Ch-01

1080 Kata
"Enak banget ya jadi Kamu! suami kerja banting tulang, Kamu nya cuma di rumah enak-enak kan nonton TV! ngurus suami aja nggak becus! Mama lihat Aryo makin nggak terurus setahun terakhir ini!" teriak Yanti pada Adinda. "Kamu ini wanita apa bukan, hah? kalau wanita harusnya bisa hamil donk!" lanjut Yanti lagi. "Mama menyesal menyetujui hubungan Kamu sama Aryo! Mama pikir Kamu bisa menjadi istri yang baik buat Aryo, tapi apa? udah nggak bisa ngerawat suami, masih ditambah mandul! benar-benar bikin beban aja Kamu!" Adinda memejamkan mata mengingat kembali umpatan dan hinaan yang ia terima dari Yanti, ibu mertuanya. Untuk kesekian kalinya Yanti kembali menghinanya. Mertua yang beberapa tahun lalu masih sangat menyayanginya itu kini berubah drastis. Tak ada lagi pujian atau sikap ramah. Kini semua yang keluar dari mulut Yanti hanyalah ribuan panah yang menghujam hati dan perasaan Adinda. Alasannya hanya satu, sejak tiga tahun pernikahan dirinya belum bisa memberikan cucu untuk Yanti. "Mbak, sudah sampai." Suara driver ojol membuyarkan lamunan Dinda. Ia segera turun dan melepas helm. Setelah menyelesaikan transaksi, Dinda bergegas menuju bangunan megah tempat suaminya bekerja. Seperti biasa Dinda hanya menunggu di taman yang ada di samping kantor Aryo. Ia merogoh ponsel dan mulai menghubungi suaminya. Terdengar nada panggilan terhubung, tetapi Aryo tak kunjung menjawab. Dinda baru saja mencoba mengirim pesan untuk Aryo ketika seseorang memanggil namanya. "Dinda!" Mendengar namanya dipanggil, Dinda segera menoleh. Seorang wanita cantik berpostur tinggi semampai dengan rambut panjang curly di bagian bawahnya berjalan ke arahnya. "Lena?" sapa Dinda diiringi senyum manis. Dinda mengenal Magdalena dengan baik sebab keduanya sudah berteman bahkan sebelum gadis itu bekerja sebagai karyawan Aryo. "Hai! kok duduk disini? mau ketemu Pak Aryo ya?" tanya Lena ramah. "Iya, Len. Mau nganter bekal makan siang," jawab Dinda sembari menunjukkan Tote bag di pangkuannya. "Mertua Kamu pasti di rumah!" tebak Lena sambil tertawa. Dinda mengangguk lemah. Lena paham betul jika Dinda mengantar bekal makanan, berarti Yanti tengah berkunjung ke rumah temannya itu. "Kamu ngetawain aku ya, Len?" tanya Dinda. Wajahnya terlihat sedih. "Nggak gitu, Dinda.. Cuma heran aja, kenapa sih Kamu harus nurutin omongan mertua Kamu. Sekali-kali bilang donk kalau Pak Aryo nggak perlu dibawain bekal begini. Lagian nanti juga ada meeting, dia nggak mungkin kelaperan," jelas Lena. Dinda hanya menghembuskan nafas panjang. "Emang dia ada meeting ya hari ini?" tanya Dinda. "I--Iya! apa pak Aryo nggak bilang sama Kamu?" Lena balik bertanya, ekspresiya tiba-tiba berubah. Sayangnya Dinda tak menyadari hal itu. Dinda menggeleng."Seandainya dia bilang pun, aku tetap diminta nganter ini kesini," Dinda kembali menatap tote bag di atas pangkuannya. Lena melirik ke arah Dinda, ada rasa iba sekaligus kesal pada sahabatnya itu. Kesal karena merasa Adinda terlalu lugu dan tak bisa melawan intimidasi dari mertuanya. "Lena, aku minta tolong kasih bekal ini ke mas Aryo ya.."pinta Dinda. Lena tersenyum dalam hati. Selalu dan selalu begitu. Dinda tak pernah mau masuk ke kantor suaminya. Dinda merasa tak percaya diri berada di lingkungan Aryo. "Aku sudah menghubungi mas Aryo tapi dia nggak jawab. Mungkin lagi sibuk," kata Dinda lagi. Lena tampak menghela nafas sebelum menerima Tote bag dari tangan Dinda. "Oke, ntar aku kasih ke pak Aryo," "Makasih banyak Len!" seru Dinda tampak senang. Beberapa saat kemudian terdengar deringan ponsel Lena, wanita cantik itu berdiri dan menjawab panggilan yang tampak penting. Adinda terus mengamati Lena. Terkadang ia merasa iri karena Lena begitu pandai merawat diri. Lena selalu terlihat cantik, jauh berbeda dengan dirinya. Selain cantik, Magdalena juga ramah sehingga memiliki banyak teman. Tak perlu diragukan lagi berapa banyak pria yang mengantri untuk menjadi kekasihnya. "Dinda, sorry. Aku harus kembali ke dalem. Umm-- kamu yakin nggak mau masuk dulu?" tanya Lena pada Dinda. "Nggak Len, aku titipin Kamu aja ya," jawab Dinda tulus. "Oke, hati-hati di jalan ya..." ucap Lena lagi sebelum akhirnya pamit pergi. Dinda melambaikan tangan mengiringi kepergian Lena. Ia lantas beranjak dari duduknya. Waktu masih terlalu dini untuk kembali pulang. Yanti sudah kembali ke rumahnya, jadi Dinda memiliki waktu luang untuk sekedar menikmati udara pagi. Ia berencana untuk pergi ke pasar. Dinda mungkin tak sehebat Lena dan wanita-wanita lain yang berpendidikan tinggi dan pandai mempercantik diri, tetapi setidaknya ia masih bisa merawat dan menyajikan makanan yang lezat untuk suaminya. ______________________________ Tok. Tok. Tok. "Masuk!" Lena membuka pintu ruang pimpinan cabang setelah terdengar jawaban dari dalam. Terlihat seorang pria tengah sibuk di belakang laptopnya. "Selamat siang Pak Aryo..." sapa Lena. Aryo mendongak kemudian tersenyum. "Siang Lena," jawabnya. Ia melepas kacamata kemudian menatap Lena yang berjalan mendekat. "Pak, tadi Dinda kesini." "Dinda?" tanya Aryo, seketika ia merogoh kantong kemejanya. Ketika tak menemukan apa yang ia cari, ia membuka laci, tangannya meraih benda pipih dari dalam laci kemudian menghembuskan nafas berat. "Yah, aku tak tahu dia meneleponku," Lena tersenyum. Ia meletakkan totebag berisi kotak makan siang di atas meja. "Dinda meminta saya memberikan ini untuk Anda Pak," kata Lena. "Oh, terimakasih Lena," jawab Aryo. Lena mengangguk kemudian pamit untuk pergi. Baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba... "Ahh!!" pekik Lena. Aryo beranjak dari duduknya untuk menghampiri si sekretaris. "Lena, Kamu baik-baik saja?" tanya Aryo panik. Lena berdiri dengan satu kaki tertekuk ke samping. Aryo berlari menangkap tubuh Lena yang hampir terjatuh ke lantai. "Sepatu Kamu terlalu tinggi, Kamu harus lebih berhati-hati Len..." ucap Aryo. Lena tak menjawab dan justru menatap wajah Aryo yang kini hanya berjarak beberapa senti di atasnya. "Lena.." lirih Aryo. Lengannya masih menyangga pinggang ramping Lena, sedang kedua mata mereka masih saling menatap menimbulkan desiran tak biasa. Sedetik kemudian Aryo merasakan sebuah kecupan mendarat tepat di atas bibirnya. Terasa hangat, penuh, dan sensual. "Lena!" cegahnya. Ia mencoba menjauh karena sadar siapa Lena. Aryo sangat mencintai Dinda, dia tak mungkin berselingkuh dengan wanita yang berteman baik dengan istrinya itu. Bukannya sadar dengan penolakan Aryo, Lena justru melingkarkan kedua lengannya pada leher Aryo. "Aku tahu Kau menginginkannya Mas Aryo.. Aku bisa memberikan lebih dari apa yang bisa diberikan istrimu.." lirih Lena yang terdengar seperti sebuah desahan manja. "Lena-- Aku--" Belum selesai Aryo bicara, Lena kembali memberikan sebuah sentuhan di bibirnya. Sentuhan yang lebih dalam hingga Aryo tak sanggup untuk menolaknya. Lelaki mana yang sanggup menolak apa yang Lena tawarkan. Apalagi sudah beberapa minggu ini Aryo tak pernah lagi bermesraan dengan Dinda. Rumah tangganya terasa monoton dan tak berwarna lagi. Dan siang ini, di saat dirinya merindukan kehangatan itu, Lena memberikan apa yang ia butuhkan. "Mas Aryo.. Pelan-pelan.." desah Lena yang sudah menunggu saat-saat seperti ini. "Aryo... Akan kubuat Kau menyesal karena lebih memilih Dinda daripada aku!" batin Lena. Ia tersenyum puas, membiarkan Aryo mengeksplore leher jenjangnya dengan penuh nafsu. Next▶️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN