Crazy Boss

2401 Kata
Gita mengusap kasar air mata yang berderai membasahi pipi. Dia menatap pantulan diri di depan cermin, tangannya mencengkram erat wastafel, kemarahan terlihat jelas dari sorot mata Gita. Seandainya saja dia punya keberanian untuk melawan, maka Gita tak akan mengalami pembulian. Gita tersenyum miris, memandang seragamnya yang kotor terkena noda kuning dari jus yang sengaja ditumpahkan Rehan tadi. Meski sudah dibersihkan, nyatanya noda itu tidak bisa hilang. Bel masuk berbunyi, Gita bergegas keluar. Namun saat dia melangkah keluar, seseorang dengan cepat menarik tangannya. Orang itu mendorong Gita dengan kasar ke dinding, membuat punggungnya kesakitan akibat benturan yang sangat keras. Bukan hanya itu, dia juga menghimpit Gita, membatasi ruang gerak Gita. Kedua tangannya mengungkung Gita, mata gelapnya menatap tajam Gita. "Ba-Bara!" pekik Gita, ketika mata mereka saling beradu. Tubuh Gita menegang, entah apalagi yang akan cowok itu lakukan padanya. Apa kurang cukup dia membuli Gita? Lalu mau apalagi dia? Gita mengerjap, belum pulih dari rasa terkejut. Kini dia justru mendapat serbuan dari bibir Bara yang tiba-tiba mencium paksa dirinya. "Ba---" Gita berusaha memberontak, tapi apa daya ketika kedua tangannya justru dicengkram erat oleh Bara. Gita tak bisa bergerak, tak mampu mengelak saat Bara memburu bibirnya. Bara mencium Gita begitu kasar, seolah melampiaskan kekesalannya. Tapi apa salah Gita, kenapa Bara harus melampiaskannya pada Gita. Tak cukup dengan perlakuan kasar, tangan Bara juga dengan liar bergerilya ke daerah teritorial terlarang milik Gita. Merasa daerah teritorialnya terancam, lantas Gita mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa. Dengan kesadaran penuh, Gita menarik tangannya dari cengkraman Bara. Lalu tanpa aba-aba tangan Gita melayang ke pipi mulus Bara, memberikan tanda merah yang tercetak jelas di pipi Bara. Napas Gita terengah, matanya masih melotot melihat tanda merah di pipi Bara. Seakan tidak percaya, jika dirinya seberani itu. Namun hal itu justru jadi mimpi buruk bagi Gita, karena dia memancing singa yang sedang marah. Bibir Gita kelu ketika mata gelap Bara menyorot tajam dirinya. Tubuh Gita menegang, embusan napas Bara membuat seluruh saraf pada tubuhnya mati, otaknya tiba-tiba tumpul. Tatapan Bara seolah menyihir Gita sampai tak bisa berkutik. "Bar!" Terdengar deru napas Bara yang memburu, embusan napasnya menerpa leher Gita. "Lo bakal nyesel Gita." Bisikan Bara bagaikan mantra kutukan. Gita menjerit saat Bara menyeretnya ke dalam toilet. Tapi sayangnya, tak seorang pun datang menyelamatkannya. "Tolong!!" "Bara jangan!" "Tidak!!" Teriakan-teriakan di masa lalu menyentak Gita, mengembalikan kesadarannya. Disaat ciuman Bara masih terasa memburu, ketika tangan Bara mulai merayap menyentuh d**a. Hal itu membuat Gita refleks mendorong Bara sampai terlonjak mundur, menciptakan jarak di antara keduanya. Mata Gita berkedut, bayangan-bayangan masa lalu berputar di otaknya. Itu sangat menyakitkan dan hari ini Bara kembali mengulanginya, setelah sekian lama mereka tidak pernah bertemu. Tamparan keras mendarat di pipi mulus Bara. Dia terkejut, tak menyangka Gita akan melakukannya. Berani-beraninya, Bara seketika menatap tajam Gita. Mata gelapnya menunjukkan kilatan emosi yang menggebu-gebu. Bara merasa harga dirinya kembali dijatuhkan atas penolakan yang dilakukan Gita, apalagi wanita itu sampai berani menamparnya. Mengingatkan Bara akan kejadian di masa lalu. Haruskah Bara melakukannya lagi? Agar Gita tahu, siapa Bara sebenernya. Sehingga wanita itu tidak akan berani menolaknya lagi. "Ka----" Bara tercekat, Gita tiba-tiba berlari sebelum dirinya sempat berbicara. Bara memandang kepergian Gita dengan sebelah alis terangkat dan smirk yang tercetak jelas di salah satu sudut bibirnya. "Kita lihat saja Gita, apakah kali ini kamu bisa lari dariku." Sementara Gita terus berlari, tanpa menolehkan kepalanya ke belakang. Dadanya kembali terasa sesak, air mata bertumpuk di pelupuk mata. Berusaha menerobos keluar, namun Gita tetap menahannya. Dia tidak ingin membuat Sandra dan Arga mengkhawatirkannya, jika melihat dirinya menangis. "Git, kamu kenapa?" tanya Sandra saat melihat Gita tampak tergesa-gesa. Gita mengatur napasnya yang memburu. "San, maaf. Kayanya aku harus pulang. Tadi kakak aku telepon nyuruh aku pulang sekarang." "Mau aku antar?" Sandra sudah beranjak dari duduknya, namun Gita menahan. "Gak perlu, aku bisa naik taksi. Aku duluan ya." Gita segera mengambil tasnya dan bergegas pergi dari sana. "Hati-hati Git!" Terdengar suara Sandra bersahut dengan suara musik yang berdentum keras memenuhi ruangan. Gita mengusap sudut matanya yang berair, mati-matian menahan gejolak di dalam d**a. Dia terus menyumpah serapah Bara, mengutuk perlakuan pria itu. Kakinya terus melangkah menuju lobi, hingga suara seseorang di belakang berhasil menghentikannya. "Gita tunggu." Gita menoleh ke belakang. "Arga?" Dia tampak terkejut melihat Arga mengejarnya. "Ada apa?" "Aku antar kamu pulang ya," ucap Arga saat tiba di depan Gita. "Gak usah, aku bisa pulang sendiri." Gita tersenyum simpul, menolak ajakan Arga. "Lagi pula acaranya kan belum selesai. Bukannya kamu penanggung jawabnya? Jadi sebaiknya kamu tetap di sana, aku bisa pulang sendiri kok." "Gak papa. Ada Riko dan lainnya yang bakal handle sementara. Nanti aku balik ke sini lagi kalau sudah antar kamu pulang. Please, jangan nolak. Aku gak mungkin biarin kamu pulang sendirian malam-malam begini, terlalu berbahaya buat wanita seperti kamu." Gita tak bisa menolak lagi, terlebih saat Arga meraih tangannya. Gita seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut mengikuti langkah Arga keluar dari hotel menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung hotel di parkir valet VIP. Gita masuk ke mobil, dia duduk di samping Arga. Gita memalingkan wajahnya, bayangan tadi terus mengusik pikirannya. Sampai Gita tak sadar saat Arga mencondongkan tubuhnya ke Gita. "Eh." Gita terkesiap, matanya beradu dengan mata Arga saat dirinya menoleh ke samping kanan. "Kamu lupa pasang sabuk pengamannya," kata Arga, mengulas senyum manis. Tangannya meraih sabuk pengaman dan memakaikannya. Gita diam, merutuki pikirannya yang terlalu memikirkan kejadian di depan toilet sampai lupa dengan sabuk pengaman yang belum terpasang. ------- Gita terpaku di depan cermin, menatap pantulan diri yang mengenaskan. Penampilan Gita begitu kacau, seragamnya terkoyak, bahkan semua kancingnya terlepas. Rambut juga acak-acakan, pipinya memerah, sudut bibirnya berdarah dan juga leher yang penuh dengan noda kemerah-merahan. Ucapan Bara terus terngiang di kepala Gita, membuat kepalanya serasa mau pecah. "Kamu gak akan pernah bisa lari Gita." "Selamanya kamu akan jadi mainanku!" "Tidak, tidak, tidak!!" Gita menggeleng frustrasi, menjambak-jambak rambutnya. "Pergi!!!" Tawa Bara terngiang-ngiang di kepala. "TIDAK!!" Gita tersentak dari mimpi buruknya, matanya terbuka lebar dengan deru napas menggebu-gebu. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Suara alarm berbunyi nyaring memenuhi ruang kamar Gita. Gita mengembuskan napas kasar, lagi-lagi dia bermimpi buruk. Mimpi buruk yang selalu dialaminya selama sembilan tahun terakhir, bagaikan momok mengerikan sepanjang hidup Gita. Gita mematikan alarm, turun dari ranjang saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dia harus segera mandi dan bersiap-siap karena hari ini adalah hari pertama Gita bekerja di kantor barunya. Jadi Gita tidak boleh sampai terlambat. Tak butuh waktu lama untuk membersihkan diri, Gita segera mengenakan pakaian kerjanya. Rok span sepanjang lutut dan kemeja strip biru muda lengan panjang dibalut dengan blazer berwarna biru dongker senada dengan warna roknya. Gita memoles wajahnya dengan make-up flawless, dia yang tampak cantik semakin cantik menawan dengan bibir berwarna peach. Tak perlu menggunakan banyak blush on karena pipi Gita selalu merah merona, apalagi saat terkena sinar matahari. Bulu matanya yang sudah lentik hanya cukup sekali oles maskara. Gita benar-benar cantik paripurna. "Pagi," sapa Gita saat menuruni tangga menuju meja makan, di mana kakaknya sedang menyiapkan sarapan. "Pagi ante Gigit," seru Amira. "Pagi juga Amila cantik." Gita yang gemas lantas mencubit pelan pipi Amira yang tembam. "Sarapan dulu Git," kata Gina. "Gak usah deh Kak, aku bisa beli dijalan. Takut keburu siang kalau aku sarapan di rumah." Gita melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu bisa bareng aku, Git. kebetulan kantor kamu searah sama kantor aku." Suara lain menginterupsi. "Nah bener kata Mas Andre, kamu bisa bareng Mas Andre dari pada naik busway. Jadi kamu gak bakal kesiangan, bisa sarapan dulu juga," ucap Gina, tanpa menyadari perubahan ekspresi Gita. "Gak Mas, makasih. Aku naik busway atau ojek online saja." Tentu saja Gita akan menolak mentah-mentah ajakan Andre. Dia tidak akan memberikan kesempatan bagi Andre melancarkan aksi kurang ajarnya. "Gak papa, bareng aku aja. Jangan sungkan gitu." Andre duduk di kursi, matanya tak henti menatap ke arah d**a Gita yang tampak menonjol meski tertutup blazer. "Iya Git, pokoknya kamu bareng Mas Andre aja. Sekarang kamu duduk, kita sarapan bareng." Gina menarik Gita duduk di kursi, mengambilkan sepiring nasi beserta lauk pauknya. Gita tak bisa menolak, hingga akhirnya Gita berangkat bersama dengan Andre. Suasana canggung begitu terasa di dalam mobil, Gita memalingkan wajahnya ke luar jendela. Berusaha menghindari tatapan mata Andre yang jelalatan. Sepanjang perjalanan, Gita memilih diam. Mengabaikan Andre yang terus berbicara, sok mengakrabkan diri seolah tidak ada apa-apa yang pernah terjadi antara mereka berdua. "Git," panggil Andre, memecah keheningan di antara mereka berdua. "Hm." Gita tampak malas menanggapi Andre. "Kamu gak perlu canggung begini---" "Mas Andre!" hardik Gita saat tangan Andre lancang mengusap pahanya. "Gak perlu malu-malu Git. Aku tahu kok, kamu juga mau." Andre menoleh sekilas ke Gita, lalu kembali menatap jalanan di depannya. "Jangan macam-macam ya Mas, aku bisa aja bilang ke kak Gina soal ini!" Gita memperingati, matanya menatap tajam Andre. "Oh, ya?" Andre menaikkan satu alisnya. "Kalau begitu katakan saja, aku gak yakin Gina bakal percaya sama kamu." "Cukup Mas!" Habis sudah kesabaran Gita. "Berhenti, aku mau turun!" "Dikit lagi sampai, santai saja." Apa? Santai? Mana bisa Gita santai berada dalam satu mobil dengan buaya darat macam Andre! Gita menelan kegondokannya, ketika mobil Andre berhenti di depan Agung Group. Gita segera keluar tanpa mengucap sepatah kata apapun. Gita juga mengabaikan panggilan Andre, dia berjalan cepat memasuki lobi. Setelah menemui pihak resepsionis, Gita diarahkan ke pihak manager personalia. Di sini Gita dikejutkan dengan kabar kepindahannya ke perusahaan lain, meski perusahaan itu juga masih bersangkutan dengan Agung Group. "Ini bener Bu? Saya dipindahkan ke sini?" Gita menatap surat kepindahannya ke sebuah perusahaan entertainment. Jelas berbanding terbalik dengan job kerjanya selama ini. "Iya, kebetulan untuk posisi di sini sudah penuh. Jadi kamu dipindahkan ke BS Entertainment," kata wanita yang menjambat sebagai manager personalia. "Kalau kamu tidak mau, terpaksa kamu harus membuat surat pengunduran diri--" "Saya mau kok Bu." Mana mungkin Gita mengundurkan diri. Dia tidak mau bergantung hidup dengan kakaknya, bahkan Gita pengennya cepat pergi dari rumah Gina. "Ya sudah, kamu sekarang langsung ke alamat yang ada di situ. Ketemu bapak Brian, beliau sudah menunggu kamu." Gita mengangguk, setelah selesai dia pamit undur diri dan menuju ke perusahaan BS Entertainment yang akan jadi tempat kerjanya yang baru. Agak kecewa juga Gita karena tidak jadi bekerja di Agung Group, tapi mendengar penuturan bu manager tadi Gita cukup bersyukur karena perusahaan yang akan jadi tempat kerjanya yang baru juga termasuk perusahaan besar. Ditambah CEO-nya sendiri anak dari pemilik Agung Group. ------- Sudah satu jam Gita duduk di dalam sebuah ruangan, menunggu pak Brian yang katanya sedang ada pertemuan di luar kantor. Gita berusaha tenang, walau sebenernya dia gugup setengah mati. Sejak pertama menginjakkan kaki di kantor, Gita sudah dibuat takjub dengan bangunan kantor yang begitu besar dan mewah. Hampir setara dengan Agung Group. Suara derit pintu mengalihkan atensi Gita, dia tersenyum kaku saat melihat seorang pria bersetalan jas rapi melangkah ke arahnya. "Regita Safira?" tanyanya saat duduk di hadapan Gita. Apa pria itu pak Brian? Pikir Gita. Gita mengangguk. "Betul Pak." Pak Brian membuka resume dan laporan kerja dari kantor lama Gita. Dia tampak mengangguk-anggukkan kepala. "Kamu sudah tahu job yang akan kamu tangani?" Gita menggeleng, dia belum diberitahu apa-apa mengenai pekerjaan barunya. "Belum Pak." "Kamu bakal jadi sekretaris CEO, kamu siap?" "Ha?" Gita terkejut. Dia tidak salah dengar kan? Sekretaris? Yang benar saja, Gita tidak memiliki basik apa-apa mengenai sekretaris. "Kenapa? Kamu keberatan?" tanya Brian. "Bukan begitu Pak. Tapi saya tidak punya basik apa-apa soal sekretaris. Di kantor lama saya di bagian pemasaran, jadi saya tidak akan bisa---" "Kamu menolaknya?" Brian memberikan proposal kontrak kerja ke Gita. "Kamu bisa mengundurkan diri, tapi sebagai gantinya setiap pekerja yang mengundurkan diri harus membayar pinalti." Gita melongo. Tangannya sampai gemetar mendengar kata pinalti terucap dari mulut Brian. "Apa kau tidak tahu?" Gita menggeleng. "Intinya, kau tidak bisa menolak dan kalau kau tetap menolaknya. Maka kau harus memberikan uang pinalti sebesar yang tertera di situ." Mata Brian menunjuk ke proposal yang sudah berpindah ke tangan Gita. Gita melotot, melihat nominal angka nol yang berjumlah sembilan digit di belakang angka satu. What the hell!! Gita ingin protes, namun suara Brian lebih dulu menginterupsi. "Kamu bisa lihat gaji yang akan kamu terima sebagai pertimbangan. Masalah kamu gak punya basik sebagai sekretaris, tenang saja. Selama satu bulan pertama saya akan membimbing dan mengajari kamu tentang apa saja yang harus kamu kerjakan." Gita lantas melihat ke bawah, di mana nominal gajinya juga tertera. Mata Gita kembali melebar, berkedip beberapa kali saat melihat angka yang cukup fantastis dari gaji sebagai sekretaris. Wow! Gak nanggung-nangung, jika Gita menerima pekerjaan sebagai sekretaris. Maka Gita akan mendapat gaji sebesar dua puluh juta, belum termasuk tunjangan yang akan dia dapatkan. Melihat gaji sebesar itu, bayangan Gita melambung tinggi. Dengan gaji sebesar itu, dia bisa menyicil aparteman. Jadi Gita tidak perlu menumpang lagi di rumah kakaknya, dia juga akan terhindar dari hama Andre. Setelah memikirkan secara matang-matang. Akhirnya Gita menyetujuinya. Dia segera menanda tangani kontrak kerja exclusive, di mana masa kontraknya langsung sepuluh tahun. Dibilang nekad, jelas Gita nekad. Tapi dia tidak punya pilihan lain.  "Selamat Gita, mulai sekarang kamu resmi menjadi sekretaris pak----" Dering telepon menginterupsi, Bria meminta izin untuk mengangkatnya lebih dulu. "Halo, iya. Ini aku baru saja selesai. Kenapa gak sabaran banget si!" Brian tampak kesal dengan si penelepon. "Ok, ok. Aku---" Sambungan telepon diputus secara sepihak. "Bos kampret!" umpat Brian tanpa sadar, padahal masih ada Gita. Hingga Brian tersadar, tersenyum kikuk pada Gita. Dalam hati dia mengutuk Bara, rasanya Brian geregetan ingin sekali menceburkan Bara ke dalam rawa agar bisa reuni dengan sebangsanya. Buaya-buaya kampret! "Kamu diminta ke ruangan bos sekarang," ucap Brian. "Sekarang?" Gita panik, dia belum ada persiapan apa-apa. "Iya, paling cuma ditanya-tanya bentar. Tenang saja, bosnya gak gigit kok." Paling langsung terkam. Gita menghela napas panjang, pasrah. Dia keluar dari ruangan, menuju ruangan yang ada di ujung di mana ruangan bos barunya berada. Gita berhenti di depan pintu, bibirnya tampak komat-kamit merapalkan doa. Berharap bosnya tidak galak. Gita menguatkan tekadnya, mengetuk pintu ruangan bosnya. Terdengar sahutan dari dalam, dengan sekali tarikan napas Gita lantas masuk ke ruangan. "Siang Pak. Perkenalkan----" Gita mengerjap saat melihat wajah bosnya, bibirnya tiba-tiba kelu. Jadi bos barunya Bara? "Hai, Gita." Mata Gita berkedut, rasanya dia ingin berteriak. Namun semua makian yang telah Gita rangkai justru tersangkut di tenggorokan. Senyuman itu, Gita ingin sekali merobek bibir Bara. Tapi Gita tak punya keberanian. Sekuat tenaga Gita mengumpulkan keberaniannya untuk membuka suara. "Maaf, sepertinya saya salah ruangan." Gita berbalik, setengah berlari menuju pintu. Tapi siapa sangka jika pintunya tertutup otomatis, sontak Gita menoleh ke Bara yang berjalan mendekatinya. Pria itu tampak tersenyum miring ke arahnya. Dasar sinting! Mau apa lagi dia? Gita merapatkan diri ke pintu, berusaha menarik gagang pintu. Tapi usahanya tak membuahkan hasil. "Mau ke mana Gita?" Suara bass itu menginterupsi, terdengar begitu dekat di telinga Gita. Gita menoleh, betapa terkejutnya melihat Bara sudah berdiri di dekatnya. Matanya beradu dengan mata gelap yang selalu membuat Gita merasa terintimidasi. "Ma-mau apa kamu Bar?!" Gita mencengkram erat gagang pintu, menyalurkan kemarahan serta ketakutan yang menguasai dirinya. "Aku mau ...." Bara mencondongkan kepala ke Gita, lalu berbisik di telinganya. "Kamu." Gita mendelik, tubuhnya menegang. Alarm dalam tubuhnya berbunyi memperingati, Gita dilanda panik. Namun tubuhnya tak bisa bereaksi, mengabaikan perintah otak untuk segera melarikan diri. Crazy Bos!! Satu kata yang muncul dalam pikiran Gita. Bara benar-benar gila, dia menjadikan kekuasaannya untuk menjerat Gita. Sama seperti dulu, kenapa semesta tidak pernah berpihak pada Gita. Menjerumuskan Gita ke dalam lembah derita berkepanjangan. Kenapa? Help me! Siapa pun tolong aku!! Bara sialan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN