“Hey, hey. Ini gue, Tara.”
Neeta langsung menghentikan teriakannya saat mendengar orang yang membekap mulutnya adalah Tara. Dengan cepat kedua tangannya langsung menepis tangan Tara dari mulutnya. Kemudian menjauhkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang dari pria itu.
“Kamu apa-apaan sih? Kenapa membekap mulutku? Jadi, orang yang dari tadi mengikutiku itu kamu?” cecar Neeta dengan tiga pertanyaan sekaligus.
“Lagian lo juga, kenapa teriak-teriak segala? Ya gue jadi refleks bekap mulut lo.” Tara melipat kedua tangannya di d**a. Menatap Neeta yang saat ini tengah mengunci tatapan tajam padanya. “Biar gue antar lo pulang. Sekarang udah pukul empat pagi, mau pulang naik apa lo? Nggak ada angkot atau taksi jam segini.”
Neeta menghela napas sedikit berat. Kembali kedua matanya memindai area sekitar dengan begitu seksama. Benar yang Tara katakan, tak ada satu pun kendaraan yang berlalu lalang. Bahkan sebuah pondok yang bertuliskan ‘pangkalan ojek’ yang berada di dekat mereka pun kosong tak ada orang.
“Tapi, bukannya kamu sedikit mabuk? Aku takut kamu menabrak sesuatu saat menyetir nanti.” Neeta baru ingat bagian penting ini.
Tara hampir dibuat tertawa mendengar ucapan Neeta padanya barusan. “Heh, harusnya lo bilang kayak gitu saat di klub tadi. Kalau gue sedikit mabuk, nggak mungkin gue nyetir bawa lo ke rumah sakit.” Tara menggelengkan kepalanya.
“Ah, benar juga yang kamu katakan. Aku baru menyadari tentang ini sekarang. Ya sudah, kalau kamu merasa oke.”
Neeta memutar langkahnya kembali ke kawasan rumah sakit bersisian dengan Tara yang berjalan di sampingnya. Sama seperti tadi, Tara harus memperlambat langkahnya agar sejajar dengan Neeta. Masing-masing dari mereka hanya fokus melangkah dan tak membuka suara bahkan untuk sekadar berbasa-basi.
Hingga langkah pun harus terhenti sebab mereka sudah berada tepat di depan mobil Tara. Neeta dipersilakan masuk dan duduk di passenger seat depan di samping Tara. Neeta tidak tahu pria seperti apa orang yang akan mengantarkannya pulang ini. Satu hal yang Neeta yakini di sini, jika Tara adalah pria yang baik meski penampilannya terlihat seperti dia adalah seorang player.
Perlahan kendaraan roda empat itu mulai bergerak keluar dari kawasan rumah sakit. Karena jalanan yang begitu sepi, Tara dengan leluasa mengemudikan mobilnya secepat yang dia inginkan. Tak perlu waktu lama bagi Tara mengemudi hingga ke tempat tujuan. Sekarang mereka sudah tiba di depan kediaman Bu Minah sesuai arahan dari Neeta sepanjang jalan tadi.
Setelah berhasil melepaskan safety belt dari tubuhnya dan mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Tara. Neeta bergegas keluar dari kendaraan roda empat itu. Dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya, Neeta melangkah ragu dan berhenti tepat di depan pintu utama.
Cukup lama Neeta hanya diam membeku di pijakannya sementara kepalanya berputar keras memikirkan bagaimana dia akan menjawab Bu Minah nantinya. Sebelumnya Neeta tidak berkata jujur kepada Bu Minah ke mana sebenarnya dia pergi tepat pukul sepuluh malam tadi. Neeta berbohong kepada wanita tua itu dengan mengatakan dia akan menginap di tempat Arinda karena kawannya itu sedang sakit.
Jika kondisinya penuh lebam dengan bibir yang terluka seperti ini, Neeta benar-benar tidak bisa berbohong lagi kepada Bu Minah. Sudah pasti wanita tua itu akan menanyai hal apa yang menyebabkan dirinya hampir babak belur seperti ini. Ah, Neeta merasa kesal sekali.
Setelah cukup lama hanya berdiri dan bergulat dengan pikirannya sendiri, Neeta memutuskan untuk melayangkan ketukannya pada pintu utama. Tiga ketukan pertama tidak berhasil sebab pintu masih tak kunjung terbuka. Neeta pun memutuskan untuk melayangkan kembali ketukannya pada pintu dan tak lama setelah itu pintu utama terbuka.
“Gian?” sapa Neeta sedikit terkejut sebab pria itu yang membukakan pintu untuknya.
“Ada apa dengan wajah kamu?” Giandra refleks mengulurkan tangannya hendak menyentuh wajah Neeta yang dipenuhi lebam. Namun dengan cepat pula Neeta memundurkan langkah ke belakang untuk menghindari tangan Giandra yang ingin menyentuh wajahnya.
