Neeta berdiri dengan penuh keraguan di dalam bilik sanitasi sebuah toilet wanita yang begitu bersih. Sepuluh menit yang lalu dia tiba di tempat ini dan sekarang jantungnya berdegup sangat kencang karena masih ragu dengan keputusannya sendiri. Kedua tangannya bergetar dengan tatapan yang mengunci pada pintu bilik. Dalam kepalanya terus berputar sebuah kalimat, apa keputusan yang aku ambil sudah benar?
Jujur saja, Neeta juga tidak tahu kenapa dia berakhir di tempat ini. Entah karena nalurinya yang begitu membutuhkan uang hingga membuatnya mendatangi tempat ini untuk bekerja. Atau karena dia sudah merasa putus asa. Neeta tidak terlalu yakin alasan mana yang tepat untuk ia ambil untuk sebuah pembenaran.
Sementara di luar sana ada Arinda yang berdiri menunggu Neeta yang tak kunjung keluar dari dalam bilik sanitasi. Ada apa dengan kawannya itu? Lama dia menunggu namun Neeta tak kunjung keluar. Di dalam sana juga sangat hening tak ada suara.
“Neeta?” panggil Arinda sembari melayangkan ketukan pada pintu bilik. “Kamu baik-baik aja, ‘kan?” ujarnya.
“Iya, Rin. Aku baik-baik aja. Sebentar lagi aku akan keluar,” sahut Neeta dari dalam bilik.
Sekarang Neeta sudah mengganti pakaiannya dengan seragam yang Arinda berikan. Masih dengan tangan yang bergetar, Neeta memutuskan untuk membuka pintu bilik dan bergabung dengan Arinda di luar sana.
Arinda langsung tersenyum begitu melihat Neeta keluar dari bilik sanitasi. Neeta sadari ada yang berbeda dengan Arinda malam ini. Dengan pakaian super seksi dan riasan yang cukup tebal di wajahnya, Neeta merasa jika wanita yang berdiri di depannya saat ini bukanlah Arinda yang dia kenal selama ini. Sejenak Neeta jadi membayangkan, sudah pasti dia juga akan berpenampilan seperti itu jika menerima tawaran untuk menjadi penari klub.
“Ayo, aku bawa kamu ketemu atasan aku.” Arinda langsung menarik tangan Neeta untuk membawanya bertemu dengan sang atasan.
Langkah demi langkah Neeta berjalan mengekor di belakang Arinda. Dengan kepala yang menunduk ke bawah dan menyorot lantai keramik yang tak terlalu jelas dia lihat. Benar-benar seperti dunia yang berbeda. Gemerlap, berisik, dan berbagai aroma aneh sekaligus asing berusaha menggelitik hidungnya.
“Loh, Ta? Kenapa berhenti? Ayo jalan, kita udah ditungguin.” Arinda memutar tubuhnya menghadap Neeta yang berdiri tepat di belakangnya. Wanita bersurai cokelat itu tiba-tiba menahan langkah, Arinda bingung sendiri jadinya.
Sebenarnya Neeta merasa sangat bersalah kepada dirinya sendiri dan juga Bu Minah. Neeta juga merasa bersalah pada mendiang orang tuanya karena pada akhirnya Neeta menginjakkan kakinya di tempat terlarang yang orang tuanya tetapkan. Jika saja orang tuanya masih hidup di dunia ini, mereka pasti akan marah besar dengan apa yang Neeta lakukan sekarang. Begitu pun dengan Bu Minah jika mengetahui yang sebenarnya, wanita tua itu juga pasti tak akan setuju Neeta bekerja di tempat seperti ini meski hanya sebagai seorang pelayan.
Setiap orang tua mempunyai pilihannya sendiri dalam mendidik dan juga menjaga anak-anak mereka. Dan orang tua Neeta adalah tipikal yang akan melarang keras anak mereka menginjakkan kaki di tempat hiburan semacam ini. Tapi, sekarang Neeta benar-benar tak ada pilihan selain menerima tawaran Arinda untuk bekerja sebagai pelayan di sebuah klub malam. Neeta benar-benar memerlukan banyak uang untuk melunasi semua hutang Lia dan merebut kembali rumah orang tuanya yang disita.
“Ta, kamu nangis? Kenapa?” Arinda sangat terkejut saat melihat air mata terjatuh merembes dari kedua pelupuk mata Neeta.
Neeta menggeleng pelan. “Maaf, Rin. Aku nggak bisa tahan. Sejak tadi aku terus merasa bersalah sama orang tuaku. Selama ini mereka selalu melarangku untuk datang ke tempat kayak gini. Tapi, sekarang—”
“Udah, Ta, berhenti nangis sekarang. Aku ngerti apa yang kamu maksud. Tapi, kamu di sini untuk kerja ‘kan? Bukan untuk cari hiburan. Menurutku orang tua kamu pasti maklum dengan keadaan kamu sekarang. Jadi, kamu nggak usah merasa bersalah. Okay?”
Neeta mengangkat kepalanya ke atas untuk menatap Arinda. “Apa benar kayak gitu? Mereka bakalan memaklumi seperti yang kamu bilang?”
“Aku nggak terlalu yakin juga sih. Tapi, ayolah, mereka sudah meninggal dan sekarang kamu nggak punya siapa-siapa untuk bantu kamu keluar dari semua masalah selain diri kamu sendiri.”
Neeta menatap Arinda dengan lekat. Apa yang Arinda katakan barusan memang ada benarnya. Tidak ada siapa pun yang bisa membantu Neeta keluar dari semua masalah selain dirinya sendiri. Setelah mendengar beberapa kalimat itu, Neeta berusaha untuk menepis semua rasa bersalahnya karena bekerja di tempat seperti ini.
“Lagi pula kamu cuman bekerja sebagai pelayan, Ta. Aku pikir ini nggak ada salahnya sama sekali.” Arinda kembali mengutarakan pemikirannya.
Neeta tak lagi menjawab. Wanita berusia 28 tahun itu hanya menarik tangannya dari genggaman Arinda lalu mengusap ekor matanya yang basah karena air mata.
“Ayo, aku bawa kamu ketemu atasan aku. Jangan lupa perkenalkan diri kamu dengan sopan nanti ya,” pesan Arinda sebelum keduanya kembali melanjutkan langkah yang sempat tertahan.
***
Sudah lebih dari tiga jam lamanya Neeta berada di tempat gemerlap dan berisik ini. Tak seperti biasanya, Neeta sama sekali tak merasakan kantuk menyerang kelopak matanya pada jam seperti ini. Mungkin karena suara yang begitu berisik memekakkan telinganya dan ramainya suasana di dalam sini membuat Neeta tidak menyadari jika di luar sana malam sudah semakin larut.
Seperti yang Arinda katakan, tidak ada hal-hal aneh yang Neeta lakukan selain mengantarkan makanan atau minuman ke meja pelanggan. Tentu saja itu adalah hal yang mudah dan tidak sulit untuk Neeta lakukan. Neeta sama sekali tidak keberatan karena memang pekerjaannya hanya sebatas mengantarkan pesanan ke meja pelanggan.
“Ganeeta. Antarkan ini ke room VIP lantai atas.”
Neeta mengangguk pelan sembari kedua tangannya terulur menerima nampan berisi beberapa gelas dan juga sebotol minuman. Dengan perlahan Neeta melangkahkan kakinya untuk memastikan keseimbangannya sendiri. Tempat ini sangat minim cahaya, Neeta takut akan menyandung kakinya sendiri dan menjatuhkan gelas serta botol minuman yang ia yakini harganya pasti lebih mahal dari gajinya sebagai pelayan di tempat ini.
Tidak lucu jika di hari pertamanya bekerja Neeta sudah membuat kekacauan. Bukannya mendapatkan uang sebagai gajinya bekerja. Neeta harus menambah beban dan merogoh koceknya sendiri jika menjatuhkan semua gelas dan botol minuman yang ia bawa sekarang.
Bayangan pemikiran ini terlalu mengerikan. Neeta pastikan dirinya tidak akan seceroboh itu dan membuatnya semakin terjerat dalam rantai masalah yang akan membuatnya kesulitan.
Langkah demi langkah berhasil Neeta lalui dengan benar tanpa hambatan. Hingga ia berdiri di depan pintu room VIP yang menjadi tujuan, Neeta mendadak merasakan hatinya terasa tak nyaman. Dalam benaknya berkata jika ia masuk ke dalam sana, sesuatu yang mengerikan akan menerkamnya.
“Ah, ini pasti cuman bayanganku saja. Sejak tadi aku selalu memikirkan hal-hal aneh.” Neeta menggelengkan kepalanya sendiri untuk mengusir pemikiran itu dari kepalanya.
Setelah mantap menyingkirkan pemikiran itu dari kepalanya, Neeta pun membuka pintu room lalu masuk ke dalam sana. Hal pertama yang Neeta lihat adalah beberapa pria yang duduk bersama masing-masing wanita berpakaian seksi di sampingnya. Neeta berusaha santai sembari terus melangkahkan kedua kakinya masuk ke dalam.
“Ayo Neeta, kamu hanya tinggal menyuguhkan pesanan mereka lalu keluar dari ruangan ini secepatnya.” Neeta bergumam dalam hatinya. “Anggap kamu nggak melihat apa pun di dalam sini dan cepat keluar.”
Meskipun dirinya juga seorang wanita, Neeta benar-benar merasa tidak nyaman dan juga risih melihat para wanita berpakaian seksi yang menampilkan lekuk tubuh mereka. Terlebih mereka semua tengah bergelayut manja di tubuh pria yang bukan siapa-siapanya. Ada apa dengan dunia sekarang? Ah tidak, bukankah hal seperti ini sudah terjadi sejak lama? Neeta saja yang baru mengetahuinya.
“Hey, gue baru ngeliat lo malam ini. Apa lo pelayan baru?”
Neeta mendongakkan kepalanya saat salah satu pria yang duduk di dalam room itu menanyai dirinya. “Benar, Pak. Saya baru bekerja malam ini,” sahutnya sedikit ragu. Nampak jelas keraguan itu terselip di sana jika mendengar dari bagaimana suaranya bergetar sekarang.
Para pria lainnya yang juga duduk di sana pun sontak tertawa setelah mendengar jawaban Neeta. “Gila, Bro. Lo dipanggil ‘Pak’. Wajar sih, lo emang kelihatan tua sekarang,” kata pria yang duduk di tengah diiringi dengan suara gelak tawa keluar dari mulutnya. Dan disusul oleh suara tawa dari teman-temannya yang lain.
Pria yang menanyai Neeta tadi lantas berdiri dari duduknya. “Heh, emang gue setua itu sampai lo panggil ‘Pak’?” tanyanya penuh rasa malu. Karena Neeta, dia menjadi bahan tertawaan oleh teman-temannya.
Neeta kembali menundukkan kepalanya dan refleks memundurkan langkah ke belakang saat pria itu berjalan mendekatinya. “Maaf, Mas. Saya nggak bermaksud begitu,” sahut Neeta menyesal. Tidak ada wejangan apa pun yang Neeta dapatkan soal ini. Dan juga, baru pria ini yang mengajaknya bicara setelah beberapa jam bekerja di sini. Neeta benar-benar bingung harus memanggil para pelanggan ini dengan sebutan apa.
“Kenapa lo mundur? Takut lo sama gue? Di mata lo apa gue setua itu sampai lo mundur kayak gini? Cih, sialan!” Pria itu mengumpat kasar. Dia bahkan berdecih meski tak benar-benar mengeluarkan ludahnya itu dari mulutnya.
Neeta masih terus menundukkan kepalanya ke bawah. Dia sama sekali tak berani bertatapan dengan para pria yang mungkin saja sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Tidak ada yang menjamin pria ini tak akan hilang kendali jika Neeta melawannya. Terlebih para pria ini adalah orang kaya, Neeta bisa terkena masalah besar jika sampai membuatnya marah.
Karena Neeta tak kunjung mengangkat kepalanya, pria itu dengan lancang menangkup dagu Neeta dengan tangannya lalu membuat Neeta mendongak menatap wajahnya.
“Wah, ternyata cantik juga wajah lo.” Pria itu langsung tersenyum lebar saat mendapati wajah Neeta yang begitu cantik.
“Le-lepaskan saya. Tolong,” mohon Neeta sembari terus menggenggam kedua tangannya sendiri.
Neeta benar-benar merasa ketakutan sekarang. Jarak wajahnya dengan wajah pria itu benar-benar sangat tipis. Neeta tak bisa memundurkan wajahnya ke belakang atau menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
Tidak ada yang menolong Neeta dari pria ini. Mereka yang duduk di sana hanya tertawa seolah ini adalah pemandangan yang lucu. Dan para wanita-wanita itu, mereka sama sekali tak merasa prihatin dengan situasi Neeta yang saat ini tengah ketakutan.
“Temani gue minum dan gue akan bayar lo sepuluh kali lipat dari gaji lo sebagai pelayan.” Pria itu berbisik di telinga Neeta. Karena wajah Neeta yang sangat cantik, pria itu berusaha membuat Neeta untuk menemaninya minum di sini. “Lo tenang aja, gue akan urus masalah itu sama atasan lo nanti. Jadi, cepat duduk sana dan temani gue minum!” titahnya.
Sepuluh kali lipat dari gajinya sebagai pelayan? Ini sangat gila!
“Maaf, saya nggak bisa. Sekarang bisa kamu lepaskan saya karena saya harus segera kembali.” Neeta menjawab dengan sangat yakin. Menolak tawaran pria itu untuk menemaninya minum adalah pilihan yang tepat meski taruhannya adalah uang sebanyak sepuluh kali lipat dari gajinya.
Lagi-lagi pria itu dibuat berdecih dan tertawa sangat lantang dengan jawaban Neeta. “Lo jual mahal? Lo pikir bisa nolak gue, huh? Kalau gue ingin lo, artinya lo harus mau layani gue. Sial!” umpat pria itu lagi. Dan Neeta dibuat meringis karena cengkeraman pria itu terlalu kuat di dagunya.
“Haish! Dasar sialan! Lo udah ngerusak mood gue. Yang tadinya gue mau baik-baik, sekarang udah enggak lagi.”
Usai mengucapkan kalimat itu, pria tadi pun berusaha untuk mencium bibir Neeta. Tentu saja Neeta berontak, dia tidak akan mau dicium oleh pria b******n ini. Namun semakin Neeta berontak, pria itu malah semakin marah hingga naik pitam dari sebelumnya.
Jika tadinya dia hanya ingin sekedar mencium Neeta, sekarang salah satu tangannya melayang dan mendarat tepat di pipi Neeta. Tamparan itu sangat keras hingga bibir Neeta mengeluarkan darah segar. Tak cukup sampai di situ, pria itu bahkan menarik rambut Neeta dan melayangkan tamparannya lagi di pipi Neeta yang lain.
Neeta tak kuasa. Dia juga tak punya daya upaya. Beberapa tamparan dan pukulan keras mendarat di wajah serta tubuhnya. Neeta hanya bisa pasrah dan berusaha untuk kabur dari ruangan itu semampu yang ia bisa.
Bahkan para wanita berpakaian seksi yang tadinya hanya diam, kini berteriak karena melihat Neeta yang terus dipukuli oleh pria yang telah kehilangan kendali ini. Tetapi, tidak adakah orang yang akan menolongnya dari kegilaan pria ini? Apa mereka hanya menonton dan juga berteriak seperti ini saja? Dan sampai kapan pria ini akan berhenti memukuli Neeta?
“To-long, tolong berhenti memukuli saya,” lirih Neeta di sisa tenaga yang dia punya. Pandangannya mulai tak jelas dan telinganya sedikit berdenging sekarang.
Mendengar Neeta memohon seperti ini, pria itu malah tertawa dengan lantang seperti sebelumnya. “Harusnya lo nurut pas gue minta baik-baik,” sahutnya.
Pria itu bersiap ingin melayangkan kembali pukulannya. Namun di saat tangannya sudah mengudara ke atas, pria itu tertahan saat suara seseorang meneriakinya.
“STOP! Berhenti memukuli wanita itu!”