“Ternyata ... dia ... dia Mas Ravael? Kami pernah bertemu, ... dia ... dia temannya pak Dimas ....” Walau hanya berbicara dalam hati, pertemuannya dengan Ravael membuatnya tak kuasa melakukannya. Iya, sekadar berkata-kata dalam hati, mendadak sangat sulit Melati jalani. Lidahnya terlanjur kelu selain rasa aneh yang membuat dadanya menghangat.
Gugup Melati rasakan karena ternyata, suaminya sangat tampan. Bisa Melati pastikan, tak ada wanita yang tidak terpikat kepada suaminya, terlebih jika suaminya sampai memberikan perhatian. Pantas selama ini, Ravael selalu semena-mena kepadanya. Karena Ravael pasti merasa Melati yang hanya gadis desa, tak pantas bersanding dengannya.
Dunia seorang Melati seolah berputar lebih lambat dibuatnya, menjadikan Ravael sebagai porosnya. Tiga tahun lebih dinikahi, tetapi temu di antara mereka benar-benar baru terjadi. Sungguh hubungan yang sulit dimengerti, tetapi Melati berharap, temu kali ini akan menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka.
Diam-diam, sebenarnya bukan hanya dunia Melati saja yang seolah berputar lebih lambat. Karena dunia seorang Ravael justru nyaris berhenti berputar akibat pertemuan sekarang. Ravael merasa tak asing pada kedua mata wanita yang tiga tahun lalu ia nikahi tanpa temu itu. Kedua mata Melati teramat indah bahkan jernih, meski kini mereka berada di ruang keluarga lantai bawah dengan penerangan temaram. Sebab lampu utama di sana sudah dimatikan, menyisakan lampu kecil di salah satu sudut ruangan saja.
“Rasanya sungguh tidak asing. Apalagi mata dan tatapannya. Sepertinya, kami memang pernah bertemu sebelumnya, tetapi di mana?” pikir Ravael.
Ravael yakin, harusnya ia dan Melati memang pernah bertemu, tetapi ia tidak yakin kapan kejadiannya. Otaknya terlalu penuh dengan banyak hal, khususnya penuh oleh Nilam dan juga sederet pekerjaan. Apalagi baginya, meski ia telah menikahi Melati, dan Melati merupakan istri pertamanya, baginya gadis desa itu sama sekali tidak penting. Sampai detik ini saja, sebenarnya Ravael hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuknya menceraikan Melati, membuangnya dari kehidupannya, untuk selama-lamanya. Semuanya sungguh hanya tinggal menunggu waktu.
Memang salahnya, dan Ravael mengakuinya. Kenapa sekadar melihat wujud Melati saja, ia tak sudi melakukannya. Hanya karena Melati gadis desa pilihan orang tuanya yang harus ia nikahi, padahal saat itu ia sudah memiliki Nilam. Kebenciannya kepada Melati sungguh teramat dalam. Yang mana, kebencian tersebut Ravael pastikan tidak akan berubah. Malahan bisa-bisa, kebencian tersebut akan bertambah.
Di balik pertemuan Ravael dan Melati, ada kedua orang tua Ravael yang bersuka cita. Keduanya sampai menitikkan air mata bersama harapan yang terus keduanya langitkan. Harapan agar hati Ravael terbuka, hingga pernikahan pria itu dan Melati menjadi nyata.
“Assalamualaikum, Mas?” Di tengah jantungnya yang berdegup lebih kencang, Melati memberanikan diri menyapa duluan.
Selanjutnya, Melati juga maju dan berangsur mengulurkan tangan kanan sambil membungkuk. Tentu maksudnya akan menyalami sang suami. Namun, tanpa sekadar basa basi apalagi membalas salam Melati, Ravael pergi begitu saja. Ravael yang memakai piyama lengan panjang warna biru gelap, melangkah menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai bawah keberadaan Melati, dan lantai atas.
“Ravael!” teriak ibu Irma yang sampai detik ini masih berada di belakang Melati. Karena tadi, ia juga yang langsung membukakan pintu untuk menantu pilihannya itu.
Demi menjaga perasaan Melati, ibu Irma sengaja merangkulnya dari belakang samping kanan. Sementara pak Bagyo sengaja menyusul sang putra. Namun baru saja, suara Nilam terdengar histeris. Suara yang justru terdengar menyeramkan khas orang kesakitan.
“Bu ... itu?” lirih Melati khawatir.
Ibu Irma yang paham maksud Melati mengangguk-angguk. “Iya, itu Nilam, Mel. Memang keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan. ”
“Sakit ... sakit sekali ... tolong! Tolong, ini sakit banget!” Nilam yang hanya memakai popok sekali pakai dan atasan tipis, terus menggeliat di atas tempat tidur.
Melihat Nilam yang sudah sangat mengenaskan, hati Melati ikut sakit. Melati tak tega dan jadi memaklumi kenapa Ravael begitu menjaga jarak darinya. Tentu karena suaminya itu sengaja menjaga Nilam, meski biar bagaimanapun, Melati juga tetap istri Ravael.
“Sakit, Rav ... sakit banget! Cepetan panggilin dokter! Kamu tega biarin aku kesakitan begini! Kalau terus begini, lebih baik aku mati saja! Biarkan aku mati saja nyusul mama papaku!”
Nilam makin tidak bisa mengontrol diri maupun kata-katanya. Sementara di sampingnya, Ravael berusaha melakukan pertolongan sebisanya.
“Sus ... Suster ... goblog kamu ya, biarin aku kesakitan. Kamu dibayar loh, mau makan gaji buta kamu!”
Karena Nilam makin berisik, orang tua Ravael sengaja membawa Melati pergi dari sana. Bertepatan dengan itu, Nilam tak sengaja menoleh dan melihat Melati.
“Itu yang bercadar, kamu siapa?!” teriak Nilam makin emosional. Padahal sekadar memiringkan tubuh saja, ia yang sudah botak sempurna, tak kuasa melakukannya.
Melati yang paham bahwa dirinya yang dimaksud sang madu, refleks menghentikan langkah. Ia yang telanjur balik badan juga berangsur menoleh menatap Nilam. Hanya saja, jawaban dari Ravael kepada Nilam, amat sangat melukai hati Melati.
“Pembantu baru yang juga akan membantuku?” Suara Nilam yang bergetar, mengulang kabar dari sang suami perihal siapa yang bercadar di sana.
Tanpa sedikit pun keraguan apalagi beban demi menjaga perasaan Melati, Ravael membenarkan. Ravael melakukannya sambil mengangguk-angguk.
“Ravael! Tega kamu! Melati ini—” Ibu Irma langsung jadi garda terdepan Melati.
“Enggak apa-apa, Bu. Enggak apa-apa. Mbak Nilam sedang sakit. Kemarin saat bapak sedang parah-parahnya, juga begitu. Enggak apa-apa,” lembut Melati meyakinkan.
Lain halnya dengan ibu Irma yang masih bisa bertahan di sana. Tidak dengan sang suami yang memilih pergi.
“Heh pembantu! Cepat buatkan sup untukku! Aku mau yang seger-seger panas! Cepat!” teriak Nilam.
Lagi-lagi, Melati menenangkan ibu mertuanya yang tak terima pada sikap Nilam kepadanya.
“Enggak apa-apa, Bu. Enggak apa-apa. Biar aku bantu-bantu. Sekarang, lebih baik Ibu dan bapak istirahat. Sudah malam, sudah seharusnya Ibu dan Bapak istirahat. Namun sebelum itu, tolong antar aku ke dapur karena aku belum tahu posisinya di mana,” ucap Melati.
Tutur kata Melati yang selalu penuh kelembutan, sudah langsung membuat hati seorang Ravael terombang-ambing. Ditambah lagi, kelembutan Melati kontras dengan Nilam yang sebentar-sebentar emosi. Termasuk juga ketika Melati benar-benar memasakkan sup untuk Nilam. Ravael menjadi penonton baik bersama sang suster.
“Dia begitu karena dia sedang mencoba mendapatkan perhatianku,” batin Ravael masih tidak bisa berbaik sangka kepada ketulusan Melati.
“Lagi, Mbak?” lembut Melati masih membungkuk.
Sejujurnya Melati tak hanya lelah setelah seharian penuh bekerja. Karena sikap dingin Ravael juga menambah rasa lelahnya menjadi luka tak berdarah berupa sakit hati. Namun, melihat Nilam yang begitu tak berdaya, hati Melati benar-benar tidak tega.