia mencoba tetap tersenyum.
Namun, pikiran Juan sama sekali tidak berada pada Nadia. Ia hanya memikirkan satu hal: menjaga Magika agar tetap menjadi miliknya, meski untuk itu ia harus mengatur setiap langkahnya dari jauh.
Terama yang sedang menikmati sushi bersama Magika merasakan getaran ponsel di sakunya. Ia mengambil ponsel itu dan melihat pesan baru yang masuk. Dari Juan.
[Juan: Jangan biarkan Magika pakai rok pendek! Dia harus selalu tertutup. Kalau mau pakai rok, pakai rok panjang!]
Terama membaca pesan itu sambil berusaha tetap tenang. Ia melirik ke arah Magika yang sedang sibuk makan sushi dengan raut wajah ceria. "Sepertinya Kak Juan ada di sini," pikir Terama.
Dengan santai, ia mengangkat pandangannya dan memperhatikan sekeliling. Tidak butuh waktu lama, ia melihat Juan duduk di salah satu meja tak jauh dari mereka. Juan tampak elegan seperti biasa, ditemani Nadia, sekretarisnya yang terlihat cantik dan seksi.
Terama menghela nafas panjang. "Kak Juan memang selalu tahu segala hal," gumamnya dalam hati. Ia menunduk, lalu mengetik balasan singkat:
[Terama: Siap!]
Setelah mengirim pesan itu, ia kembali menyimpan ponselnya ke saku dan melanjutkan makan. Namun, dalam hati ia bertanya-tanya, "Apa sebenarnya rencana Kak Juan dengan Magika? Kenapa dia sampai mengawasi bahkan soal pakaian? Apa dia benar ingin menikahi Magika?"
Magika, yang tak menyadari dinamika itu, terus bercerita dengan riang tentang betapa ia menyukai suasana kantor barunya. Terama hanya tersenyum samar sambil sesekali melirik ke arah Juan yang terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri di meja sana.
Setelah menghabiskan makanannya, Magika meletakkan sumpitnya dengan hati-hati ke samping piring. Ia menatap Terama yang masih menikmati sisa sushi terakhirnya.
"Kak, setelah selesai ayo kita balik ke kantor," ucap Magika sambil tersenyum.
Terama mengangguk sambil meraih serbet untuk membersihkan tangannya. "Oke, tapi aku yang akan bayar semuanya."
Magika langsung menggeleng. "Ah, enggak usah, Kak. Kita bayar masing-masing saja."
Terama menatapnya tegas sambil tersenyum tipis. "Aku yang mengajak, jadi aku yang bayar."
Magika akhirnya mengangguk dengan senyum lebar. "Makasih, Kak."
Melihat senyum Magika, Terama tak bisa menahan senyumnya sendiri. "Sama-sama," balasnya singkat, membuat Magika semakin kagum.
Setelah membayar, keduanya keluar dari restoran Jepang itu. Saat berjalan beriringan menuju kantor, Terama melirik Magika sejenak. "Oh iya, Magika. Soal rencana kamu mau pakai rok pendek, jangan ya," katanya dengan nada lembut namun tegas.
Magika menatapnya sambil mengangkat alis. "Kenapa, Kak?" tanyanya, meski hatinya sudah mulai merasa malu.
"Aku lebih suka kamu pakai setelan seperti ini. Rapi, elegan, dan tetap tertutup," jawab Terama sambil menatap lurus ke depan.
Magika tersenyum kecil, merasa ada perhatian dalam kata-kata Terama. "Baiklah, Kak. Aku akan tetap tertutup," ucapnya.
Terama mengangguk puas. "Bagus," jawabnya singkat.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana yang semakin hangat. Namun, di hati Magika, rasa suka pada Terama kian tumbuh, apalagi setelah sikap perhatian seperti tadi. "Dia memang tipeku," gumamnya pelan dalam hati sambil melirik sosok Terama yang berjalan di sampingnya.
Juan mengalihkan pandangannya dari meja Magika dan Terama yang kini kosong. Ia menghela napas pendek, merasa kehilangan momen melihat Magika lebih lama. Tatapannya beralih ke Nadia yang masih asyik makan.
Nadia makan sangat lambat, memotong kecil-kecil makanannya dan mengunyah dengan hati-hati. Gerakannya terkesan dibuat-buat untuk menjaga citranya di depan Juan.
Melihat itu, Juan mulai merasa tidak nyaman. Ia ingin segera kembali ke kantor dan mendengar suara Magika lagi. Tanpa menunggu lebih lama, ia langsung berdiri.
Nadia tersentak kaget, sendoknya nyaris terjatuh. "Tuan, mau kemana?" tanyanya dengan nada bingung.
Juan tak menjawab langsung. Ia mengeluarkan dompet dari saku jasnya, mengambil sebuah kartu, lalu meletakkannya di meja di depan Nadia. "Bayar dengan kartuku. Setelah selesai, kembalikan kartu ini di kantor. Aku harus segera pergi."
Nadia memandangi kartu itu sejenak, lalu mengangguk patuh. "Baik, Tuan," jawabnya cepat.
Tanpa basa-basi lagi, Juan meninggalkan meja dengan langkah tegas. Nadia memandang punggungnya yang semakin menjauh, merasa sedikit kecewa karena Juan begitu terburu-buru. Namun, ia juga merasa senang karena setidaknya Juan mempercayakan kartunya padanya, meskipun itu hanya urusan membayar makanan.
Sambil melanjutkan makan, Nadia bergumam pelan, "Dia benar-benar pria yang sulit ditebak."
Dua minggu kemudian.
Dua hari berlalu sejak makan siang di restoran Jepang, dan Nadia merasa hatinya semakin penuh dengan harapan. Dua minggu terakhir, Juan memang tampak lebih ramah padanya. Setiap interaksi terasa lebih hangat, dan Nadia mulai berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, Juan mulai melihatnya lebih dari sekadar sekretaris. Ia merasa percaya diri untuk mengajak Juan keluar, bahkan berharap bisa menghabiskan waktu bersama bosnya di akhir pekan ini.
Dengan tekad yang menguat, Nadia berjalan menuju pintu ruang Juan. Setelah mengetuk perlahan, ia mendengar suara Juan dari dalam, mempersilahkan, "Masuk."
Nadia membuka pintu dan melangkah masuk, namun saat matanya bertemu dengan Juan, ia melihat bosnya tengah mengenakan earphone. Saat itu Juan tampak tenggelam dalam suara Magika yang mengalun lembut sedang bernyanyi di ruangannya. Suara itu mengisi telinga Juan, meskipun tak seindah penyanyi profesional, namun ada sesuatu yang memikat di dalamnya. Juan menatap dengan serius Nadia.
Nadia merasa sedikit gugup, tapi ia meneguhkan diri untuk bertanya. Suaranya terdengar pelan dan matanya menunduk, "Tuan, malam ini ada waktu? Aku... ingin mengajak Anda makan malam."
Juan terdiam sejenak, tampak berpikir. "Dalam rangka apa?" tanyanya, suaranya terdengar penuh penasaran.
Nadia sedikit ragu, tapi akhirnya menjelaskan, "Saudara saya membuka restoran baru, malam besok ada grand openingnya. Apakah Anda bersedia hadir?"
Juan mengetuk meja dengan jari-jarinya, berpikir. Nadia menunggu, menahan nafas, berharap jawabannya positif. Akhirnya Juan mengangkat wajahnya, "Baiklah, saya akan datang, tapi tidak janji ya."
Mendengar itu, Nadia langsung tersenyum lebar, meskipun ada sedikit rasa cemas yang tersisa. "Baik, Tuan. Terima kasih banyak," jawabnya dengan penuh harapan.
Juan mengangguk, lalu kembali memakai earphone-nya. Nadia melihatnya untuk terakhir kali sebelum melangkah mundur.
Nadia keluar dari ruangan itu dengan langkah ringan, hatinya berbunga-bunga. Meskipun Juan tidak memberikan jaminan penuh, ada secercah harapan yang membuatnya merasa bahagia. Ia sudah bisa membayangkan dirinya duduk berdampingan dengan Juan di restoran itu, dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.
Sementara itu Magika duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi. Namun, meskipun banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, hatinya terasa ringan. Sejak ia bekerja, hampir setiap hari ada kejutan kecil yang datang menghampirinya, membuatnya merasa sangat dihargai. Setiap keinginannya selalu terwujud begitu saja—seperti hadiah yang datang tanpa diminta. Ia mulai berpikir, semua ini pasti karena perhatian Terama. Mungkin dia ingin memberi penghargaan atas kerja keras Magika, atau mungkin hanya ingin menunjukkan bahwa dia peduli.
Magika melirik jam di mejanya, merasa sedikit lapar. Dia sudah lama menginginkan salad buah segar, namun tidak sempat memesan. Mengingat betapa sibuknya hari ini, ia hanya bisa berharap salad buah itu tiba dengan sendirinya, seperti kejutan-kejutan lainnya yang datang tanpa direncanakan.
“Makan salad buah sepertinya enak.”
Tak lama kemudian, sebuah ketukan terdengar di pintu ruangannya. OB (Office Boy) masuk, membawa nampan dengan senyum lebar di wajahnya. "Maaf, Nona Magika, ada pesanan untuk Anda."
Magika menatapnya dengan rasa penasaran, namun tidak terkejut. Ia sudah terbiasa dengan kejutan-kejutan kecil ini. "Pesanan?" tanyanya, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi.
OB meletakkan nampan di meja Magika. Di atasnya, terdapat salad buah yang begitu segar dan penuh warna. Potongan-potongan buah terlihat sangat menggugah selera, dengan potongan stroberi, mangga, kiwi, dan anggur yang dipadu dengan saus manis yang menyegarkan. "Ini Pasti dari kak Terama.” OB pun keluar dari ruangan Magika.
Magika tersenyum lebar, langsung merasa tersentuh dengan perhatian Terama. "Kak Terama... benar-benar perhatian," gumamnya, merasa sangat dihargai. Ia memandang salad buah itu dengan rasa senang. Ia tidak tahu Juan lah yang selalu mewujudkan semua yang ia inginkan.
Dengan penuh syukur, Magika mulai menikmati salad buah itu, merasakan kesegaran buah-buahan yang meluncur di lidahnya. Setiap suapan terasa seperti hadiah kecil dari Terama. Dalam pikirannya, ia berterima kasih kepada Terama, merasa semakin dekat dengannya. "Terima kasih, Terama," ujarnya pelan, meskipun hanya dirinya sendiri yang mendengarnya.
Magika kembali melanjutkan pekerjaannya, merasa puas dan terobati dengan kejutan kecil itu. Tanpa ia sadari, sebenarnya ada tangan lain yang diam-diam mengatur kejutan-kejutan tersebut.
Saat jam kerja mulai berakhir, Juan masih berada di ruangannya, matanya terfokus pada layar laptop. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada pekerjaan. Ia mendengar suara percakapan yang datang dari speaker earphone yang masih menempel di telinganya, percakapan antara Magika dan Terama.
Magika terdengar berbicara dengan nada ceria, "kak Terama, akhir pekan ini aku akan menghadiri grand opening restoran orang tua sahabatku. Ikut aku yuk?"
Terama terdengar sedikit ragu, suaranya lebih santai, "Ga janji deh. Aku masih belum tahu apakah ada acara lain."
Juan mendengarkan percakapan itu dengan seksama, matanya mengerut, memikirkan apa yang baru saja didengarnya. Magika berencana pergi ke acara besar akhir pekan ini, dan Terama tampak tidak terlalu tertarik untuk ikut.
"Oke, Magika," Terama akhirnya menjawab, terdengar seperti ia menyerah. "Aku akan coba luangkan waktu."
Magika kemudian tertawa ringan, "asik! Ayo, nanti kita ketemu di sana!"
Juan menarik napas panjang dan memikirkan setiap kata yang baru saja ia dengar. Akhir pekan ini, Magika akan berada di tempat umum. Tak ada di rumah. Ini adalah saat yang tepat. Ia tak bisa lagi menunggu.
Dengan pikiran yang semakin matang, Juan bertekad dalam hati, "Oke, akhir pekan ini aku akan melamarmu, Magika."
Setelah percakapan itu selesai, Juan mematikan earphone dan menatap layar laptopnya sejenak. Sekilas, ia merasa jantungnya berdebar. Akan ada langkah besar yang harus ia ambil, dan ia yakin ini adalah langkah yang benar.
“Tak lama setelah lamaran, aku akan akan menikahimu. Magika Zamora.” Juan tersenyum sangat manis.