Ch-08

1646 Kata
Dua hari berlalu sejak Dinda memergoki Aryo mengantar Magdalena pulang. Hari-hari berjalan seperti biasa. Dinda sama sekali tak menyinggung tentang Magdalena, Aryo pun bersikap normal. Dinda mulai mempertanyakan kejujuran Aryo. Kepercayaan Dinda mulai berkurang. Meski begitu, Dinda tetap berusaha berfikir positif bahwa hubungan Aryo dan Magdalena tak lebih dari profesional kerja. Lima tahun bukan waktu yang pendek bagi Dinda untuk mengenal sifat seorang Magdalena. Dinda menepis semua hal buruk yang beberapa hari ini sering mengganggu pikirannya. Pagi ini adalah hari pertama ia memulai kerja, ia harus terlihat bahagia di depan anak asuhnya. Hidup lebih dari dua puluh tahun di panti asuhan tentu membuat Dinda berpengalaman hidup bersosial dengan orang lain terlebih anak kecil. "Kakak..." panggil seorang anak saat jam makan siang. Dinda menoleh. Matanya terbelalak tak percaya melihat seorang anak yang membawa piring bekal makan siang ke arahnya. "Kevin!!" seru Dinda. Kevin tersenyum memperlihatkan gigi ompong nya. "Hei, Kamu juga sekolah disini ya?" Dinda menyambut Kevin dan mengajaknya duduk bersamanya. Kevin mengangguk. "Kak Dinda masih ingat Kevin?" tanya Kevin malu-malu. "Tentu Sayang..." Dinda mengusap lembut kepala bocah laki-laki yang ia selamatkan beberapa waktu yang lalu itu. Dinda menemani Kevin yang terlihat tak memiliki banyak teman. Rupanya Kevin hanya beberapa kali berada di daycare tersebut. "Dia selalu diantar sopir pribadi bersama neneknya. Nah, pulangnya baru deh papanya yang jemput," terang Susi, salah satu pengasuh seperti Dinda. "Memang ibunya kemana?" tanya Dinda penasaran. "Katanya sih udah cerai dua atau tiga tahunan yang lalu. Dinda tiba-tiba merasa iba. Ia mengamati Kevin dari luar kelas. Di saat teman yang lain asyik bermain dengan teman seusianya, Kevin lebih memilih menyendiri. "Kamu kenal ya Din?" Dinda tersentak dari lamunan. "Nggak juga Sus. Cuma kebetulan si Omanya Kevin itu tetangganya mertuaku," terang Dinda. Dinda memang tak tahu apa yang terjadi dengan orangtua Kevin, tetapi Dinda yakin Bu Inggrit adalah wanita baik dan sangat menyayangi cucunya. ** Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebagian besar anak-anak di tempat penitipan sudah dijemput. Dinda pun bersiap untuk pulang. Ketika ia hendak meninggalkan ruang guru, dari arah berlawanan Susi terlihat berlari ke arahnya. "Dinda! Kamu mau pulang ya?" "Iya. Ada apa Sus?" tanya Dinda sebab Susi terlihat ngos-ngosan sembari memegang ponselnya. "Din, maaf-- Kamu bisa gantiin aku piket hari ini nggak? adikku baru aja ngabarin kalau ibuku masuk rumah sakit, aku harus segera menyusul kesana," terang Susi terburu-buru. "Oh, tentu Sus. Kamu pulang aja biar aku yang gantiin piket Kamu," jawab Dinda. "Makasih banyak Din..." Dinda kembali menaruh tasnya. Tak masalah baginya terlambat pulang satu jam. Ia cukup mengirim pesan pada suaminya. Dinda berjalan menuju ruang depan, tempat beberapa anak menunggu orang tua, pengasuh ataupun sopir yang biasa menjemput mereka. Ketika Dinda masuk, masih ada tiga anak yang berada di dalam ruangan tersebut, termasuk Kevin. Melihat Dinda kontan membuat Kevin yang semula hanya terdiam berubah menjadi sumringah. "Kakak.." lirih Kevin. Dinda tersenyum ramah. Ia bergabung bersama tiga anak yang masih berada di tempat itu. Hingga waktu sudah hampir menunjukkan pukul lima, Kevin belum juga dijemput. Jono, si penjaga sekolah terlihat berdiri di depan ruang kelas. "Neng, coba hubungi kontak orangtuanya. Saya harus pulang sebab abis ini saya mau nganter istri kerja," kata Jono terlihat gusar. Dinda yang hari itu baru pertama kali kerja tentu belum hafal dengan wali dari anak asuhnya. "Gini aja Bang. Kunci aja sekolahnya. Kita tunggu di luar gerbang aja. Saya tahu