Esti melangkahkan kaki ke kamar sebelah. Sebenarnya dia belum merasa lelah secara fisik, tetapi perasaannya yang lelah. Dia merebahkan diri di ranjang. Menutup mata. Menerima semua kebaikan Angga membuat Esti berpikir untuk melanjutkan pekerjaannya di apartemen Angga atau meminta berhenti. Namun, untuk saat ini dia tidak bisa berhenti, karena dia butuh uang untuk melanjutkan hidup.
Dua jam kemudian Esti terbangun dari tidurnya. Dia tidak menyangka bisa tertidur selama itu. "Hah, sudah jam empat sore? Gawat ini!" Esti segera bangkit dari ranjang, bergegas menuju kamar Angga.
Dari pintu sayup-sayup dia mendengar suara anak kecil tertawa dari dalam. Perlahan Esti membuka pintu kamar Angga. Suara itu terdengar lebih jelas, berasal dari kamar mandi. Esti berjalan mendekat.
"Lama banget kamu tidur? Tadi aku sama Arya ngecek kamu ke kamar tapi kamu masih tidur. Ini Arya minta mandi, jadi aku mandiin dulu."
Esti tidak menjawab, hanya bisa terpana melihat apa yang dia lihat dengan matanya. Angga dengan telaten memandikan Arya, hingga bersih.
"Hei, bengong aja. Melamun apa sih? Ambil handuk di lemari, sekalian ambil baju Arya yang baru dibeli tadi. Cepat ya, kasian ini Arya kedinginan."
Esti bergeming. Angga mendekati Esti yang masih diam di dekat pintu kamar mandi di kamar Angga. Angga mendekatkan kepalanya di telinga Esti.
"Woi, kebakaran!" teriak Angga di telinga Esti.
Esti terperanjat, dengan refleks dia mendorong tubuh Angga sampai terjatuh di hadapannya mendengar teriakan Angga.
Melihat Angga terjatuh dan meringis kesakitan. Mata Esti membulat, dia menutup mulutnya yang terbuka lebar. Esti mendekat dan membantu Angga berdiri. Dia membungkuk.
"Maaf, banget, Tuan. Aku enggak sengaja. Lagian Tuan kenapa teriak pas banget di telinga aku." Jantung Esti berdebar kencang, dia takut Angga akan marah besar karena Esti sudah mendorongnya sampai terjatuh. "Sekali lagi minta maaf."
"Esti, Esti, kamu lagi mikirin apa sih?" Angga berjalan menuju kemari mengambil handuk. Dia kembali ke kamar mandi, menutup tubuh Arya dengan handuk, mengajak Arya mendekati Esti. "Pakein Arya baju yang tadi aku beliin. Aku mau mandi dulu, celanaku agak basah ini kena lantai kamar mandi."
Esti mengangguk, mengajak Arya keluar kamar. Di memakaikan baju baru untuk Arya, tidak lupa menyisir rambut anak itu. Membiarkan Arya duduk di sofa ruang tengah. Sementara Esti menuju kamar lain untuk merapikan sprei di ranjang tempat tadi dia tidur siang.
Angga sudah selesai mandi, keluar dari kamar mendekati Arya. "Nah, kan udah cakep." Angga mencari sosok Esti yang tidak berada di dekat Arya. "Esti, Esti, kamu di mana?" teriak Angga sambil mengedarkan pandangan.
"Iya, Tuan." Esti keluar dari kamar, berjalan mendekati Angga. "Ada apa, Tuan?" tanya Esti ketika sudah berada di hadapan Angga.
"Mau pulang sekarang? Aku antar."
"Jangan, Tuan, kemarin kan aku sudah bilang, jangan dianter lagi, atau aku berhenti kerja di sini."
"Oh, jadi kamu maunya enggak usah pulang, nginep di sini aja? Sekalian jadi Nyonya di apartemen ini?" Angga berkata dengan santainya.
Esti mendelik, menatap tajam pada Angga setelah mendengar ucapan Angga. "Aku di sini kerja, Tuan. Enggak pernah sedikit pun aku berharap nginep di apartemen ini apalagi jadi Nyonya!" Esti berdecak kesal. "Kayaknya besok aku enggak bisa dateng ke sini lagi. Aku berhenti."
"Eh, jangan dong. Cari pembantu zaman sekarang susah loh. Ntar siapa yang bersih-bersih di sini?"
"Ya, Tuan makin ke sini, bikin aku ngerasa enggak nyaman terus. Tolong bersikap sewajarnya majikan pada pembantu. Aku enggak bisa terima semua kebaikan dari Tuan Angga, karena di sini aku cuma pembantu. Perlakukan aku seperti pembantu pada umumnya aja, Tuan," ucap Esti dengan napas menderu.
"Ok. Sabar ya sabar. Kamu agaknya lagi marah sama aku, ya? Duduk dulu di sofa. Biar aku ambilkan minum. Tarik napas dalam, lalu hembuskan. Supaya kamu lebih tenang."
"Ya Tuhan, gara-gara dia juga aku kesal begini. Kenapa sekalinya kerja dapet majikan kayak begini," batin Esti. Dia mengusap wajah dengan kasar.
Angga kembali dari dapur membawakan segelas air, memberikannya pada Esti. "Minum dulu."
Esti minum dengan perlahan hingga air di gelas itu tidak tersisa. Dia hendak mengembalikan gelas ke dapur. Namun, Angga menahannya. Angga mengambil gelas dari genggaman tangan Esti, dan meletakkannya di dapur.
"Aku antar sekarang?"
"Aku bisa pulang sendiri," tolak Esti.
"Aku mau ke rumah Mama, jadi sekalian aja, kan searah. Kamu bisa menghemat ongkos."
"Aku masih ada ongkos pulang kok, Tuan."
"Enggak apa-apa. Simpan buat besok. Anggap aja Tuanmu ini sedang berbaik hati ingin memastikan pembantunya pulang ke rumah dengan selamat. Minggu depan, aku enggak bisa antar kamu pulang juga kan, karena udah sibuk di kantor."
Esti menghela napas. "Sampai kapan Tuan akan memaksa mau nganter aku pulang?"
"Sampai kamu menyerah. Mau jam berapa pun aku tunggu. Tengah malam pun aku antar kalau kamu baru setuju diantar tengah malam."
Esti memutar bola mata. "Kenapa sih kamu enggak menyerah aja, Ngga? Tolong jangan begini, kamu bikin aku semakin bingung, aku ini cuma pembantu. Bahkan status kita aja enggak sama," protes Esti pada Angga.
"Kamu dihukum! Berani manggil aku Angga. Hukumannya adalah kamu harus mau nurut sama perintah majikan." Nada bicara Angga meninggi.
Perasaan Esti semakin tidak enak, dia lihat Angga juga merasa kesal, tetapi dia hanya bisa pasrah dengan apa pun keputusan Angga. Dia terima jika saat itu juga dia dipecat.
Kali ini Angga yang dari tadi berdiri di hadapan Esti menatap tajam ke arahnya. "Ikut aku sekarang," Angga memberikan perintah, Esti menurut. Dia bersiap untuk pulang, mengajak Arya yang dari tadi berkeliling apartemen sendirian, saat Esti dan Angga adu mulut.
Angga menuju parkiran, Esti menggendong Arya, mengikuti pria itu tanpa bicara. Kali ini, dia tidak ingin menambah kekesalan majikannya lagi, dia khawatir pria itu akan semakin aneh jika rasa kesalnya bertambah. Tiba di parkiran, Angga membuka pintu mobil di bagian penumpang depan. Esti masuk. Majikannya menautkan alis melihat Esti masuk mobil.
"Turun! Kamu duduk di belakang. Kursi depan untuk Arya duduk. Enak aja kamu mau merebut tempat duduk Arya!" Angga menyuruh Esti pindah.
Esti turun dari mobil meninggalkan Arya di kursi penumpang depan. Dia masuk mobil, duduk di kursi tengah. Selama perjalanan Esti terus membuang muka ke arah kaca samping. Dia tidak tahu Angga akan mengajaknya ke mana. Esti baru sadar Angga mengantar pulang setelah dia mengenali lingkungan sekitar rumah Mak Entin.
"Sudah sampai. Besok datang seperti biasa. Kamu masih pembantu di apartemenku sampai aku sendiri yang pecat kamu. Tolong diingat baik-baik." Angga menghentikan mobil di dekat rumah Mak Entin.
"Iya, Tuan. Aku paham."
"Jangan coba-coba untuk berhenti kerja."
"Kenapa enggak boleh?"
"Karena kamu cuma boleh kerja di apartemenku. Kalau kamu berhenti dan cari majikan lain, aku akan bikin pengumuman kalau kamu pembantu enggak bener, kerjaan kamu berantakan,enggak bersih. Aku sebarkan ke mana-mana."
"Tuan kok jahat banget sih ama orang kecil kayak aku?"
"Siapa suruh kamu berhenti, saat kamu dapet majikan yang baik hati kayak aku, dan punya kerjaan enak kayak sekarang. Harusnya kamu bersyukur tahu enggak. Di mana lagi nyari majikan baik hati dan ganteng." Angga membanggakan diri.
"Aku akui memang Tuan tuh baik banget. Saking baiknya, aku sampai enggak enak nerima semua kebaikan Tuan. Tapi kata-kata yang terakhir kayaknya gimana gitu."
"Kenapa? Kamu mau mengakui kalau aku emang ganteng?" Angga menoleh pada Esti, menggerakkan kedua alisnya naik turun.
Esti menggidikkan bahu. Segera turun dari mobil. "Terima kasih, Tuan," ucap Esti membuka pintu mobil bagian depan mengajak Arya turun dan pulang ke rumah Mak Entin.
Senyuman Angga mengembang karena berhasil mengantar Esti pulang setelah perempuan itu beberapa kali menolak.
"Sampai kapan kamu akan menyimpan semua masalahmu, Esti?" gumam Angga memandangi kepergian Esti dengan tatapan sendu.