6. Cemburu

1065 Kata
Aku menarik gerobak berisi banyak rongsokan di teriknya sinar matahari yang menyengat. Aku seorang diri, sejak pagi berkelana menyusuri jalanan. Sejak kepergian Kak Alfath kemarin, dia juga sama sekali tidak menghubungiku. Aku menekankan pada hatiku, agar aku bisa tanpanya. Sudah diberi tempat tinggal dan disekolahkan saja harusnya aku bersyukur. Serakah bila aku meminta lebih. Langkahku membawaku di depan mini food court. Banner minuman dengan tulisan booba itu banyak digemari anak remaja. Namun, sekali pun aku tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya. Jangankan membeli minuman yang terkenal mahal, membeli tempe lima ribu saja kadang uangnya pas-pasan. Sepatu mahal berwarna putih dua pasang menarik mataku untuk melihat. Aku mendongak, mendapati pemilik sepatu itu. Kak Alfath dan seorang wanita cantik berdiri tidak jauh dariku. Aku menegug ludahku kasar. Mataku bersitubruk dengan mata Kak Alfath yang berpenampilan sangat keren, dan wanita cantik itu yang melabrak ku tempo hari lalu. Aku menunduk, tanpa permisi aku pergi menyeret kembali gerobak ku. Sesak di dadaku saat Kak Alfath tidak menyapaku. Memang apa yang aku inginkan, kemarin aku minta Kak Alfath pergi, lalu kenapa aku mengharapnya lagi. Lagian aku juga takut bila Kak Alfath peduli padaku di depan wanita itu, wanita itu pasti akan lebih murka kepadaku. Hatiku gerimis pilu dengan air mata yang menggenang. Tidak aku sangka akan bertemu dengan Kak Alfath dalam kondisi seperti ini. Kak Alfath dengan tampilan modisnya dan wanita itu yang tak kalah keren, tengah memegang dua gelas minuman mahal yang pasti rasanya sangat enak. "Tuhan, bolehkah hambamu ini mengeluh?" isakku menghapus air mata yang dengan sendirinya jatuh. "Kenapa harus aku yang ada di jalanan ini? Bolehkah aku bertukar posisi dengan nona cantik tadi yang memiliki segalanya?" "Aku tidak mau lahir dan hidup berbeda dari orang lain. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya senang saat bersama teman, berangkat sekolah diantar ayah, main dan makan-makan di tempat enak." Aku memilih berhenti di dekat taman bermain. Aku posisikan gerobak agar tidak menghalangi jalan. Aku berjongkok, bersembunyi di samping gerobak ku untuk melanjutkan tangisanku. Sesak di hatiku tidak main-main, semua rasa sakit menggumpal jadi satu. Saat di pondok, aku tidak bisa leluasa menyalurkan emosiku, karena ada adik-adik yang semangatnya harus aku bangun. Kalau kakaknya cengeng seperti aku, lalu bagaimana aku akan menguatkan adik-adik ku?. Pipiku terasa dingin saat ada sesuatu yang menempel. Aku mendongak, melihat anak remaja berpakaian seragam abu-abu putih menyentuhkan sebotol minuman dingin di pipiku. "Haus? Ini minum!" ucap laki-laki itu. Aku mengusap air mataku sebentar sebelum menerima. Laki-laki itu ikut duduk di sampingku. "Minumlah!" "Makasih, Kak," ucapku. Aku meneguk sebotol air itu sampai habis separuh. Untunglah ada orang berbaik hati yang memberikanku minum. "Kenapa kamu menangis?" tanya kakak itu. "Gak apa-apa," jawabku memaksakan senyum. "Jangan cepat bersedih, dan jangan pernah berprasangka buruk. Setiap kehidupan ada jalan masing-masing. Kita tidak tau kedepannya kita seperti apa. Berbaik sangka itu pilihan yang tepat. Selain membuat kita optimis, hati kita juga akan tenang," jelas pria asing itu yang membuatku mengerutkan alis. Bagaimana dia bisa tau apa yang sedang aku alami. "Aku biasa memperhatikanmu lewat jalan sini. Dari raut wajahmu selalu sedih. Kecuali ... kalau ada satu cowok yang menemanimu," ucap pria itu lagi yang seolah tau kebingungan ku. "Oh dia, dia yang mempunyai pondok tempat aku