alamat rumah nenek Kevin kok. Saya coba hubungi Susi dulu, nanti kepepetnya nggak ada yang jemput biar saya yang anter Kevin pulang," tawar Dinda. Awalnya Jono terlihat ragu, tetapi istrinya pun sudah menunggu di rumah. Akhirnya ia menerima tawaran Dinda. "Kak, aku hafal nomer ponsel Papa kok!" kata Kevin ketika keduanya duduk di luar gerbang. Mendengar ucapan Kevin, Dinda segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi ayah Kevin. Baru saja menekan beberapa angka, terlihat sebuah mobil berhenti di depan mereka. Seorang pria masih lengkap dengan kemeja dan jas kerjanya keluar dari mobil dengan tergesa. "Kevin! Maaf karena Papa terlambat," kata pria itu sembari berjongkok dan memegang kedua bahu putranya. Ia lumayan shock karena mengira Kevin akan merajuk bahkan menangis. Namun, Kevin tak memperlihatkan ekspresi itu, ia malah terlihat bahagia. "No Problem Papa, Kevin ditemenin Kak Dinda disini.." Bagas mendongak. Ia terkesiap menyadari Dinda lah yang bersama putranya saat ini. "Kamu? Kok bisa?" Rupanya Bagas masih mengingatnya. "Iya Pak. Saya salah satu pengasuh disini," ucap Dinda sembari tersenyum. "Makasih ya Dinda sudah menjaga Kevin. Tadi salah satu karyawanku harus dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan. Jadi.. Yah! ada beberapa hal yang harus saya urus terlebih dahulu," terang Bagas. "Nggak papa Pak. Pak Bagas tidak perlu khawatir. Kevin nggak rewel kok," jawab Dinda. "Gimana keadaan karyawannya Pak?" "Tadi sudah diurus sama manager di departemennya. Sudah dibawa ke rumah sakit," terang Bagas. "Ya sudah. Sekarang Kevin pamit sama Kak Dinda dulu," perintah Bagas pada putranya. Kevin mencium tangan Dinda kemudian mengikuti ayahnya masuk ke dalam mobil. Tak lupa ia melambaikan tangan pada Dinda. "Pa.. Kok Kak Dinda nggak diajak pulang bareng? Kita kan tahu dimana rumah kak Dinda," tanya Kevin pada ayahnya. "Kak Dinda sudah ada yang jemput Kev. Sebentar lagi pasti suami Kak Dinda tiba," jawab Bagas. "Papa tahu darimana? tadi Kevin tanya kak Dinda pulangnya naik ojol kok. Suami kak Dinda lembur di kantor," ucap Kevin lagi. Bagas melirik dari spion. Wanita muda itu terlihat berjalan sambil memainkan ponselnya. Benarkah yang dikatakan Kevin? Jika pun benar, Bagas tak berhak untuk peduli pada Dinda. Sejak menyandang status sebagai seorang duda, Bagas semakin berhati-hati dalam bergaul. Terhadap gadis single saja ia tak sembarangan berteman apalagi dengan seorang wanita bersuami seperti Dinda. "Kita ke rumah sakit ya, nganter Oma periksa," kata Bagas untuk mengalihkan perhatian Kevin yang terlihat masih memandangi Dinda meski mobilnya sudah menjauh. "Oke Pa.." jawab Kevin. Bagas tersenyum melihat putranya kembali duduk dengan benar di kursinya. _____________________________________ Dinda menarik nafas panjang menatap layar ponselnya. Mas Aryo : [Din.. Kamu makan malam sendiri ya. Mas pulang terlambat karena masih ada urusan.] Dinda meletakkan ponselnya di atas meja makan. Entah mengapa ia merasa Aryo mulai berubah. Jika dulu Aryo selalu menceritakan tentang jadwal hariannya, maka kini tidak lagi. Bahkan meeting ataupun acara keluar kota Dinda tak lagi tahu. Di saat otak Dinda dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, tiba-tiba sebuah nama muncul di pikirannya. Magdalena. Dinda kembali meraih ponselnya untuk menghubungi Lena. Cukup lama ia menatap nama Lena pada ponselnya. Butuh kekuatan bagi Dinda untuk memastikan apa yang ada di pikirannya saat ini. Tak pernah Dinda seberat ini hanya untuk menghubungi Lena, sahabatnya. Dinda menarik nafas panjang sebelum akhirnya menekan tombol berwarna hijau. Tuut... Tuut... Tuut... "Halo..?" sapa seseorang dari seberang. "Halo.. Lena?" tanya Dinda perlahan. "Maaf.. Saya Ita, temennya Lena. Ponsel Lena masih saya bawa