“Ah, bukan apa-apa. Aku hanya mengalami sedikit insiden tadi.” Neeta membuang tatapan ke lain arah. Menghindari tatapan Giandra yang begitu khawatir melihat kondisinya.
“Insiden?” Giandra membeo. Kedua keningnya saling bertaut tak mengerti. “Insiden apa? Dan yang terpenting, kamu habis dari mana jam segini?” cecarnya.
Oh ayolah, ada apa dengan Giandra? Kenapa dia bersikap seolah Neeta adalah istrinya? Ke mana Neeta dan kenapa dirinya baru pulang jam segini, bukankah sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Giandra? Neeta merasa tidak nyaman.
“Bisa kamu nggak menanyakan apa pun tentang hal ini? Aku lelah, Gian. Dan tolong kecilkan suara kamu itu, aku nggak mau Bu Minah terbangun karena kamu begitu berisik.”
Neeta langsung menerobos masuk ke dalam. Sementara Giandra masih tertahan di ambang pintu sembari mengamati Neeta yang berjalan masuk dengan pakaian yang menurutnya tak terlalu asing.
“Apa dia bekerja di klub malam?” Giandra bergumam pelan. Dia sangat yakin jika pakaian yang Neeta kenakan sekarang adalah pakaian untuk pekerja di klub malam.
Giandra bukannya pria polos yang tidak tahu tentang apa pun. Klub malam? Dia cukup sering mendatangi tempat itu bersama dengan teman-temannya ataupun sekretarisnya. Jadi hanya dengan melihat sekilas saja pakaian yang Neeta kenakan sekarang, Giandra sudah tahu meski Neeta tak memberi tahu.
Giandra memutuskan membuka langkah setelah berhasil menutup dan mengunci pintu utama. Menyusul Neeta yang berjalan masuk ke dalam sebab dia masih merasa khawatir dengan wanita itu. Meskipun hubungan mereka tak sedekat itu hingga Giandra harus merasa khawatir, akan tetapi Neeta adalah penyelamat hidupnya. Bukankah wajar bagi Giandra jika merasa seperti demikian?
Sama seperti Neeta yang mengkhawatirkan kondisinya hingga memutuskan untuk menyelamatkannya hari itu. Giandra pun merasakan hal yang serupa saat melihat kondisi Neeta beberapa saat tadi. Giandra merasa prihatin dan ingin melakukan sesuatu untuk Neeta jika ia bisa. Namun apa daya? Giandra sedang tak berada dalam kondisi dan situasi yang bisa menyelamatkan atau membantu siapa pun.
“Ganeeta. Hey. Apa yang kamu lakukan? Kamu mau ke mana?” Giandra tertahan di pijakannya saat Neeta kembali melaluinya dengan membawa selimut di tangannya.
“Aku mau tidur,” sahut Neeta yang terus melangkahkan kedua kakinya menuju ruang tamu.
“Tidur di mana? Di ruang tamu?” Kali ini Giandra ikut melangkah ke ruang tamu. Mengekori Neeta yang sudah lebih dulu tiba di sana.
“Aku takut membangunkan Bu Minah dan membuatnya khawatir di jam segini karena melihat kondisiku,” sahut Neeta seraya menatap Giandra yang berdiri tak jauh dari hadapannya. “Sekarang kamu kembali saja ke kamar. Istirahat dan jangan pikirkan soal aku.”
Neeta merentangkan selimut yang dibawanya tadi. Kemudian menutupi bagian bawah tubuhnya lalu bersiap mengambil posisi tidur. Kedua matanya terasa sangat mengantuk sekarang. Neeta perlu tidur.
“Mana bisa seperti itu. Cepat bangun. Biar aku yang tidur di sini dan kamu tidur di kamar.” Giandra menepuk pelan lengan Neeta yang sudah memejamkan mata.
Mana bisa Giandra membiarkan Neeta tidur di ruang tamu sementara dirinya tidur di dalam kamar. Di sini dingin dan juga tidak nyaman. Dan mungkin saja ada komplotan nyamuk yang sudah bersiap ingin menggigit sekujur tubuhnya. Lagi pula Giandra sudah tidur dengan nyenyak setengah malam ini. Tidak ada salahnya membiarkan Neeta menempati kamarnya dan dia tidur di sofa sebagai gantinya.
***
“Ya ampun, Non Neeta! Ada apa dengan wajah Non?” Bu Minah memekik histeris saat melihat wajah Neeta dipenuhi luka lebam. Wanita tua itu berniat membangunkan Neeta yang masih terlelap, tetapi dia malah dikejutkan oleh pemandangan yang tak biasa ini.
Neeta yang masih terlelap sontak membuka mata dan refleks bangun dari posisi tidurnya. Neeta pun tak kalah terkejut sebab Bu Minah tiba-tiba memekik di sampingnya.
“Ada apa, Bu? Kenapa Bu Minah berteriak?” tanya Neeta masih di bawah rasa kantuk. Kedua tangannya bergerak mengucek matanya yang masih terasa lengket ingin terus dipejamkan.
Bu Minah memposisikan diri di bibir ranjang sementara tangannya terulur untuk menangkup wajah Neeta. Pandangan matanya begitu sedih. Hatinya begitu teriris melihat kondisi Neeta sekarang ini.
“Kenapa wajah Non Neeta penuh luka lebam? Apa yang terjadi?” Wanita tua itu mengulangi pertanyaan yang sebelumnya sudah terlontar namun tak mendapat jawaban dari Neeta.
Neeta bergumam pelan. “Hmm, sebenarnya Neeta dipukuli seseorang saat sedang bekerja, Bu.” Wanita cantik itu akhirnya menjawab. Mencoba menjelaskan dengan detail tentang persoalan yang telah menimpa dirinya tadi malam. “Tapi, Bu Minah nggak perlu khawatir. Neeta sudah diobati dan sekarang baik-baik aja,” timpalnya meyakinkan.
Sembari memegangi dadanya yang terasa sakit setelah mendengar penjelasan dari Neeta. Bu Minah tak sengaja menitikkan air mata sebab tak kuasa menahan rasa sedihnya. Wanita tua itu sangat syok.
“Ya Tuhan. Pria mana yang begitu tega memukuli seorang wanita lembut seperti Non Neeta,” lirih Bu Minah begitu pedih.
Melihat Bu Minah sampai menitikkan air matanya seperti ini, membuat Neeta merasa sangat bersalah dan menyesali perbuatannya. “Maafkan Neeta, Bu. Maafkan Neeta karena membuat Bu Minah sedih,” ucapnya.
Bu Minah menggeleng pelan. “Non Neeta tidak perlu meminta maaf. Non Neeta tidak bersalah di sini. Sini ke mari,” kata wanita tua itu seraya merentangkan kedua tangannya. Menghadang Neeta menghamburkan diri ke dalam pelukannya.
Neeta tertegun sejenak hingga kemudian menghamburkan diri memeluk Bu Minah dengan begitu erat. Dalam dekapan wanita tua itu, Neeta mendadak menjadi emosional. Tiba-tiba saja kedua ekor matanya menitikkan bulir bening yang selalu keluar di saat ia menjadi sangat emosional seperti sekarang. Neeta menangis tersedu entah apa penyebabnya.
“Non Neeta itu masih muda. Menurut Bu Minah, Non Neeta pasti akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada sekarang. Jadi, Non Neeta tidak perlu bekerja di tempat itu lagi. Bu Minah mohon ....”
Neeta hanya bisa mengangguk pelan. Wanita itu tak kuasa menghentikan tangisnya sehingga tak bisa untuk sekadar menjawab ucapan yang baru saja Bu Minah katakan.
“Sekarang, Non Neeta mandi dulu. Kemudian sarapan,” ucap Bu Minah seraya mengurai pelukan mereka.
Sementara kedua orang itu saling berbagi tangis, di luar kamar Giandra merasa sangat geram saat tak sengaja mencuri dengar obrolan keduanya. Betapa hatinya sangat marah dan begitu membara setelah mendengar fakta jika Neeta menjadi korban kegilaan seorang pria pengunjung klub.
“Kurang ajar! Bagaimana bisa seorang pria memukuli seorang wanita seperti itu!” gumam Giandra tak sabar.
Sesaat Giandra merasa begitu emosi, pria itu tiba-tiba teralihkan saat suara ketukan pintu di depan sana terdengar. Entah siapa yang bertamu sepagi ini. Giandra bergegas membuka langkah untuk membukakan pintu.
Klik. Pintu terbuka dan seorang pria muda berdiri di baliknya. Pria muda itu nampak terkejut hingga membulatkan kedua matanya saat melihat Giandra berdiri di hadapannya.
“Cari siapa?” tanya Giandra membuka suara lebih dulu. Menanyai pria muda yang hampir menganga sembari menatap dirinya itu.
“Uhm, mbaknya ada?”
“Maksud kamu Ganeeta?” sahut Giandra dengan kedua kening yang saling bertaut sebab kalimat pria muda itu tak lugas.
Pria muda itu mengangguk pelan. Kedua matanya masih tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya karena melihat Giandra berdiri di depan matanya sekarang.
“Kalau begitu tunggu sebentar. Akan aku panggilkan.”
Usai mengucapkan hal itu, Giandra bergegas membuka langkah masuk ke dalam untuk memanggilkan Neeta karena seorang pria muda mencarinya. Dan kebetulan sekali mereka bertemu di depan pintu kamarnya. Jadi, Giandra tidak perlu repot-repot mencari Neeta.
“Ganeeta, di luar ada seorang pria muda yang mencari kamu.”
“Oh ya? Siapa?” tanya Neeta dan dijawab dengan sebuah gelengan kepala oleh Giandra. Dia lupa menanyakan siapa pria muda itu tadi.
Neeta sedikit bingung sekaligus takut saat mendengar ada seorang pria yang mencarinya sepagi ini. “Apa orang itu adalah rentenir?” gumamnya pelan sembari membuka langkah menuju pintu utama.
Nyatanya setelah dirinya menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas semua hutang Lia pada rentenir, tak ayal membuat Neeta selalu menjadi berpikiran buruk. Dia juga merasa tak tenang karena dihantui rasa takut para rentenir itu akan mendatanginya dan berbuat kasar kepadanya karena tak bisa membayar iuran. Neeta belum mendapat pekerjaan dan juga tak punya tabungan. Keuangannya semakin hari kian menipis.
“Tara?” Neeta sedikit terkejut sekaligus merasa lega karena orang yang mencarinya ternyata adalah Tara dan bukan rentenir. Tapi, ada apa pria itu mendatanginya sepagi ini?
Tara tersenyum lebar saat melihat Neeta berdiri di hadapannya. Salah satu tangannya terulur menyerahkan sebuah paper bag berisi bubur ayam. “Gue bawakan bubur ayam buat lo sarapan. Di dalam juga ada obat dari rumah sakit, gue lupa kasih ke lo tadi.”
Neeta sedikit mematung dan tak langsung menerima paper bag yang Tara berikan. Kedua matanya mengerjap beberapa kali hingga mulutnya kemudian terbuka untuk bersuara.
“Kenapa kamu repot-repot membawakanku sarapan?” sahutnya lalu meraih paper bag itu dari tangan Tara.
“Sebenarnya gue cuman mau kasih obat yang ketinggalan di mobil. Tapi, kebetulan saat gue lewat ada yang jual bubur ayam. Jadi sekalian aja gue belikan buat lo.” Tara menjelaskan.
Neeta mengerucutkan sedikit bibirnya ke depan saat Tara memberikan penjelasan. “Oke, terima kasih karena sudah repot-repot mengantarkan ini,” ucapnya menenteng paper bag sedikit lebih tinggi.
“Bukan masalah. Oh iya, pria yang tadi bukain pintu ....” Tara sengaja menahan ucapannya karena merasa ragu, sementara Neeta dibuat bertanya-tanya sebab pria itu memutuskan kalimatnya di tengah jalan. “Gak jadi, lupakan aja. Gue balik dulu kalau gitu.”
Tara membuka langkah dengan cepat menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan halaman kediaman Bu Minah. Pria muda itu bahkan tak menoleh ke belakang lagi sebab dia ingin sekali cepat sampai di mobilnya.
Setibanya di mobil dan berhasil memposisikan diri di balik kemudi, Tara bergegas mengambil ponselnya kemudian mencari nama seseorang untuk dihubungi. Setelah panggilan teleponnya berhasil tersambung, Tara membuka suara dengan sedikit gagap.
“H-halo, M-Mas, kamu bilang Mas Giandra hilang, ‘kan?”
Di seberang telepon, seorang pria yang menjadi lawan bicara Tara menjawab, “Iya. Dia menghilang. Kenapa bertanya?” sahutnya balik bertanya.
“Tara tahu di mana Mas Giandra sekarang.” Pria muda itu menjawab dengan sedikit bergetar, dia masih merasa sangat gugup dan berdebar sesaat melihat Giandra di depan matanya tadi.
“Jangan main-main kamu, Tara,” sahut pria yang menjadi lawan bicara Tara tadi.
“Tara nggak main-main. Meski aku udah lama nggak melihatnya, tapi aku yakin kalau dia adalah Mas Giandra. Aku melihatnya dengan mataku sendiri, Mas!” balas Tara meyakinkan.
“Oh ya? Di mana kamu melihatnya?”
“Aku antar Mas langsung ke tempatnya. Satu jam dari sekarang kita ketemu di cafe biasa. Oke?” Tara langsung mengakhiri panggilan teleponnya dan memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku celana. Sementara kedua matanya masih fokus menyorot ke arah kediaman Bu Minah tempat di mana dia bertemu dengan Giandra beberapa saat lalu.
“Orang-orang berpikir kamu menghilang, tapi ternyata kamu bersembunyi di sini ....” Tara bergumam pelan dengan tatapan yang tak lepas dari kediaman sederhana Bu Minah.