Usianya 31 tahun. Dokter perusahaan. Ya, setidaknya itu informasi yang Gisca ketahui tentang pria bernama Barra. Pria yang saat ini berjalan di sampingnya.
Awalnya Gisca berpikir kalau Barra bisa jadi orang suruhan Saga yang mungkin semakin menjerumuskannya pada pria sinting itu. Namun, saat Barra memintanya untuk ikut ... Gisca seolah terhipnotis sehingga mengikuti langkah pria itu.
Entah mengapa sebagian dari dirinya yakin kalau Barra bukanlah pria jahat. Terbukti saat mereka berjalan, di sepanjang perjalanan banyak karyawan Starlight yang menyapa Barra dengan penuh hormat dan dibalas dengan hangat oleh pria itu.
Konyol juga kalau Barra berkomplot dengan Saga. Bukankah sangat kurang kerjaan?
Namun terlepas dari itu, Gisca berusaha tetap waspada. Ia tidak boleh percaya sepenuhnya pada Barra.
Melewati pintu belakang, Gisca dibawa ke salah satu mobil yang terparkir di sana. Gisca jadi baru tahu ternyata di belakang juga ada tempat parkir.
Sampai pada akhirnya, Gisca sudah duduk di kursi penumpang, tepat di samping Barra yang kini duduk di kursi kemudi.
Apa yang Gisca lakukan memang terbilang berani, tapi ia sudah se-frustrasi itu menghadapi Saga sehingga berusaha berpikir positif kalau Barra memang bukan orang jahat. Bahkan, Gisca rasa dari wajahnya pun Barra terlihat seperti pria baik-baik.
"Saya akan antar kamu keluar dari sini." Kalimat teduh Barra membuat sisa-sisa kecurigaan Gisca lenyap. Kini ia mulai merasa bahwa Barra memanglah penolongnya.
"Maaf, sejujurnya aku masih bingung ... kenapa Bapak nolong aku?" tanya Gisca. "Baik, aku tahu Bapak itu dokter di perusahaan ini. Tapi apa hubungannya sama Saga? Kenapa juga Bapak peduli sehingga bersedia membantuku?"
Sambil menjalankan mesin mobilnya, Barra menjawab, "Saya harap kamu nggak berpikir saya ini komplotan Saga yang akan membawa kamu kepadanya."
"Jujur, aku sempat berpikir demikian," kata Gisca apa adanya.
Barra kembali mematikan mesin mobilnya. Mereka harus bicara dulu. "Awalnya saya nggak sengaja melihat Saga ada di dekat gerbang, sedang berdiri di depan mobilnya. Saya perhatikan dia berulang kali keluar-masuk mobilnya seperti sedang menunggu seseorang. Mungkin kalau sebentar saya nggak akan penasaran, masalahnya dia dari pagi sampai siang ini masih betah di situ," jelas Barra. "Saya nggak heran karena tahu dia bagaimana, tapi yang membuat saya penasaran adalah ... dia sedang menunggu siapa?"
Gisca terdiam, menunggu Barra melanjutkan ceritanya.
"Saya pun mulai memperhatikan dan saya mendapati kamu seperti sedang menghindar dari seseorang. Dan kamu beberapa kali menengok ke luar hanya untuk memastikan apakah Saga masih di sana. Selagi Saga masih ada di luar, otomatis kamu tetap di lobi. Itu yang membuat saya semakin yakin bahwa kamulah orangnya," lanjut Barra.
Barra berbicara lagi, "Saya, bersedia menolong kamu keluar dari sini karena tahu Saga nggak akan menyerah begitu aja. Dia pasti bakalan nungguin kamu terus."
"Maaf menyela, aku belum bisa memahami ini. Bapak kenal Saga?"
"Kalau kenal secara pribadi ... nggak. Tapi saya tahu siapa dia, juga bagaimana karakternya," jawab Barra. "Kejadiannya udah lama, mungkin lebih dari setahun yang lalu. Dia pernah terobsesi sama adik perempuan saya. Dia menghalalkan segala cara, dari cara kotor sampai kriminal. Dia melakukan itu agar adik saya menjadi miliknya."
Astaga....
"Singkatnya, saya ini kakak dari perempuan yang pernah menjadi korbannya. Dan saya nggak mau kamu jadi korban berikutnya."
"Ko-korban? Maksudnya gimana?"
"Kamu nggak mungkin menghindarinya tanpa alasan, bukan? Saya yakin kamu mengerti maksud saya. Saya pun nggak akan menanyakan apa yang Saga lakukan padamu karena itu privasi."
Gisca paham betul Saga pasti pernah berbuat hal buruk pada adik Barra juga, seperti yang dialaminya sekarang sampai harus bersusah payah menjauh dari pria itu. Hanya saja, haruskah Gisca memercayai apa yang Barra katakan? Apa Barra sedang berkata jujur? Bukan sedang mengada-ada agar Gisca semakin terperangkap ke dalam jebakan.
"Melihat kamu gelisah di lobi, membuat saya teringat adik saya dulu," sambung pria itu.
"Saga memang seperti pria gila. Tindakannya bukan seperti orang normal. Dia nggak waras," balas Gisca. "Pertanyaannya kalau sebelum aku udah ada korban, kenapa sekarang dia bebas berkeliaran? Bukankah seharusnya dia dituntut dan mendekam di penjara?"
Barra mengangguk. "Benar, sayang sekali dia punya orang-orang di belakangnya yang hebat sehingga dia hanya didenda dan mendapat hukuman percobaan selama satu bulan kurungan. Baginya denda itu hal kecil baginya, karena dia memang banyak uang. Dan sekarang kita bisa lihat sendiri, dia bebas mau ngapain aja."
Astaga ... kalau begitu sebenarnya bukan hanya Gisca yang dalam bahaya. Tapi Sela juga. Apa Sela tahu kelakukan pacarnya yang mengerikan ini? Bagaimana bisa Sela memiliki pacar yang menakutkan seperti Saga?
Jujur, mendengar penuturan Barra barusan, Gisca malah semakin takut pada Saga.
"Untuk itu, saya bersedia membantumu keluar dari sini tanpa ketahuan oleh Saga." Setelah mengatakan itu, Barra kembali menjalankan mesin mobilnya lalu mulai melajukannya perlahan.
"Entah bagaimana ceritanya kamu bisa terlibat dengan Saga, yang pasti mulai sekarang berhati-hatilah. Dia bisa melakukan apa aja tanpa kenal rasa takut. Saya bilang begini bukan untuk menakut-nakuti, tapi saya mau kamu lebih waspada."
Mobil berjalan semakin ke depan mendekati gerbang, dan dengan santainya Barra mengemudikan mobilnya melewati Saga yang tampak masih berdiri menunggu Gisca.
"Lihat, dia masih di situ," kata Barra.
Refleks Gisca menunduk, khawatir Saga menoleh pada mobil Barra lalu menemukan keberadaannya, meskipun sebenarnya mereka tidak terlihat dari luar. Gisca hanya berjaga-jaga saja.
Sungguh, Gisca sampai gemetaran saking takutnya pada Saga.
"Kamu bisa tenang sekarang, kita udah menjauh dari tempat Saga menunggu," ucap Barra. "Saya yakin dia masih di depan gerbang karena mengira kamu masih di lobi."
Gisca menarik napas lega. "Makasih ya, Pak Barra. Aku nggak tahu bakalan sampai kapan diam di lobi kalau nggak dibantu sama Bapak."
"Berterima kasihnya nanti aja ya, karena kita belum selesai sampai di sini."
Gisca terkejut. "Maksudnya belum selesai?" Jangan bilang Barra ingin meminta imbalan yang aneh-aneh. Jika iya, artinya Gisca keluar sarang macan malah masuk ke kandang singa.
"Saya nggak mungkin menurunkan kamu di pinggir jalan. Jadi, rumah kamu di mana? Biar saya antar sekalian."
"Aku bukan mau pulang ke rumah."
Barra mengernyit. "Lalu?"
"Ah, kalau dari pakaian yang kamu kenakan ... kamu ini habis melamar pekerjaan, ya?" lanjut Barra.
"Lebih tepatnya baru selesai interview, Pak," jawab Gisca. "Kalau Bapak nggak keberatan, tolong antar ke stasiun aja."
"Stasiun?" Barra pun mulai paham. "Oh, kamu pendatang? Mau langsung pulang kampung?"
Gisca mengangguk.
"Kamu yakin pulang sendirian?"
"Aku juga berangkat ke sini sendiri, Pak."
"Hati-hati ya, saya harap Saga nggak senekat dulu."
Mendengar itu, membuat Gisca semakin bergidik ngeri. Ia sangat menyesal terlibat dengan Saga. Andai ia rela mengeluarkan uang untuk penginapan dan tidak menumpang di apartemen Sela, pasti kejadiannya tidak seperti ini. Ah, penyesalan memang selalu di belakang.
"Tapi kenapa kamu langsung pulang? Biasanya Starlight itu cepat ngasih informasi rekrutmen."
"Barang-barangku masih di rumah. Kalau resmi diterima, aku bakal balik lagi sekalian membawanya."
Barra mengangguk-angguk paham. "Semoga diterima, ya."
"Ya, aku berharap juga begitu. Terima kasih, Pak."
"Nanti kalau beneran diterima ... jangan sering-sering ketemu saya, ya. Apalagi masuk ke ruangan saya. Bila perlu nggak usah."
Gisca mengernyit.
"Karena kalau ketemu saya, artinya kesehatanmu sedang terganggu," sambung Barra.
Astaga Gisca hampir lupa kalau Barra itu dokter di Klinik Starlight.
Pembicaraan mereka membuat perjalanan jadi tidak terasa. Saat ini mobil yang Barra kemudikan mulai memasuki area stasiun.
"Sial!" umpat Barra saat melihat spion kanan. Sebuah mobil yang sangat familier sedang mengikuti mobilnya.
"Sejak kapan dia ngikutin kita?" ucap Barra lagi.
Seketika Gisca langsung melihat ke spion sampingnya. "I-itu mobil Saga, kan, Pak?"
Gisca berharap salah lihat, tapi fakta bahwa Saga sedang mengikuti mereka, tidak bisa diingkari lagi.
"Dari mana dia tahu kalau aku ada di sini?" Gisca mulai panik.
"Ini nggak masuk akal, padahal saya yakin banget kita lolos saat melewati gerbang tadi. Masalahnya ini beneran mustahil, dari mana dia tahu kalau kamu ada di mobil ini?"
Gisca menggeleng frustrasi. Ia hanya ingin merantau ke kota ini, bekerja dan mencari uang yang banyak, kenapa malah harus berurusan dengan pria semacam Saga?
"Saya lupa belum tahu sesuatu. Siapa nama kamu?" tanya Barra.
Gisca tak habis pikir. "Apa itu penting dibicarakan sekarang? Kita lagi diikutin sama Saga, Pak."
"Tolong jawab aja."
"Gisca."
"Gisca, kamu percaya sama saya?"
"Saya nggak paham maksud Bapak."
"Saya nggak mungkin membiarkan kamu naik kereta sendiri. Tapi saya juga nggak bisa mengantar kamu pulang. Berkelahi dengan Saga agar dia berhenti mengganggumu pun bukan solusi terbaik seenggaknya untuk saat ini."
Gisca tidak langsung menjawab, masih menunggu Barra melanjutkan pembicaraannya sekaligus mencerna ucapan pria itu.
"Untuk sementara, maukah kamu ikut saya dulu? Keadaannya lagi nggak aman dan saya mana tega meninggalkanmu sendiri di saat Saga jelas-jelas sedang mengintai."
Gisca semakin frustrasi. Diikuti oleh Saga adalah hal buruk. Namun, ikut dengan Barra yang merupakan pria asing baginya, bukanlah hal baik. Gisca harus bagaimana sekarang?
Tanpa diduga, Barra mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Pegang ini," ucapnya sambil menyerahkan dompetnya pada Gisca.
"Apa maksudnya ini, Pak?" Tentu saja Gisca kebingungan.
"Di dalamnya banyak benda-benda berharga milik saya. Kamu bisa pegang atau sembunyikan. Itu jaminan kalau saya nggak bermaksud jahat sama kamu."
Ya Tuhan, jika Gisca menolak ikut Barra, haruskah ia melapor polisi untuk meminta perlindungan dari Saga yang terus mengikutinya? Apakah prosesnya akan rumit mengingat Barra tadi mengatakan kalau orang-orang di belakang Saga itu bisa melindungi pria sinting itu.
"Ah, ini ketinggalan. Silakan bawa juga ID Card saya," tambah Barra. "Silakan putuskan sekarang, saya berharap kamu setuju ikut saya dulu."
"Apa kalau aku ikut Bapak, apa ada jaminan Saga nggak akan membuntuti kita lagi?"
"Saya jamin. Saga nggak akan bisa ikut ke tempat saya."
Ya Tuhan, Gisca sebenarnya takut ... tapi kenapa ia merasa Barra tidak sedang berbohong?
"Saya cuma mau membantu kamu. Sebisa mungkin, kamu harus menjauh dari pria berengsek itu. Dan saya nggak mungkin diam aja saat melihat kamu jelas-jelas sedang diganggu sama Saga."
"Tapi kita akan pergi ke mana agar bisa menjauh dari Saga?" tanya Gisca.
"Tempat saya," jawab Barra.
Bersamaan dengan itu, Barra memutar balik, menyetir dengan cepat tapi tetap hati-hati. Ia akan membawa Gisca ke tempat yang aman, tempat yang mustahil bisa Saga masuki.