karena dia dirawat di IGD," Deg. Dinda tersentak kaget. "IGD?" "Iya. Sore tadi kesrempet mobil waktu pulang dari kantor. Ini saya mau nganter ponselnya ke rumah sakit." "Bisa kasih tahu di rumah sakit mana? Saya--- saudaranya," bohong Dinda. Setelah mendapatkan informasi tentang keberadaan Lena, Dinda segera berganti pakaian untuk bersiap ke rumah sakit tempat sahabatnya itu dirawat. Meskipun beberapa waktu yang lalu Dinda sempat kecewa pada Lena, tapi ia tahu betul bahwa Lena di Jakarta hidup sebatang kara. Tak ada sanak saudara di ibukota ini. Mungkin hanya Dinda lah satu-satunya teman dekat Lena saat ini. Dinda berlari menuju ruang IGD. Namun, tak ada Lena di bilik manapun. Dinda bertanya pada salah satu perawat. "Magdalena? Oh, pasien yang kecelakaan ya? Dia baru saja dipindah ke bangsal rawat inap karena masih perlu observasi cidera kepala," jelas perawat tersebut. Perasaan Dinda makin tak karuan, ia takut terjadi sesuatu yang serius pada sahabatnya itu. Dinda bergegas menuju kamar yang disebutkan oleh perawat. Dinda berhenti di depan bangsal bertuliskan : Kencana 4. Seorang perawat baru saja keluar dari kamar. Dinda segera masuk sebelum pintu tertutup. Namun, baru saja melangkahkan satu kakinya, Dinda dibuat mematung di depan pintu. Jantungnya seakan berhenti berdetak melihat pemandangan di depannya. Aryo membopong Magdalena kemudian membaringkannya di atas brankar. "Terima kasih Mas.." kata Lena ketika Aryo menata bantal bahkan menyelimuti tubuhnya. Aryo mengangguk. "Lain kali jangan melakukan hal senekat itu Lena.. Bagaimana kalau aku tadi menabrak mu?" tanya Aryo yang kini duduk di samping brankar, menatap pilu ke arah Magdalena. "Aku hanya ingin membuktikan bahwa kata-kata ku benar Mas. Kamu juga harus jujur dengan perasaanmu! Jangan membohongi diri! Jika Kau tak memiliki perasaan padaku, Kau tak mungkin meniduriku---" tutur Lena. "Aku mabuk, Lena! Tolong jangan bahas hal itu lagi," tukas Aryo. Magdalena tersenyum kecut. "Lalu bagaimana dengan ciuman yang kita lakukan beberapa kali, hah? Apa Kau juga mabuk saat itu?!!" protes Lena. "Aku--" "Aku tau Kau menikmatinya, Mas! Aku bisa melihatnya! Kau butuh seseorang yang bisa membuatmu bahagia! Kau butuh wanita yang bisa memberimu anak! Dan apa Kau tahu mengapa Dinda tak pernah mau pergi ke klinik kesehatan untuk melakukan pemeriksaan??!!" tanya Lena. Aryo mendongak bingung dan penasaran. "Itu karena dia takut menerima kenyataan bahwa dia mandul, Mas!! Dia takut Kau pergi meninggalkan-- Akh!!" Lena tiba-tiba memegang kepalanya. Wajahnya merah padam menahan sakit. "Kendalikan dirimu Lena... Stop!! Jangan banyak pikiran, Kau harus istirahat," terang Aryo. Meski terlihat ragu, tetap saja Aryo mengusap kepala Lena. Susah payah Dinda menelan saliva. Ia merasa langit baru saja runtuh menimpanya setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Magdalena. Ia tak menyangka teman curhatnya itu justru menusuknya dari belakang. Seketika Dinda terhuyung hingga menabrak pintu. Hal itu membuat Aryo dan Magdalena menoleh. Keduanya menatap Dinda dengan wajah shock. "Din--da..." lirih Aryo. Seketika ia menyingkirkan tangannya dari kepala Lena kemudian bangkit dari duduknya. Dinda merasa tubuhnya seringan kapas dengan kepala berputar-putar. Jauh-jauh ia berlarian demi menemani sahabatnya yang tertimpa musibah, tetapi betapa shock nya dirinya ketika menyadari sudah ada orang lain yang kini bersama sahabatnya itu. Ironisnya lagi, orang tersebut adalah suaminya sendiri. "Apa Kau masih bisa menyanggah setelah melihat dan mendengar semua itu Dinda??!!" "Inikah wanita yang selama ini Kau anggap sahabat??" "Inikah pria yang selalu Kau banggakan?" "Pantaskah pria seperti ini menerima kesetiaanmu??? Next▶️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN