"Masih. Tapi papa yang menengahi. Kami menginap semalam di rumahnya. Kerabat yang lain pada ramah-ramah. Aku maklum sih kalau Budhe bersikap seperti itu padaku, Nes. Siapa sih yang nggak kecewa melihat adiknya direndahkan oleh darah dagingnya sendiri." Sebelum Agnes menanggapi, suara langkah kaki mendekat ke meja mereka. Seorang pria gagah tersenyum pada Agnes. Dia mengenakan kemeja warna abu-abu yang dilipat hingga siku, membuatnya terlihat santai namun tetap rapi. "Maaf, agak telat," ucapnya menyalami Agnes dan Herlina, seraya menarik kursi dan duduk. "Kenalin, Mas. Ini mbakku, Mbak Herlina. Baru datang sore tadi," ujar Agnes. Pria itu mengangguk sopan pada Agnes. "Ini namanya Mas Aryo, Mbak." Herlina manggut-manggut. "Ayo, kita makan. Silakan, Aryo. Maaf, kupanggil nama saja kare