BAB 13. Kak Eric

1100 Kata
“Mbak Lilian, ini botolnya, tadi saya belikan satu lusin di apotik. Dan sudah disterilkan juga.” Rani mengulurkan dus box berisi botol-botol kaca. “Terima kasih, Mbak.” Lilian membuka dus box lalu mengeluarkan semua isinya dan menyusun di atas meja nakas. Axel memperhatikan itu. Keningnya mengernyit melihat barisan botol kaca dengan tutup warna-warni dan ada sticker untuk menulis tanggal. “Botol untuk apa itu?” Lilian mengangkat satu botol menunjukkannya pada Axel. “Ini botol untuk menampung ASI, Pak. Jadi nanti malam Naomi masih bisa minum ASI saya dengan menggunakan dot. Hanya tinggal dihangatkan saja. Nanti saya beritahu Mbak Rani cara menghangatkannya.” Rani mengangguk lalu dia kembali keluar kamar untuk mengambil minum, dia mau minum obat. “Terima kasih, Lilian. Kamu sampai memikirkan Naomi seperti itu. Kamu sangat bertanggung jawab dengan pekerjaanmu,” ucap Axel dengan tulus. Sedangkan bagi Lilian, menjadi ibu s**u bukan sekadar sebuah pekerjaan. Meskipun baru sehari menjalankannya, Lilian sudah merasa memiliki ikatan batin dengan Naomi. Dia sudah sangat menyayangi Naomi sejak pandangan pertama. “Kalau begitu Pak, saya mau memompa ASI dulu. Kebetulan tadi Naomi baru hanya menyusu sebelah saja, jadi yang sebelahnya mau saya pompa untuk stock nanti malam.” “Ohh, iya. Kalau begitu saya keluar. Nanti kalau sudah, saya tunggu kamu di teras depan. Karena jam kerja kamu sudah mau selesai.” Lalu dengan segera Axel keluar kamar. Lilian duduk di sofa pojokan kamar, dia mulai memeras p******a yang masih penuh. Hanya menggunakan saja, tidak memakai alat bantuan. Tapi dengan cepat dua botol ASI telah terisi. Lilian beristirahat sebentar sambil meneguk minuman hangat dan juga makan camilan yang tadi telah disiapkan oleh Rani. Setelah itu dia mulai memeras lagi, hingga dapat satu botol penuh. Pikirnya, tiga botol penuh akan cukup untuk Naomi nanti malam. Setelah itu Lilian keluar kamar dan menuju teras depan. Tentu saja dengan diberi petunjuk dulu dengan lengkap oleh Rani, dia takut akan nyasar lagi di rumah sebesar itu. Lilian melihat Axel sedang sibuk dengan layar handphone, di salah satu kursi teras. Dia berjalan mendekat. Lalu berdeham pelan. “Maaf Pak, boleh saya pulang sekarang?” Axel menoleh. “Ohh ya tentu. Jam kerjamu memang sudah selesai.” “Pak, dari sini kalau saya mau naik angkot, sebaiknya tunggu di mana, ya?” Axel tersenyum tipis. “Tidak ada yang naik angkot di sini. Sudah, kamu akan diantar oleh anak buah saya. Itu mobilnya.” Lilian mengikuti arah pandangan Axel. Pada satu mobil sedan berwarna merah yang telah terbuka pintu penumpang belakang. Seorang pria tinggi berwajah tampan, memakai setelan rapi berwarna hitam dan juga berkacamata hitam, tampak berdiri di samping mobil. Lilian tahu itu adalah salah satu bodyguard sang bos yang biasa mengawal jika ada acara kantor. “Wahhh ….” Bibir Lilian sampai lupa menutup kembali karena tidak percaya akan pulang dengan diantar mobil mewah seperti itu. Memang semua mobil yang berderet rapi di sana tidak ada yang biasa-biasa saja, semuanya mewah dan super mahal. “Sudah jangan bengong! Kamu mau pulang tidak?!” “Ehh … i—iya, Pak! Tapi … saya harus mampir ke satu tempat dulu, nggak langsung pulang ke rumah. Saya diantarkan sampai tempat mangkal angkot terdekat saja, Pak.” Lilian sungguh tak enak hati, pekerjaannya hanya sebagai seorang ibu s**u, tapi sang bos memperlakukannya dengan begitu spesial. Menurut Lilian ini sungguh berlebihan. “Tidak masalah. Kamu tinggal bilang saja pada anak buah saya, namanya Eric.” “Baik, Pak. Terima kasih.” Lalu Lilian berjalan menuju mobil dan duduk di kursi penumpang belakang. Eric menutup pintu. Dia menoleh ke arah Axel yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Axel. Seakan mengerti apa maksud sang bos besar, Eric juga mengangguk tanpa mengucapkan sesuatu. Kemudian berjalan memutari separuh mobil dan duduk di kursi pengemudi. “Nona, tolong berikan alamat tujuannya.” Lilian langsung menyebutkan alamat lengkap dan Eric mencarinya pada maps. “Ini panti asuhan?” tanya Eric lagi sambil mulai menjalankan mobil. “Iya betul, Pak.” “Cukup panggil nama saja, Nona.” Cara bicara Eric sungguh terkesan kaku dan formal, membuat Lilian merasa canggung. Apalagi harus memanggil langsung nama, rasanya sangat tidak sopan. Lilian perkirakan umur Eric sekarang berkisar dua puluh limaan. “Aku nggak mau kalau langsung panggil nama, rasanya sangat nggak sopan. Ah! Om Eric! Kedengaran lebih muda sedikit dibandingkan dengan pak. Iya, kan?” Eric mengernyitkan kening. Keponakan saja dia tidak punya, sungguh tidak sedap di telinga dipanggil om. Eric langsung terbayang cerita-cerita sugar daddy. Dia menggeleng cepat. “Lebih baik panggil nama saja, Nona.” Lilian mendengkus malas. “Nggak, ah! Umurku pasti lebih muda, kan. Mas Eric atau Bang Eric? Mau dipanggil yang mana?” Eric memutar bola matanya dibalik kacamata. Pandangannya tetap lurus ke depan, tapi fokusnya jadi terpecah hanya karena masalah panggilan saja. “Tolong Nona Lilian, panggil saya Eric!” Kali ini lebih tegas, meskipun masih dengan nada suara yang tidak tinggi. Lilian terdiam beberapa saat, melihat ke arah luar kaca jendela sambil menyenderkan punggung. Eric tersenyum tipis, dia merasa kali ini Lilian sudah menyerah dan mau mengikuti permintaannya. Namun tiba-tiba Lilian kembali menatap ke arah Eric lalu tersenyum lebar, sorot matanya begitu terlihat senang. “Kita ambil tengahnya saja … Kak Eric! Ya, aku akan panggil Kak Eric!” Kini Eric yang terdiam. Lilian tidak tahu kalau dibalik kacamata hitamnya kedua bola mata Eric sedang membelalak. Pria tampan itu tidak berminat lagi untuk berdebat. Sebab setiap kali habis berdebat, maka ide yang keluar dari Lilian malah semakin parah. Mobil parkir tepat di depan Panti Asuhan Buah Hati. Eric mengamati, panti asuhan ini cukup sederhan, tidak terlalu besar dan terkesan seperti rumah biasa. Memang ada plang nama terbuat dari kayu di depan, tapi itupun terlihat sudah usang. “Umm … Kak Eric, mau turun mampir dulu?” Eric menggeleng sekali. “Tidak, Nona. Saya akan menunggu di sini saja.” “Hah? Menunggu? Maksudnya?” “Maksudnya menunggu adalah saya tidak akan kemana-mana sampai urusan Nona Lilian selesai.” “Ck iya aku tahu itu, maksudnya … kenapa harus menunggu. Kak Eric pulang saja, aku mungkin agak lama di sini. Dan dari sini sudah dekat kok ke rumah.” Eric kembali menggeleng pelan. “Tidak, Nona. Perintah Tuan Axel adalah memastikan Nona Lilian selamat sampai masuk ke dalam rumah.” “Huffttt! Kenapa sampai sebegitunya sih? Ya sudahlah.” Lilian tidak mau berdebat lagi. Dia ingin urusannya cepat selesai lalu segera pulang sebelum suaminya sampai di rumah. Sebab Edwyn akan marah besar jika dia terlambat pulang. “Assalamualaikum, Kak Wina!” Lilian bergegas masuk ke dalam panti. Wina yang mendengar suara Lilian segera menghampiri dengan langkah tergesa. “Lilian! Ibu pingsan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN