“Melati, ... dengarkan aku baik-baik. Cari tempat yang banyak sinyalnya karena di kampung kamu terkenal susah sinyal!”
“Iya, Mas Rava. Ini saya sudah di depan rumah dekat sawah. Di sini banyak sinyal. Suara saya sudah jelas, kan?”
“Baik, tetap di situ. Sekali lagi, dengarkan aku baik-baik.”
“Iya, Mas. Baik.”
“Melati, ... aku mau menerima perjodohan kita. Aku mau menikahi kamu, bahkan membiayai pengobatan bapak kamu sampai beres. Namun, kamu harus mengizinkan aku menikahi kekasihku. Bapak kamu harus segera operasi, tapi BPJS yang kalian buat belum bisa dipakai, kan?”
Selain meminta Melati mengizinkannya menikahi sang kekasih. Ravael juga tak mengizinkan Melati bertemu dengannya, bahkan meski sekadar melihat pria itu.
“Kamu juga harus tetap merahasiakan pernikahan kita. Selain kamu yang tidak usah ikut ke Jakarta. Kalau orang tua kita tanya alasannya, bilang saja kamu mau jaga bapak kamu, sementara aku mengizinkan kamu!”
“Terus, ... sebenarnya status saya apa, Mas?” tanya Melati di tengah air matanya yang berjatuhan membasahi pipi. Hatinya terasa sangat sakit, seolah di dalam sana ada banyak benda tajam yang sibuk menyayat.
“Kamu mau bapak kamu sembuh, tidak? Operasi ginjal itu taruhannya nyawa dan jangka penyembuhannya lama. Walau sudah operasi, pasti ada saja kontrol dan pengobatan lain!”
Dada Melati bergemuruh hebat mendengar setiap ucapan Ravael. Mereka memang sudah dijodohkan sejak kecil, tetapi tak sekalipun mereka bertemu. Sebab selain Melati tinggal di kampung, Ravael selalu di Jakarta. Kalaupun orang tua Ravael datang berkunjung ke rumah yang ada di kampung, Ravael tak pernah ikut.
Walau berat karena syarat dari Ravael terlalu merugikannya, Melati tak memiliki pilihan lain. Sebab ketimbang memikirkan jangka panjang dari pernikahannya dan Ravael, nasib sang bapak jauh harus lebih diutamakan.
Setelah kesepakatan dibuat, semuanya dijalani sesuai keinginan Ravael. Ravael mentransfer sejumlah uang ke Melati. Pengobatan sekaligus operasi kepada bapak Melati sudah langsung dijadwalkan. Melati mengurus semua itu sendiri. Karena selain Melati sudah tidak memiliki ibu, Melati yang baru genap berusia delapan belas tahun juga merupakan anak semata wayang.
Dua hari setelah kesepakatan, Ravael dan orang tuanya datang ke kampung Melati tinggal. Ijab kabul langsung digelar dan Melati hanya diam di kamar. Setelah ijab kabul usai, Ravael sudah langsung pamit dan berdalih ada dinas keluar kota yang tidak bisa ditunda. Sekadar menemui Melati, Ravael sama sekali tidak melakukannya.
Semuanya apalagi pak Sulaiman menganggap kesibukan Ravael sebagai hal yang patut dipuji. Bagi mereka, Ravael merupakan pria yang sangat bertanggung jawab dan Melati beruntung mendapatkannya. Padahal alasan Ravael buru-buru pergi dari sana karena Ravael akan langsung ke Jakarta dan menikahi kekasihnya dengan pesta mewah.
Kepergian Ravael tak sengaja melihat Melati. Melati berjalan kaki untuk membeli gula di warung dan lokasinya agak jauh dari rumahnya. Namun karena belum pernah melihat wujud Melati, Ravael tak tahu jika wanita sangat cantik berkulit putih bersih itu merupakan wanita yang baru saja ia nikahi.
“Masa di kampung yang jalannya masih penuh lobang bahkan licin, ada wanita secantik bidadari? Mirip blasteran Turki. Kulitnya putih sebening itu. Bentar deh, ... di bulak sepi gini, ada wanita cantik jalan kaki. Kok malah jadi horor ngeri, ya?” Karena kecantikan Melati yang bagi Ravael tak masuk akal, pria itu berpikir bahwa Melati tidak nyata. Ravael justru yakin, Melati itu demit cantik penunggu sekitar sana.
Ravael yang sempat mengemudikan mobilnya dengan pelan hanya karena kesibukannya mengawasi Melati yang membuatnya terpesona, refleks menambah kecepatan laju mobilnya.
“Pyaaaarrrrrr!” Air di genangan jalan mengenai Melati. Tubuh sebelah kanan Melati kuyup oleh air bercampur lumpur.
Rasa nelangsa sungguh tak kuasa Melati tepis. Terlebih Melati tahu, yang mengemudikan mobil dan sampai mengguyurnya menggunakan genangan air bercampur lumpur, suaminya sendiri. Karena meski belum bertatap muka atau sekadar melihat dari kejauhan dengan Ravael. Melati paham mobil Ravael. Mobil Lexus warna hitam yang tampak gagah sekaligus mewah itu milik pria yang menikahinya, tetapi tak sudi melihat apalagi mengenalnya.
“Memangnya di matanya, aku ini hina banget, apa gimana? Dinikahi, tetapi tak diinginkan. Jangankan mengenal dan menyayangi seperti suami di luar sana. Sekadar melihatku saja, dia tidak sudi,” batin Melati. Air matanya berlinang membasahi pipi. Namun karena hampir sebagian wajahnya terkena genangan air bercampur lumpur, air mata itu tak tampak.
Sore semakin gelap akibat mendung sisa hujan kemarin yang masih menguasai langit. Melati bergegas melanjutkan langkah sebab tamu di rumahnya, harus segera ia suguhi minum.
***
Tiga tahun berlalu, semuanya masih seperti kemauan Ravael. Tak sekalipun Ravael datang menemui Melati. Pesan WA menjadi satu-satunya perantara komunikasi mereka. Karena sekejam-kejamnya Ravael, pria itu masih mentransfer sejumlah uang meski jumlahnya tidak seberapa.
Mas Ravael : Bulan ini aku enggak bisa transfer dan entah sampai kapan. Istriku terkena kanker serviks. Sudah stadium tiga dan aku sedang butuh banyak biaya.
M : Saya turut berduka, Mas. Semoga penyakit istri Mas segera diangkat, dan baik istri Mas maupun Mas sendiri diberi kekuatan untuk menjalani cobaan ini.
M : Jika Mas membutuhkan bantuan, meski saya hanya bisa memberikan bantuan tenaga dan doa, jangan sungkan untuk mengabarinya.
Mas Ravael : Ya. Terima kasih banyak.
M : Sekalian, Mas. Mohon maaf, punten. Saya mau izin pergi kerja. Bukan ke luar negeri. Masih di dalam negeri.
Mas Ravael : Terserah.
M : Terima kasih banyak, Mas 🙏
“Daripada bertahan di kampung yang hasil kerjanya enggak seberapa, terus apa-apa serba jadi omongan tetangga.” Di dalam kamarnya yang sangat sederhana, Melati termenung.
Apa pun keadaannya. Meski statusnya sebagai istri pertama Ravael, tak lebih mulia dari wanita simpanan. Melati masih sangat menghargai Ravael. Tak pernah sekalipun ia mengeluh, meski uang bulanan yang Ravael kirim kepadanya tidak pernah lebih dari tiga ratus ribu. Sisanya karena Melati harus tetap menanggung pengobatan sang bapak yang makin ringkih, Melati bekerja sebagai kasir di alfa yang ada di kecamatan dirinya tinggal. Sesekali jika belum jam kerja terlebih jika di hari libur, Melati juga tak segan bekerja ke sawah.
Potret kehidupan yang Melati jalani masih sangat sederhana. Melati tetap tinggal di rumah semi permanen milik orang tuanya dan keadaannya tak kalah ringkih dari kesehatan sang bapak. Padahal karena dinikahi Ravael, Melati dicap sebagai simpanan pria kaya. Namun kehidupannya tak lebih miris dari warga sekitar, hingga ia yang selalu menjadi bahan gosip hangat, kerap selalu menjadi sumber canda sekaligus gelak tawa.
***