9. Segalanya tawananku

1032 Kata
"Kak kita mau ngapain?" tanyaku pada Kak Alfath yang kini menyeretku untuk terus mengikuti langkahnya. Kak Alfath hanya bergeming, tidak menjawab. Aku kesal sekaligus sakit hati karena tingkah kak Alfath hari ini. Ternyata dia tidak tulus menolongku. Kak Alfath hanya ingin hatiku yang sekarang jadi tawanannya. Aku tidak menyangka kalau Kak Alfath setega ini padaku. Aku pikir, kasih sayang Kak Alfath sangat tulus, ternyata apa? Sekarang penilaianku terhadap dia jadi buruk. Memang bagaimana bisa orang asing menyayangiku? Dulunya aku hanya gadis malang yang dibuang orang tuaku, lalu tanpa sengaja ditemukan Kak Alfath, ditolong dan diberikan tempat tinggal. "Kak!" panggilku. "Hem." Sepertinya Kak Alfath enggan menjawab. Sekali menjawab hanya suara deheman. "Apa semua anak-anak di pondok akan berakhir sama denganku? Maksudku akan diambil hatinya?" tanyaku takut-takut. Kalau benar iya, nanti aku akan menyuruh anak-anak kabur. Biarkan aku saja yang jadi tawanan, yang lainnya jangan. "Tidak!" jawab Kak Alfath berhenti tiba-tiba. Duagh! Aku menubruk punggungnya dengan kencang. Aduh, sakit sekali keningku. "Kamu modus nabrak punggungku?" tanya Kak Alfath menatapku. "Enak aja. Kakak yang berhenti mendadak gitu, kenapa aku yang disalahin?" protesku. "Oh," jawabnya. Aku membeo. Hanya oh jawaban dari protesku. "Kamu tadi nanya apa?" tanya Kak Alfath. Wah wah wah, dia sudah mempunyai gejala pikun. "Apa Kak Alfath akan mengambil hati semua anak pondok?" "Jelas tidak lah. Ngapain aku ambil semua hatinya. Bagiku, satu hati cukup," jawab Kak Alfath. Kupandangi wajah tampan nan lucunya, dia tampak tersenyum kecil. Bahkan, sudut bibirnya berkedut. Aku tebak dia sedang merencanakan sesuatu yang jahat. "Ayo kita jalan lagi. Di sana ada bukit kecil. Tadi anak si mbok sudah menyediakan tenda, kayu, dan makanan di sana." ucap Kak Alfath. Aku berjalan terseok-seok mengikuti langkahnya. Jalanan di sini lumayan terjal dengan banyak bebatuan. "Aduh!" ringisku saat tiba-tiba sendalku putus. Sendal jepit ini memang sudah rusak beberapa hari yang lalu, tapi aku sambung dengan peniti. Dan sekarang putus lagi. Kak Alfath melihat sendalku, langsung membuangnya asal. Aku ingin protes. Lantaran, itu masih bisa disambung lagi. "Ayo naik ke punggungku!" ucap Kak Alfath merendahkan tubuh tingginya. "Apa?" "Ayo naik. Biar kakak gendong." "Gak mau," ucapku meringis. "Ya sudah, jangan nangis bila kakak tinggal. Di sini ada serigala yang berkeliaran," ucap Kak Alfath berlari meninggalkanku. Aku ikut berlari dengan kaki telanjangku karena ketakutan. Sial, kakiku menginjak kerikil tajam. Sebenarnya aku sudah terbiasa tidak pakai alas kaki, tapi krikil di sini jauh lebih tajam. "Makanya kalau dibantu orang gak usah sok menolak!" ucap Kak Alfath kembali menghampiriku. Kak Alfath mengutis keningku dengan pelan. "Sakit," ucapku mengaduh sambil mengusap keningku. "Ayo naik apa Kakak naikin?" tanya Kak Alfath. Akhirnya aku naik ke punggungnya. Dari pada kak Alfath yang naik di punggungku. Kak Alfath melangkahkan kakinya seolah tidak merasa berat sama sekali. Tanganku yang semula bertengger di pundaknya, kini ditarik Kak Alfath untuk mengalung di lehernya. Bolehkan aku tersenyum kali ini? Kalau begini, kak Alfath manis sekali. Dengan lancang aku melihat wajahnya dari samping. Pipi tirus nan bersihnya sangat membuatku gemas. Apalagi hidung mancung nya. Aku yakin kalau ada lalat jatuh di situ, pasti akan terpeleset. Kak Alfath perpaduan yang sangat sempurna. Pantas saja soalnya papanya ganteng. "Turun!" ucap Kak Alfath menurunkanku di daratan lumayan tinggi. Karena sibuk mengagumi wajah kak Alfath, aku sampai tidak sadar ternyata kami melewati bebatuan yang terjal dan menanjak. Hebat sekali kak Alfath menggendong ku tanpa mengeluh. "Ini pakai sandal kakak!" ucap Kak Alfath memberikan sandal jepit yang sangat besar. "Pakai!" Kak Alfath memaksa. Aku pun menurut dari pada terus diancam. Kak Alfath mengambil tenda yang teronggok di sana. Mendirikannya dengan mudah karena tenda instan. Laki-laki itu meraih selimut dan menutupnya ke tubuhku. Hawa yang semula dingin menjadi hangat. "Tunggu sebentar. Kakak buat apinya," ucapnya. Setelah mengelus rambutku, Kak Alfath menata kayu bakar dan menyalakan koreknya. Entah bagaimana bisa kalau apa pun yang dilakukan Kak Alfath selalu tampak mudah. ***** Aku menghampiri Adiva setelah berhasil menyalakan api. Selimutnya aku lepas dan mengajak Adiva duduk di pangkuan ku. Adiva menolak, tapi tentu saja karena ancamanku dia jadi menurut. Aku menyelimuti tubuhku dan tubuh Adiva yang ada di pangkuanku. Memeluk tubuh kecil itu dengan erat. seketika rasa hangat menyelimutiku. Adiva tampak bergerak tidak nyaman di pangkuanku, tapi siapa peduli. Yang aku pedulikan hanya aku bisa memeluk nya. "Kamu mau marshmallow atau udang? Si Mbok bawakan ini buat dibakar," ucapku menunjukkan bungkusan marshmallow. "Apa ini enak? Aku tidak pernah memakannya," jawab Adiva. "Oke, kita makan ini aja." Aku mengambil tusuk dan menusukkan ke Marshamellow. "Nih bakar!" titahku. Adiva mengambilnya, mendekatkan di api. "Yah terbakar!" ucap Adiva saat api malah melahap marsmallow serta tusuknya sampai hangus. "Sini kakak ajarin!" ucapku kembali menusukkan marshmallow dan mengasihkannya ke Adiva. Tangan Adiva aku bimbing untuk membakar makanan itu. "Kalau bakar jangan dipasin apinya. Tapi di atasnya," ucapku. Tampak Adiva tersenyum kala marshamallow itu sedikit meleleh. Aku mengambilnya dan meniupnya pelan, "Ini buka mulutnya!" titahku. Adiva membukanya dan langsung aku suapi. "Enak?" "Enak banget, Kak," jawabnya. Aku tersenyum sembari makin mengeratkan pelukanku. Aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama Adiva. Mataku berkelana melihat bulan purnama yang sangat indah. Kata papa, masa remaja gonta-ganti pacar itu sangat indah. Namun, indah dan membahagiakan menurutku adalah saat bersama Adiva. "Mau makan lagi?" Adiva mengangguk. Kembali aku menusukkan beberapa marshmallow dan membakarnya. Tak lupa, aku tiup sebentar sebelum menyuapkan nya ke bibir Adiva. "Kak, tanganku dingin," cicit Adiva menggosok tangannya. Tanganku memegang telapak tangan Adiva. Meniupnya pelan dan menggosok nya. Setidaknya bisa mengurangi hawa dingin yang dia rasakan. "Mau kah kamu berjanji pada kakak, Adiva?" tanyaku pelan. "Apa, Kak?" "Berjanjilah kalau kamu tidak akan dekat dengan laki-laki lain." "Kenapa, Kak?" "Jangan tanya alasannya. Kamu hanya perlu berjanji. Dan suatu saat aku datang, aku akan menagih janjimu," bisikku. Dengan lancang, wajahku mendekat ke wajahnya. Mencium pipi tirus Adiva dengan perasaan sayang. "Kakak menciumku?" tanya Adiva kaget. "Kenapa? Bukankah hatimu tawananku. Mulai saat ini, tubuhmu dan segalanya yang kamu miliki adalah tawananku. Aku bebas melakukan apa pun yang aku inginkan padamu." Aku tidak peduli bagaimana Adiva menafsirkan kata-kataku. Yang pasti, suatu saat aku akan meminta Adiva penuh hanya untukmu. Aku mencium lembut rambut wangi Adiva. Mengeratkan pelukanku sampai gadis di pangkuanku berontak. "Sesak, kak," ucap Adiva. "Diamlah Adiva. Dan rasakan nikmatnya pelukan sama orang seganteng aku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN