Menjalankan Misi

1139 Kata
Saat Magika masih bersandar di bantal sambil membayangkan langkah selanjutnya, tiba-tiba notifikasi pesan masuk muncul di layar ponselnya. DM dari Terama. Magika langsung terduduk tegak, matanya berbinar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka pesan itu. (Terama: Bagaimana kalau kita ke kafe itu bersama? Akhir pekan ini bisa?) Magika membacanya sekali, dua kali, bahkan tiga kali untuk memastikan dia tidak salah baca. "Oh Tuhan! Ini nyata!" serunya pelan, lalu tanpa sadar melompat-lompat di atas tempat tidurnya. "Dia ngajak aku jalan! Ke kafe itu!" Magika memekik senang sambil memeluk ponselnya. Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan diri, Magika dengan cepat mengetik balasan (Magika: Mau! Iya, bisa banget, Kak.) Ia menekan tombol kirim dan memeluk bantalnya sambil tersenyum lebar. "Ini kesempatan emas! Aku harus tampil sempurna di hari itu!" gumamnya penuh antusias. Magika langsung turun dari ranjang dan berjalan ke arah lemari pakaiannya, mulai memikirkan pakaian apa yang akan ia kenakan, meskipun hari pertemuan itu masih beberapa hari lagi. Magika berdiri di depan lemari pakaiannya, membuka pintu dan mulai membongkar isi lemari. Ia mengambil satu per satu pakaian yang ada di sana—sebuah dress, sebuah atasan, celana, dan rok. Setiap potong pakaian yang diambilnya hanya dipandang dengan ekspresi kecewa. "Tidak ada yang cocok... Semua terasa biasa saja," keluhnya, membuang pakaian itu ke tempat tidur. Ia merasa frustasi, mencampakkan baju-baju itu satu per satu. "Aku harus tampil istimewa, ini kesempatan besar!" pikirnya, namun tetap saja tidak ada yang terasa pas. "Apa aku harus beli sesuatu yang baru? Tapi... uangku..." gumamnya dengan cemas. Setelah berpikir sejenak, Magika berdiri, berjalan ke meja kecil di sudut kamar, dan membuka celengannya yang sudah lama ia simpan. Ia tersenyum tipis saat melihat uang koin yang ada di dalam celengan itu. "Ini untuk masa depanku," ujarnya dengan suara lembut, seolah memberi semangat pada dirinya sendiri. Ia mulai menghitung uang yang ada, cukup untuk membeli beberapa pakaian baru yang lebih bagus. "Semoga ini keputusan yang tepat. Semoga Terama berjodoh denganku," harapnya sambil tersenyum. Ia memasukkan uang itu ke dalam dompet, lalu mengunci celengan dan meletakkannya kembali ke meja. Dengan semangat baru, hari itu Magika siap untuk berbelanja demi penampilan terbaiknya saat bertemu Terama. Pada akhir pekan yang cerah, Magika sudah siap di depan rumah, menunggu kedatangan Terama. Pakaian yang dikenakannya hari itu sangat berbeda dari biasanya—sesuatu yang lebih rapi dan sedikit lebih modis. Ia ingin memastikan tampil memukau di hadapan Terama. Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan berwarna hitam meluncur di depan rumah Magika. Mobil itu bukanlah mobil mewah yang pernah dilihat Magika di restoran, tetapi ia tahu betul bahwa Terama adalah orang kaya yang memiliki banyak mobil. Meski bukan mobil mewah, mobil ini tetap terlihat elegan dan terawat dengan baik. Magika tersenyum sambil melambaikan tangan saat Terama berhenti di depan rumah. Terama membuka jendela mobil dan melambaikan tangan, lalu melirik ke arah ibu Magika yang sedang berdiri di pintu rumah. "Permisi, tante. Saya izin dulu, ya," ujar Terama dengan sopan. Rania, ibu Magika, tersenyum ramah. "Tentu, Terama. Hati-hati ya, jangan terlambat pulangnya," balasnya. Rania pernah bertemu Terama saat Magika SMA. Terama mengangguk, senyum di wajahnya terlihat hangat. Ia lalu menoleh ke arah Magika yang sedang berdiri di depan pintu rumah, menunggu untuk masuk ke dalam mobil. Magika masuk ke dalam mobil, merasa sedikit gugup namun juga antusias. "Terima kasih sudah menjemputku, Kak," ucapnya dengan senyuman yang manis. "Senang bisa menjemputmu, Magika. Kita akan ke cafe yang kamu komentari, kan?" tanya Terama sambil menyalakan mesin mobil dan mulai melaju. Magika mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan keramahan Terama. "Iya, itu cafe itu. Aku senang bisa pergi ke sana," jawabnya dengan suara pelan, namun senyum di wajahnya semakin lebar. Mobil melaju perlahan di jalan, membawa mereka menuju petualangan kecil yang penuh dengan harapan dan kemungkinan baru. Dalam perjalanan menuju café, suasana mobil terasa tenang, hanya diisi oleh musik lembut yang mengalun dari radio. Magika duduk di sebelah Terama, menikmati pemandangan kota yang berlalu di luar jendela. Ia merasa sedikit gugup, tetapi senyum di wajahnya tak pernah pudar. Tiba-tiba, ponsel Terama bergetar di sakunya, tanda bahwa ia menerima panggilan masuk. Terama melirik layar ponselnya sejenak dan kemudian menekan tombol untuk menjawab panggilan itu, sementara Magika tak bisa mendengar suara pria yang keluar dari ponsel Terama. "Terama, dengarkan aku," suara di ujung telepon terdengar tegas dan penuh perintah. "Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang Magika. Dan ingat, kamu tidak boleh jatuh cinta padanya. Itu perintah." Terama mengangguk pelan, meski lawan bicara di telepon tidak bisa melihatnya. "Siap," jawabnya singkat, dengan nada yang lebih serius daripada sebelumnya. "Jangan lupa, itu sangat penting," suara Juan terdengar kembali, penuh penekanan. Setelah itu, panggilan pun berakhir, dan Terama langsung menaruh ponselnya kembali. Wajahnya terlihat serius, jauh berbeda dari senyum hangat yang ia tunjukkan pada Magika sebelumnya. Magika yang duduk di sebelah Terama memperhatikan perubahan ekspresi wajah Terama yang mendalam. Ia sedikit penasaran dengan siapa yang baru saja menelepon, tetapi melihat wajah Terama yang begitu serius, ia merasa ragu untuk bertanya. Akhirnya, ia memilih untuk tidak mengusik dan hanya menikmati pemandangan yang ada di luar jendela. Hatinya masih berdebar-debar, berusaha menenangkan diri sambil memikirkan apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya. Setibanya di café, Terama memarkir mobil dengan hati-hati. Magika menatap keluar jendela, terpesona oleh pemandangan yang luar biasa indah. Café itu terletak di puncak, jauh dari hiruk-pikuk kota, dengan udara sejuk yang menyegarkan. Dari sini, mereka bisa melihat hamparan kebun teh hijau yang luas, melambai lembut diterpa angin. "Wow, ini luar biasa," Magika berkata, matanya berbinar-binar saat melihat pemandangan yang menakjubkan. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi keindahan alam yang terbentang di hadapannya. Terama tersenyum tipis, senang melihat reaksi Magika yang begitu antusias. "Iya, memang tempat ini sering jadi pilihan untuk bersantai. Suasana di sini tenang sekali." Mereka melangkah masuk ke dalam café yang bergaya rustic dengan jendela besar yang menghadap langsung ke kebun teh. Suasana di dalam café sangat nyaman, dengan dekorasi yang hangat dan alami. Terama dan Magika duduk di sebuah meja di dekat jendela, sambil menikmati udara segar yang masuk. "Ini menu makanannya, pilih saja," kata Terama, sambil memberikan daftar menu kepada Magika. Ia memesan dua gelas teh hangat dan beberapa makanan ringan. Setelah beberapa saat, makanan dan minuman mereka pun datang. Magika memilih untuk mencoba beberapa hidangan ringan sambil menyeruput teh hangat yang disajikan. Sambil menikmati makanan, mereka duduk dengan tenang, sesekali berbincang ringan, tetapi lebih banyak menikmati keindahan alam di sekitar mereka. Magika menatap hamparan kebun teh yang hijau, dan berkata, "Aku belum pernah ke tempat seindah ini. Pemandangannya benar-benar membuatku merasa damai." Terama menatap Magika sejenak, lalu mengangguk. "Aku juga suka tempat ini. Pemandangan alam memang sering memberi ketenangan, kan?" Magika tersenyum, merasa lebih nyaman di hadapan Terama. Suasana yang tenang dan sejuk membuatnya merasa lebih dekat dengan pria itu. Mereka berdua menikmati momen itu, meresapi setiap detik yang berlalu di tempat yang indah ini. Hingga akhirnya Terama tiba-tiba bertanya pada Magika, “Magika apa kamu punya pacar?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN