Episode 1 : Terbiasa terluka

1810 Kata
Episode 1 #luka_yang_tak_berdarah Terbiasa terluka Pagi-pagi sekali aku terbangun. Hari ini ada pemandangan tidak biasa di atas ranjang yang selalu ku tiduri. Ya Rizam 'suamiku' tengah tidur memeluk bantal tepat menghadap ke arahku. Mencoba mengabaikan desiran aneh yang menyusup begitu saja ke dalam hati, aku buru-buru bangkit berdiri. Menatap Rizam terlalu lama membuatku seakan menjadi istri yang sebenarnya. "Sudah bangun Dira? Pagi sekali." Ibu menyapa begitu melihatku menghampirinya. "Iya bu. Maaf semalam aku tidak sempat menyapa ibu, aku ketiduran." Aku sengaja berbohong, tidak ingin menyakiti perasaan wanita itu. "Tidak apa-apa. Lagi pula ibu dan Rizam memang pulang sedikit malam." Ibu tersenyum penuh kasih. Tak tega rasanya terus membohonginya. Andai ibu tau pernikahan kami tidaklah sehangat yang selalu Rizam perlihatkan. Tak ingin larut dalam perasaan bersalah, aku mulai membantu ibu menyiapkan sarapan dengan sesekali bercanda bersamanya. Saat sedang membuat kopi, mataku menangkap sosok Rizam yang mendekat. Ibu masih sibuk dengan masakannya. Beliau belum menyadari anak bungsu kesayangannya itu sedang menuju ke dapur. Tak berapa lama ibu terkaget saat tangan Rizam melingkar di perutnya. "Pagi-pagi bukanya peluk istri malah memeluk ibu." Beliau mendelik saat dengan manja Rizam menenggelamkan wajahnya di bahu wanita tua itu. "Peluk istri bisa setiap hari ibu. Tapi pemandangan pagi seperti ini sudah sangat jarang ku dapati." Rizam melepas pelukannya sembari mengedipkan mata ke arahku. Apa maksud laki-laki menyebalkan itu? Sejurus kemudian aku mengerti maksudnya setelah dengan sangat cepat satu kecupan melayang di pipiku. Ibu tersenyum bahagia melihat apa yang dilakukan anak kesayangannya. "Pagi sayang." Aku hanya tersenyum, mencoba menyingkirkan perasaan aneh yang kembali menyelinap ke dalam hati. "Kenapa cuma senyum? Biasanya kau akan membalas ciuman selamat pagi dariku." Aku menatap Rizam tajam. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Rizam membalas tatapan tajam dariku dengan tawa renyah. Sekilas aku berbalik, ibu tersenyum senang melihat kedekatan kami. Ah andai dia tau kalau Rizam tidak pernah bersikap semanis itu. "Tidak perlu malu Dira. Ibu mengerti kok. Namanya juga pengantin baru maunya mesra-mesraan melulu." Ibu berkata sembari tersenyum menggoda ke arahku dan juga Rizam. "Bukan begitu ibu. Tapi rasanya canggung saat bermesraan di depan orang tua." "Ibu juga pernah mengalami masa-masa seperti kalian. Ibu paham betul bagaimana rasanya." Beliau tersenyum simpul sambil meletakan masakan di atas meja makan. Rizam sudah tidak mendengarkan obrolan kami. Tangan dan pikiran laki-laki itu sudah sibuk dengan ponselnya. Tak berapa lama ibu menyita ponsel yang sejak tadi selalu berbunyi. Rizam ingin protes, tapi beliau sudah lebih dulu menjauhkan ponsel tersebut dari jangkauan Rizam. Ponsel itu tepat berada di hadapanku. Sebelum ponsel itu mati, dapat ku lihat dengan jelas obrolan Rizam dan Airin. Begitu mesra dan penuh cinta. Diam-diam aku merasa terluka. "Dira kenapa cuma bengong? Ayo makan." Ibu