“Sorry kalau … mendadak.” Rafa menarik bar stool di sampingnya untuk Qai dan kembali menatap lurus pada hamparan jalan raya yang belum juga lengang. Ketika Rafa mengangkat satu tangan untuk memanggil pelayan resto, Qai segera menghalaunya. “Aku sudah pesan, Mas.” Qai duduk di tempat yang sudah disediakan Rafa, lalu menatap ke arah yang sama dari balkon resto lantai tiga. “Masalah Rumi, aku sebe—” “Aku minta kamu datang, bukan karena masalah Rumi.” Rafa tersenyum miring dengan sedikit helaan. “Yaaa, nggak tahulah, Qai. Sebenarnya aku sudah mau pergi dari Glory, tapi, ada beban yang ternyata nggak bisa aku tinggalkan. Berat rasanya melepas Glory di saat-saat seperti ini.” “Apa … ada masalah?” Setelah mendengar ucapan Rafa, sepertinya pria meneleponnya untuk mencari teman bicara. Tidak mun