tinggal. Biasanya dia bantu aku mulung," jawabku. Tampak laki-laki itu menganggukkan kepalanya. ****** Aku mematung melihat Adiva yang berhenti di tempatku membeli minuman bersama Azia. Dapat aku lihat kalau Adiva menginginkan minuman booba yang juga aku beli. Raut wajah Adiva tak kalah terkejut saat melihatku. Aku melirik Azia, seketika itu aku merasa bersalah pada Adiva. Aku takut kalah Adiva mengira Azia adalah pacarku. Eh tapi, bukankah Adiva sudah tidak mempedulikanku?. Dengan keterdiamannya, Adiva pergi menyeret gerobak yang tidak ringan. Tubuh ringkih nya sampai harus membungkuk agar bisa menyeret gerobak itu. Pakaian lusuh penuh dengan tambalan membuat aku sesak merasakannya. Sebagaian baju Adiva adalah baju bekas Azia. Walau ada beberapa yang aku belikan baru. "Kak!" panggil Azia memukul pundakku dengan kencang. Aku meringis sewot. Kenapa adikku kasar sekali. "Apa?" "Ayo kita pergi. Aku kepanasan di sini terus," ajak adikku merengek. "Kamu kembalilah ke mobil. Kakak ada urusan sebentar," ucapku. "Urusan apa lagi? Sibuk terus deh perasaan." "Sebentar doang. Nanti kakak akan nyusul. Dah sana ke mobil. Biar gak gosong kulit kamu." "Iya. Biar gak lusuh, dekil, kayak anak gembel bernama Adiva tadi," ketus Azia menghentak-hentakkan kakinya berjalan menuju mobil mewah yang menunggu. Adiva lusuh, dekil, dan gembel, kata-kata itu akan sangat menyakitkan bila diucapkan langsung di depan Adiva. Tidak bisa Aku bayangkan bagaimana bila Adiva mendengarnya. Aku tidak menyalahkan adikku bila adikku berpikir seperti itu. Memang benar kenyataannya, tapi juga tidak baik bila diucapkan. Aku menyusuri langkah membuntuti Adiva. Walau hatiku mengatakan untuk tidak peduli, nyatanya aku tetap peduli. Aku memikirkan kata-kata papaku, kalau setiap perlakuan pasti ada sebabnya. Aku akan mencari tahu nanti, saat ini aku harus melihat keadaan Adiva. Mataku memanas marah saat Adiva tampak nangis sembari jongkok di balik gerobak. Aku marah pada diriku sendiri yang tidak bisa menenangkannya. Apalagi, aku yakin kalau alasan Adiva menangis adalah aku. Pasti Adiva berpikir kalau Azia adalah pacarku. Aku mengenyahkan pemikiran ngawur ku. Tidak mungkin Adiva menangis karena aku. Ubun-ubunku tambah menanas kala ada seorang laki-laki berseragam SMA yang menghampiri Adiva. Sial, laki-laki itu dengan sok pahlawannya memberikan minum pada Adiva. Adiva mengusap air matanya sebelum menerima. Dengan langkah seribu, aku mendekati Adiva yang tampak berbincang asik dengan laki-laki itu. "Adiva!" panggil ku menyentak mereka berdua. "Kakak!" Adiva berdiri dengan spontan. Dengan perasaan kesal campur aduk, aku merebut minuman Adiva dan membuangnya dengan asal. "Kakak, kenapa dibuang?" protes Adiva. "Jangan menerima apa pun dari orang asing!" tandas ku tajam. "Eh lo jangan sewot dong. Niat gue baik buat kasih minum," ucap laki-laki itu mendorong bahuku. Aku mendorong bahunya lebih keras. Kucengkram erat kerah lehernya dengan penuh emosi. "Jauhi, Adiva. Walau lo baru kali ini ketemu Adiva, gue pastikan lo gak akan pernah ketemu dia lagi!" ucapku meremehkan. Aku melepas kasar cengkraman tanganku. Dia mengalah, melenggang pergi dengan mengacungkan jari tengahnya padaku. "Kakak apaan sih? Kenapa kakak mengusir orang tadi? Orang tadi baik hati kasih aku minum," ucap Adiva dengan marah. "Aku gak suka kamu dapat apa pun dari orang lain selain aku," jawabku dengan mutlak. Aku mengambil es booba yang tadi sempat aku letakkan di bawah. Mencobloskan sedotan ke minuman gelas itu dan memaksa Adiva untuk meminumnya. "Minum!" titahku menahan kepala Adiva.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN