Elea hanya bisa pasrah melihat acara pesta pernikahan kakaknya dengan pria yang telah merenggut kesuciannya tanpa melakukan apa pun. Mau mengatakan segalanya justru hal itu akan menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Yang ia lakukan hanya mengunci rapat-rapat rahasia itu dan mencoba melupakannya.
Namun, entah kenapa ada sedikit perasaan yang entah kenapa tak Elea mengerti. Perasaan yang berontak seolah ingin menunjukkan kegigihannya. Sebuah perasaan terlarang yang harus ia buang sejauh mungkin.
"Dia sudah menjadi suami kakakku. Aku tidak boleh mengingat apa pun tentang dia. Kisahku dan dia hanya terjadi satu malam, tidak lebih dari itu," ucap Elea mencoba menyemangati dirinya sendiri agar bisa mengikuti takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya saat ini.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam saat Vania keluar dari kamar mandi. Wanita itu melihat ke arah kamar, tapi tidak menemukan suaminya ada disana. Sebagai seorang wanita yang telah memiliki suami, Vania tahu betul kewajiban apa yang harus ia lakukan. Ia pun mengambil sebuah piyama seksi yang sebelumnya sudah ibunya siapkan.
"Apa aku harus memakai baju ini? Apa nanti Mas Rain ...." Vania menghentikan ucapannya, malu sendiri membayangkan hal yang mungkin akan terjadi nanti.
"Setiap pasangan yang telah menikah pasti akan melakukan hal itu 'kan? Aku tidak boleh membuat Mas Rain kecewa," ucapnya lagi.
Vania mempersiapkan dirinya secantik mungkin, wanita itu menggunakan piyama seksi agar saat Rain datang pria itu tahu jika dirinya sudah siap sepenuhnya sebagai seorang istri. Meski ada rasa malu, Vania membuangnya jauh-jauh. Ini semua demi suaminya.
Vania menunggu sampai Rain kembali ke kamar, tapi ternyata pria itu kembali saat malam sudah sangat larut sekali. Vania sampai terkantuk-kantuk menunggu pria itu, barulah Rain datang.
"Mas, kamu baru balik?" Vania bertanya sambil tersenyum, wanita itu membuang rasa kantuknya dan bangkit untuk menyambut suaminya itu.
Rain hanya diam, ia melirik kearah Vania pun tidak. "Besok kita akan pindah rumah, disini gerah sekali. Aku heran kenapa keluarga kalian bisa tinggal digubuk seperti ini," tukas Rain dengan suara yang sangat kesal.
Vania mengulum bibirnya, ia tahu rumahnya ini sangatlah jauh berbeda dengan rumah Rain yang seperti istana. Vania pun tidak pernah membayangkan akan punya suami kaya seperti Rain ini.
"Iya, Mas. Apa kau ingin mandi dulu?"
"Vania, hentikan panggilan bodoh itu. Aku harap kau tidak menganggap pernikahan ini sungguhan bukan?" tukas Rain benar-benar sudah muak, bahkan telinganya terasa sakit mendengar panggilan Vania itu.
"Apa maksud Mas berkata seperti itu?" lirih Vania dengan tatapan mata yang sendu. Hatinya tiba-tiba dihantam oleh perasaan yang sakit mendengar perkataan Rain.
Rain berdecak pelan, diliriknya Vania yang malam itu sudah tampil cantik dengan piyama seksi berwarna merah. Kulitnya sangat bersih dengan rambut hitam sebahu. Vania cantik, tapi entah kenapa tidak membuat Rain b*******h atau sedikit merasa suka. Berbeda dengan Elea yang terlihat sangat menantang meski wanita itu hanya diam. Seolah Elea memiliki magnet tersendiri dalam dirinya.
"Aku tidak suka berbasa-basi, Vania. Pernikahan ini ada karena perjodohan orang tuaku dan orang tuamu. So, kau pasti mengerti. Hiduplah dijalan masing-masing, aku tidak akan menganggu apa yang ingin kau lakukan. Begitupun sebaliknya," ujar Rain tanpa perasaan sama sekali.
"Pernikahan kita ini sah, Mas! Kita sudah sah menjadi suami istri."
"Suami istri diatas kertas, camkan itu baik-baik, Vania." Rain mengeraskan rahangnya, ternyata susah sekali memberikan penjelasan kepada wanita di depannya ini. "Malam ini aku akan pergi, carilah alasan untuk orang tuamu. Jika ada masalah di rumah tangga kita, kau tahu bukan siapa yang akan disalahkan?" lanjut Rain.
Vania yang melihat suaminya akan pergi tdiak semudah itu mengizinkannya, wanita itu nekat memeluk Rain dari belakang. Ia menangis lirih.
"Vania, lepas!"
"Tidak, Mas tidak boleh pergi. Malam ini adalah malam pengantin kita, kenapa Mas tega? Kita bisa memulainya dari awal, aku yakin akan ada cinta diantara kita nanti," ucap Vania disela-sela tangisnya.
Bukannya merasa senang, Rain justru sangat muak. Dengan kasar pria itu melepaskan pelukan Vania lalu mendorong wanita itu hingga tubuhnya terhempas di ranjang.
"Jangan melewati batasanmu, Vania. Ingatlah aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini jika kau terus mencoba mendekati hatiku. Bukankah sudah cukup dengan statusmu, menjadi seorang istri pewaris?" cemooh Rain. "Tenang saja, kau akan tetap mendapatkan semua hakmu. Uang bulanan dan kebutuhan lainnya."
Vania menggelengkan kepalanya perlahan. "Apa seburuk itu aku di matamu, Rain?"
"Ck, berhentilah menangis. Kau sangat memuakkan seperti keluargamu."
Rain berdecak kesal, pria itu langsung pergi meninggalkan istrinya begitu saja. Entahlah, ia tidak tertarik sama sekali dengan Vania meskipun wanita itu cantik. Pernikahan mereka juga terjadi karena perjodohan belaka. Jadi, Rain pun tak pernah ingin pernikahan itu ada.
***
Elea memegang gelas brandi di tangannya dengan tatapan mata yang kosong. Wanita itu pikirannya sangat kacau sekali, disekelilingnya sudah ada beberapa teman-temannya yang asyik pesta anggur, tapi Elea seperti dalam kesunyian.
"Elea, thanks atas traktirannya. Sering-sering kayak gini ya!"
Elea terkekeh-kekeh mendengar hal itu, di sana banyak sekali teman-teman kuliahnya yang sengaja ia undang. Dari mereka juga adalah teman baik Mega, tapi dengan iming-iming uang, mereka langsung mau menjadi tim yang mendukung Elea.
"Bersenang-senanglah kalian, ambil semua yang kalian mau. Semuanya aku yang bayar!" teriak Elea, wanita itu kemudian mengambil tas miliknya dan melempar semua uang yang sengaja ia ambil dari ATM sebelumnya. "Ambil, ambil ini semua. Aku punya banyak uang sekarang, ambil semua!"
Teman-teman Elea tentu kesenangan, mereka berebut uang itu dan tak henti memuji Elea yang tersenyum penuh kepuasan. Hatinya sangat puas melihat para penjilat itu memuji-muji dirinya. Setelah ini ia yakin, banyak yang mendukung dirinya dan akan membuat Gavin menyesal telah mencampakkannya.
"Dengan uang aku memang bisa memiliki segalanya. Termasuk para teman penjilat seperti mereka," ucap Elea terkekeh-kekeh sinis.
Wanita itu kemudian bangkit dari duduknya dengan sempoyongan. Kepalanya sudah mulai berat, tapi ia masih cukup sadar. Sejak tadi Elea selalu terbayang-bayang akan sosok pria gagah yang pernah berbagi peluh dengannya beberapa hari lalu. Sorot mata, suara serta semua tentang pria itu membuat Elea hampir gila. Ia sudah mencoba melupakannya, tapi semakin ia mencoba, justru malam panas itu kian terngiang-ngiang.
"Otakku benar-benar sudah tidak waras. Cepat lupakan dia, Elea!" Elea mengutuk kebodohannya itu, ia tak ingin sampai terjerumus semakin dalam jika ia terus bersikap seperti ini.
Elea terus berjalan keluar dari club, langkah kakinya berhenti di sebuah koridor yang sangat sepi. Kepalanya kian berat dan pandangannya mulai kabur. Mencoba berjalan tapi kakinya justru tersandung hingga ia terjatuh.
"Akhhhhhhh brengsekk!" umpat Elea kesal, wanita itu berusaha bangkit. Namun, ia cukup terkejut saat melihat sepasang sepatu yang ada di depannya. Wanita itu mendongak untuk melihat siapa yang datang.
"Kau rupanya." Elea terkekeh sinis, ia berusaha bangkit kembali meski cukup kesusahan.
Rain hanya diam dengan aura dinginnya, pria itu memperhatikan Elea yang mencoba bangkit tapi kesusahan. Ia berusaha membantu tapi tangannya justru ditepis.
"Hei, jangan coba-coba menyentuhku!" seru Elea menunjuk batang hidung Rain. "Kenapa kau ada disini? Pulang sana, pulang ke rumah kakakku. Malam ini malam pertama kalian kan? Hahaha kalian sudah menikah."
"Cih, bodoh sekali. Kenapa kau menikah dengan kakakku? Lucu, kakak iparku ternyata orang sudah mengambil keperawananku."
Elea mengoceh tidak jelas, suara terdengar membesar dan penuh emosi. Ada getaran yang membuat wanita itu sangat menyesal, tapi disatu sisi juga sangat putus asa.
"Ah sudahlah, takdir memang sangat gila. Seharusnya kau tidak pernah bertemu denganku, dasar b4jingan!" Elea yang merasa sangat kesal mendorong bahu Rain tapi pria itu tidak bergeming sama sekali. Sorot matanya masih sangat tajam dengan wajah yang sangat dingin.
Elea berjalan meninggalkan Rain begitu saja, tapi baru satu langkah ia berjalan, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Rain hingga ia terjatuh ke dalam pelukannya. Elea sangat terkejut dan ingin memaki, tapi ia justru terperangkap dalam sorot mata tajam Rain.
"Hei, lepaskan tanganmu!" seru Elea mencoba berontak.
"Kau tahu, aku adalah orang yang sangat penasaran terhadap sesuatu. Demi rasa penasaran itu, aku rela melakukan banyak hal," ucap Rain lambat-lambat. "Sekarang aku penasaran, bagaimana jika Kakakmu tahu apa yang sudah terjadi antara kita? Apakah dia akan–"
"Apa maksudmu!" Elea membulatkan matanya syok, ia takut sekali meski Rain belum mengatakan apa pun.
"Tidak punya maksud apa pun. Aku hanya berandai, jika Kakakmu tahu, apa yang akan dia lakukan? Ah, bagaimana respon Ayahmu yang tua itu. Lalu, ibumu? Ini pasti sangat menyenangkan, Eleanor."
Bersambung.