menyodorkan nasi goreng yang tadi kami buat. Sementara Rizam, laki-laki itu makan dengan begitu lahap. Apa dia sama sekali tidak merasa bersalah? Atau haruskah aku juga menganggap bahwa pernikahan ini tidak nyata? "Kamu sakit?" Ibu kembali bertanya saat aku tak kunjung mengambil nasi yang dia sodorkan. Buru-buru ku ambil nasi itu dan bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa. "Tidak bu. Maaf akhir-akhir ini aku memang banyak melamun. Mungkin karena bosan selalu sendirian di rumah." Aku sengaja mencari alasan agar ibu tidak curiga terhadap apa yang sedang ku pikirkan. "Rizam lain kali pulanglah lebih awal. Kasihan Dira. Dia kan pulang kerja jam 2, kamu juga biasanya pulang kerja jam 4, kenapa sekarang jadi ngaret pulang malam terus?" "Lembur bu. Kalau tidak lembur biasanya aku juga pulang cepat. Aku duluan bu, mau mandi terus berangkat kerja." Rizam menjawab sembari meraih ponselnya. Sekali lagi laki-laki itu melayangkan kecupan singkat di pipi. Tak ada rasa. Hambar seperti pernikahan yang sudah sebulan ini kami jalani. Hari ini ibu akan pulang. Tadi mbak Riani, kakak tertua Rizam, menelpon agar ibu bermalam di rumahnya. Kata mbak Riani anak-anaknya sudah rindu pada ibu. Aku dan Rizam tidak keberatan. Justru diam-diam aku merasa senang. Dengan begitu aku dan Rizam tidak harus berpura-pura. Entah sampai kapan kami harus seperti ini. Adakah batas waktu untuk sandiwara pernikahan ini? Sungguh konyol peran yang harus kami mainkan. *** Hari ini aku datang ke kantor dengan perasaan tidak tenang. Pasalnya secara tidak sengaja mataku menangkap sosok Rizam dan Airin yang sedang bergandeng tangan masuk ke sebuah pusat perbelanjaan. Rizam benar-benar keterlaluan. Haruskah dia bermesraan di depan umum seperti itu sedang dia sudah berstatus suami seseorang? Bagaimana jika ayah dan ibu melihatnya? Atau bagaimana jika keluarga lain tau? Apa jangan-jangan Rizam selalu seperti itu? Lalu bagaimana jika dia ketauan? "Mbak Dira baru sampai?" Aku sedikit kaget saat Risa salah seorang pegawai di kantor menghampiri. "Iya Ris aku mengantar ibu ke tempat mbak Riani dulu." "Oh. Tadi mbak Dira di cari pak Amir. Beliau mau mengenalkan mbak Dira pada direktur pemasaran yang baru." "Ya tuhan kenapa aku sampai lupa pada janji penting itu?" Aku menepuk kening sendiri dan bergegas menuju ruangan pak Amir. Tak lupa ku ucapkan terima kasih pada Risa yang sudah mengingatkan. Tak mengetuk pintu lagi aku langsung masuk begitu melihat pintu sudah terbuka. Duniaku seolah berhenti saat mataku menangkap sosok yang sekarang duduk di hadapan pak Amir. Dia menatapku dengan tatapan terkejutnya. Apa mungkin dia yang akan menggantikan posisi pak Amir? Pak Amir yang menyadari ada sesuatu yang salah, langsung menegur dan memintaku duduk. "Apa kabar Andira?" Dia menyapa. Suaranya yang merdu mampu membangkitkan kenangan lama. Kenapa harus Wisnu? Lebih tepatnya kenapa dia harus kembali? "Kalian sudah saling kenal?" Pak Amir menatap kami bergantian. Aku hanya mengangguk, tak mau menimbulkan banyak pertanyaan. "Bagus dong. Artinya kalian tidak akan kesulitan berinteraksi. Dira, Wisnu lah yang nanti akan menggantikan posisiku. Tapi ngomong-ngomong kalian kenal di mana?" Ternyata Wisnu benar-benar akan jadi atasanku. Dia menatap sekilas seolah mencari tau siapa yang harus menjawab pertanyaan pak Amir. Aku memilih mengangkat bahu dan membiarkan dia memulai cerita. "Kami satu kampus dan juga satu jurusan pak Amir. Tapi kemudian aku mengambil gelar MM di luar negeri." Pak Amir manggut-manggut mengerti. Sejurus kemudian beliau tersenyum menggoda mengajak bercanda. "Tapi sepertinya hubungan kalian lebih dari sekedar teman Wisnu. Andira tidak pernah diam seperti ini sebelumnya." Wisnu tertawa. Aku juga memaksa tersenyum menanggapi candaan pak Amir. Tak lama beliau melanjutkan ucapannya. "Tapi semua tinggal cerita. Sekarang Andira sudah ada yang punya. Dia ini masih pengantin baru." Pak Amir kembali tersenyum menggoda. Tapi kali ini seketika tawa Wisnu sirna. Aku yakin dia baru mengetahuinya. "Kau benar-benar sudah menikah?" Wisnu menatap tak percaya. Aku hanya bisa mengangguk. Aku tidak ingin menyembunyikan pernikahanku dan Rizam pada Wisnu. Untuk apa? Meski ku sembunyikan, kenyataan tidak akan pernah berubah. Raut wajah Wisnu bermuram durja. Mungkinkah dia kembali untuk menepati janji? Kenapa baru sekarang Wisnu? Kenapa tidak datang lebih awal? "Kita harus bicara Andira." Wisnu menarik tanganku untuk berdiri setelah pamit secara sopan pada pak Amir. Aku ingin menolak. Tapi genggaman tangan Wisnu begitu kuat hingga tak memberiku kesempatan untuk melepaskan diri. Sepanjang jalan menuju mobil, Wisnu tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. Apa hal seperti ini bisa di sebut romantis untuk istri yang tidak pernah di perlakukan istimewa sepertiku? "Kita mau kemana Wisnu?" Aku membuka suara setelah mobil Wisnu cukup jauh meninggalkan area kantor. "Kemana saja asal kita bisa bicara." "Kita bisa bicara disini kan?" Wisnu menatapku yang sengaja mengalihkan pandangan darinya. "Tidak bisa di mobil Dira. Aku tidak yakin apa aku bisa konsentrasi membawa mobil jika kita bicara sekarang." "Memangnya apa yang harus kita bicarakan? Hubungan kita sudah selesai Wisnu. Aku sudah menikah." Wisnu menghentikan mobil tiba-tiba. Beberapa pengguna jalan berteriak marah karena kelakuannya. Wisnu menatapku tajam. Tak peduli di luar sana bunyi klakson bersahutan. "Selesai?" "Wisnu apa yang kau pikirkan? Cepat jalan. Kita bisa di tangkap polisi karena membuat kekacauan." "Kau bilang ingin bicara disini Andira. Bukankah ini maumu?" "Ku mohon Wisnu. Berhenti bersikap kekanak-kanakan. Baiklah kita akan bicara. Tapi tidak disini." Wisnu tidak menjawab tapi kini dia mulai menjalankan mobilnya kembali. Kenapa Wisnu marah? Apa dia sama setianya sepertiku? Apa dia masih memegang janjinya untuk kembali padaku? Lalu apa yang sudah ku lakukan? Kenapa aku malah membina rumah tangga dengan orang yang tidak ku cinta? Harusnya hari itu ku gelengan kepala. Harusnya tidak ku turuti perintah Ayah. Wisnu menghentikan mobilnya di sebuah restoran mewah. Sejujurnya aku ragu untuk turun dan mengikuti langkah laki-laki itu. Melihat keraguanku, Wisnu kembali menarik tanganku agar sejajar dengan langkahnya. Aku membiarkan, bahkan aku menikmati. Apa aku salah? Bukankah Rizam juga tidak pernah menganggap pernikahan kami nyata? Aku tetap diam ketika Wisnu memesan makanan untuk kami berdua. Laki-laki itu tidak kunjung bicara. Dia hanya memandang dengan raut wajah penuh kerinduan. Bahkan ketika pramusaji menghidangkan pesanan di atas meja, Wisnu tetap tidak bicara. Dia makan dalam diam. Aku pun melakukan hal yang sama. Cukuplah tatapan menjadi bukti, kalau cinta kami masih bersemi di dalam hati. Selesai makan aku memilih menenangkan diri ke kamar mandi. Berlama-lama menatap Wisnu, membuat dadaku terasa sesak. Duduk berdua dengannya, membuatku rindu masa-masa dulu. Setelah cukup tenang aku baru kembali ke meja yang tadi kami tempati. Tapi kini Wisnu tidak sendiri, dia tengah duduk dengan dua orang yang sepertinya sangat ku kenali. Benar saja, saat sampai di hadapan mereka dan bertatapan langsung dengan laki-laki yang tadi membelakangiku, kegugupan menguasai diri. Dia Rizam dan di sampingnya adalah Airin. Aku memang belum pernah bertemu secara langsung dengan Airin, tapi beberapa kali foto wanita itu menjadi tampilan depan ponsel Rizam. Itulah mengapa aku langsung bisa mengenalinya saat kami bertemu. "Hei kau sudah kembali?" Wisnu tersenyum senang dan menarik tanganku hingga berada di sisinya. Rizam bersikap biasa. Sepertinya laki-laki itu tidak peduli kalau seseorang berbuat apa saja pada istrinya. "Dira kenalkan dia Rizam teman dekatku saat kuliah di luar negeri dulu dan wanita ini Airin. Dia kekasih Rizam." Aku bingung harus bersikap seperti apa. Haruskah ku ulurkan tangan dan pura-pura tidak mengenal Rizam? Menjawab kebingunganku Rizam sudah lebih dulu mengulurkan tangannya. "Aku Rizam. Jadi dia Andira yang sering kau ceritakan dulu?" Buru-buru ku sambut uluran tangan Rizam dan Airin. Canggung sih. Tapi sepertinya Rizam menginginkan sandiwara ini. "Iya. Tapi sepertinya aku pulang terlambat." Aku mencubit lengan Wisnu agar dia tidak melanjutkan ucapannya. "Ada apa Dira? Apa kau keberatan jika ku katakan kalau kau sudah menikah?" "Bukan begitu Wisnu. Aku hanya tidak nyaman dijadikan bahan obrolan kalian." Airin hanya tersenyum. Tidak menanggapi apa-apa. Wanita itu sepertinya bosan menunggu Rizam menyelesaikan obrolannya. Tau kalau Airin sudah tak nyaman, Rizam memilih pamit pada kami. Aku hanya bisa menatap kepergian Rizam dengan hati terluka. Sebegitu cintanya Rizam pada Airin. Dia tidak mau Airin marah sedikit saja. Tapi padaku, dia bahkan berani berbuat kasar. Sepeninggal Rizam dan Airin, aku menyambar tas tangan yang kubawa. "Sebaiknya kita kembali ke kantor Wisnu." "Tapi kita belum bicara Dira." "Kita bicara lain kali saja. Bukankah kita akan bertemu setiap hari?" Wisnu tersenyum, memilih mengalah. Dia adalah sosok yang sangat pengertian. Wisnu yang selalu bersikap seperti itu membuatku sulit untuk melupakannya. Tuhan apa yang sebaiknya ku lakukan? Mengapa Wisnu harus hadir di tengah pernikahan kami yang hampir tidak nyata? Apakah Wisnu adalah jawaban untuk sandiwara yang belum tau seperti apa akhirnya? Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN