Edgar Bertingkah

1401 Kata
Ibu jari milik Edgar nampak maju mundur , pada layar ponsel yang masih berdering dengan keras ini. Ingin menjawab panggilan teleponnya. Tapi kalau dipikir-pikir, ya untuk apa juga ia melakukannya??? Edgar bergeming, karena masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Akhirnya, dengan sekali hembusan napas saja, jemari tangannya sudah akan menyentuh simbol hijau itu. Tapi teriakkan wanita , sudah keburu keluar dari dalam kamar mandi, malah membuatnya melonjak kaget. "Kamu sedang apa dengan handphoneku!?" seru Elena. Edgar gelagapan sendiri. Ia segera mendekat kepada Elena dan memberikan ponsel tersebut, kepada si pemiliknya yang resmi. "Ini! Suaranya sangat menggangguku!! Baru saja mau aku matikan tadi!!" cetus Edgar yang mengalihkan ponsel itu secara kasar kepada Elena dan selanjutnya, ia pun pergi saja ke kamar mandi , untuk melakukan serangkaian pembersihan diri, sebelum tidur nanti. Elena tidak menghiraukan pria yang sudah pergi dari hadapannya itu. Ia segera menjawab panggilan telepon ini saja , sembari berjalan ke arah tempat tidur dan mengambil satu bantal, lalu mendekapnya sembari duduk di bawah. "Elena??" panggil Gabriel. "Iya. Ada apa?" tanya Elena yang sudah duduk sembari bersandar di depan nakas. "Kamu kemana tadi?? Aku cari-cari tidak ada," ucap Gabriel. "Oh iya, maaf. Tadi aku pulang duluan. Ini baru sampai rumah. Baru selesai ganti baju juga," ujar Elena sembari mengusap-usap dahinya sendiri. "Iya tidak apa-apa. Tapi tadi, aku sempat cari-cari kamu di sini." "Iya maaf. Tadi langsung pulang dan lupa kasih kabar," ujar Elena. "Iya. Tidak apa-apa. Sudah mau tidur??" tanya Gabriel. "Belum sih. Kenapa memangnya??" "Em, mau ngobrol-ngobrol. Tadinya, mau aku ajak mengobrol di rumah. Tapi, kamunya sudah tidak ada," ucap Gabriel. "Oh iya. Sekali lagi maaf ya?" "Iya santai saja. Tidak apa-apa. Oh iya, kamu rekan bisnis ayahku juga kah?? Kamu kok bisa datang ke sini tadi," tanya Gabriel. "Bukan. Bukan aku. Tapi temannya mendiang ayahku. Em, setelah ayahku meninggal, aku tinggal bersama temannya mendiang ayahku itu dan tadi, aku disuruh pergi ke sana, untuk menemani anaknya," jelas Elena. "Oh begitu. Memangnya, kemana ibu kamu??" tanya Gabriel. "Ibuku sudah meninggal lebih dulu, saat aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Waktu itu kecelakaan mobil." "Jadi sekarang, kamu tidak memiliki keluarga??" "Iya. Bisa dibilang begitu." "Oh, em. Maaf, kalau aku malah bahas-bahas masalah sensitif seperti ini." "Iya. Tidak apa-apa kok. Santai saja." Sementara itu, pria yang masih berada di dalam kamar mandi, nampak mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Tetapi selanjutnya, ia pun keluar juga dari dalam kamar mandi, sembari memperhatikan wanita, yang tengah mengobrol di telepon. Wanita itu, terlihat serius sekali dalam berbicara dan juga, ia dengarkan diam-diam sembari dengan berpura-pura tidur saja. Lama. Elena menelpon lama sekali. Bahkan, sudah hampir tengah malam begini, wanita itu masih saja mengoceh dan kedengarannya seru sekali. Banyak yang dibahas, dari hal-hal yang kecil pun ia bicarakan bersama sosok yang bernama Gabriel itu. Elena juga terdengar tertawa dengan lepas, bersama pria yang entah siapa. Tapi, sedari tadi ia mendengarkan mereka bicara. Tidak ada obrolan yang menjurus ke hal-hal yang tidak senonoh. Pembicaraan mereka, lebih ke hal-hal yang normal-normal saja. Ia kira, justru wanita ini mungkin akan melakukan panggilan yang vulgar. Nyatanya malah tidak. "Kamu belum mengantuk??" tanya Gabriel. "Sudah mulai mengantuk sedikit," jawab Elena sembari menguap. "Ya sudah. Kalau begitu, sudah dulu saja. Tidur. Ini sudah malam." "Iya. Ya sudah. Aku mau tidur dulu." "Iya. Em, besok , apa aku masih boleh menelepon kamu lagi??" "Boleh. Boleh kok." "Ya sudah. Besok malam, aku telepon kamu lagi ya?? Setelah jam makan malam lah kira-kira. Eum, Baiklah. Kalau begitu, Selamat malam Elena. Semoga kamu mimpi indah malam ini." "Iya. Selamat malam. Semoga kamu juga mimpi indah malam ini," ucap Elena yang mengakhiri panggilan teleponnya ini menaruh ponselnya di bawah bantal. "Sudah selesai??" tanya suara, yang berasal dari atas tempat tidur, ketika Elena baru akan merebahkan tubuhnya. Elena kembali duduk dengan tegak lagi dan kini, ia juga mengangkat kepalanya lebih tinggi, untuk memastikan asal suara yang tadi. "Kamu menguping???" tuduh Elena dengan benar. Tapi yang disana malah tersenyum masam sembari dengan berkata. "Tidak. Tidak sama sekali. Kenapa kamu begitu percaya diri?? Aku baru bangun, baru juga membuka mata dan mendengar suara kamu sedang bicara di telepon tadi," ucap Edgar berkelit. "Oh, aku kira, kamu menguping pembicaraan aku," ujar Elena. "Cih! Untuk apa?? Memangnya, aku orang yang tidak memiliki pekerjaan?? Siapa yang mau mendengarkan , orang yang mengobrol hingga berjam-jam??? Hanya orang bodoh saja yang melakukannya!!" Elena memiliki kerutan di dahinya, saat ia merasa ada yang aneh, dengan pernyataan yang baru saja pria ini lontarkan. "Tapi kok kamu tahu, aku mengobrol sampai berjam-jam??" tanya Elena dengan mata yang menyipit kepada Edgar. "Ck! Ya, ya pastinya begitu! Kamu mulai menelepon saat jam sembilan malam tadi dan sekarang, sudah hampir jam dua belas malam. Ya pasti selama itu juga kamu mengobrol dengannya!" cetus Edgar, yang ada-ada saja alibinya. "Ya sudah. Aku mau tidur dulu. Ngantuk," ucap Elena yang segera merebahkan tubuhnya di atas karpet. Tapi, Edgar malah mengajaknya bicara. "Yang menelepon mu tadi, Sugar Daddy-mu yang mana???" tanya Edgar. "Bukan Sugar Daddy!" ketus Elena, yang sudah mengantuk sekali ini, masih saja diajak bicara juga. "Benarkah?? Kenapa aku tidak percaya??" cibir Edgar dengan senyuman masam. "Ya karena menurut kamu, yang benar itu cuma diri kamu sendiri. Sial sekali. Aku harus menikah dengan kamu," ucap Elena dan yang berada di atas ranjang malah tidak terima dan berteriak kepada Elena. "Hey! Yang harusnya merasa sial nasibnya itu aku!! Kenapa malah jadi kamu yang merasa begitu!? Kenapa kamu malah playing victim begitu???" "Berisik!! Kamu mengoceh terus aku pusing dengarnya!!" seru Elena yang malah membalas omelan pria, yang langsung menganga mulutnya. Elena menutup telinga dengan kedua tangannya. Sementara yang menganga tadi, kini merasa tak habis pikir jadinya. Tadi, berbicara hingga berjam-jam di telepon kuat. Kenapa baru bicara dengannya sebentar, dia sudah merasa pusing saja??? Ah sudahlah. Apa pedulinya?? Ia tidak mau buang-buang waktu dengan percuma. Ia juga tidak mau, memikirkan tentang wanita ini juga. Seperti tidak ada pekerjaan yang lainnya saja. Di keesokan harinya. Elena nampak menatap ponselnya terus menerus. Sesekali, ia terlihat mengetik pesan lalu mengirimkannya. Begitu saja terus, sampai pria yang tidur satu kamar dengannya itu, jadi jengkel sendiri. Elena, sibuk dengan ponselnya dan Edgar , yang tidak suka melihat kesibukan wanita itu, sudah mulai berusaha untuk mengerjainya lagi. "Buatkan aku kopi," pinta pria yang baru saja pulang dari bekerja dan tengah duduk di tepian tempat tidurnya. "Kenapa tidak minta pelayan yang buatkan??" ucap Elena, yang menurunkan ponselnya lebih dulu dan menatap pria, yang sedang duduk sembari menghela napas itu. "Ya apa gunanya kamu di sini?? Kamu tidak ada pekerjaan kan?? Apa salahnya, kamu menuruti perintahku. Sudah sana. Buatkan yang enak!" perintah Edgar. "Ck! Iya," balas Elena sembari keluar dari dalam kamar dan beberapa menit berikutnya, iapun kembali lagi dengan secangkir kopi, yang segera diseruput oleh Edgar. "Ini terlalu manis. Aku tidak suka yang terlalu manis! Ayo buatkan lagi!" perintah Edgar, ketika Elena baru saja memegang ponselnya lagi. Elena menghela napas dengan sangat panjang dan mengambil secangkir kopi dari tangan Edgar, lalu membawanya keluar. Setelah itu, iapun kembali lagi dengan membawa secangkir kopi yang lain. Tapi, Edgar masih juga melakukan protes. "Mana camilannya?? Cake atau mungkin biskuit??" Elena memberikan Edgar lirikkan mata yang sinis, sebelum akhirnya ia keluar lagi dari dalam kamar dan membawakan camilan bagi Edgar. "Ini, ini camilannya, Tuan!" cetus Elena yang sudah mulai muak, dengan kelakuan Edgar. Ada saja protes serta permintaannya. "Siapa yang menyuruhmu menaruh camilannya disitu??" ucap Edgar, saat nampan yang berisi camilan, Elena letakkan di atas nakas sana. "Sini, bawa ke sini!" perintah Edgar. Elena menaruh lagi ponselnya dan membawa nampan tersebut ke hadapan Edgar. "Ini, Mau ditaruh dimana??" tanya Elena. "Pegang! Pegang saja dulu!" cetus Edgar sembari memegang cangkir di tangan kiri dan mengambil camilan dengan tangan kanannya. Elena mengerutkan dahi. Pria ini, kenapa jadi memperlakukannya seperti pelayan begini?? Secangkir kopi telah habis dan Edgar letakkan pada nampan. "Sudah. Taruh dulu di sana," perintah Edgar seraya menunjuk pada nakas. Elena kira, pekerjaannya sudah selesai. Tetapi, pekerjaan lainnya malah menantinya lagi. "Mau kemana???" tanya Edgar , saat Elena hendak melarikan diri, dengan pergi keluar rumah. "Mau ke bawah," jawab Elena. "Jangan kemana-mana. Pijat pundakku dulu. Rasanya pegal sekali, setelah bekerja seharian ini," perintah Edgar. Elena menghela napas dan mendekati Edgar. Ia lalu berdiri di sisi tempat tidur dan mulai melakukan pijatan , pada pundak Edgar ini dan dari arah belakang tubuh Edgar sendiri. Tidak ada yang Elena pikirkan, selain segera menyelesaikan pekerjaannya yang satu ini. "Gabriel siapa??" tanya Edgar tiba-tiba, ketika Elena yang sedang serius memijat pundaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN