14. Impas (Saling Melihat Tubuh Masing-masing)

1648 Kata
Tubuh Sakura mematung, tubuhnya menegang sesaat kala pandangannya bersibobok dengan pandangan Raska. Ia hampir saja berteriak jika saja tak sadar bahwa ini bukanlah kamarnya. Kamar ini adalah kamar Raska. Jika ada yang harus berteriak, harusnya adalah Raska yang mengusirnya. “Ma- maaf, saya tidak tahu anda–” Ucapan Sakura menggantung saat Raska membalikkan badan dan melanjutkan kegiatannya membuka dasi. “Bukan masalah. Ganti pakaianmu,” ucap Raska kemudian melangkah keluar dari kamar, memberi waktu Sakura mengganti baju. Sakura menatap kepergian Raska sambil meremas simpul handuk di depan dadanya. Ia merasa bersalah karena seperti sudah mengusir Raska dari kamar pribadi miliknya. Jbles …. Raska berdiam sejenak di depan pintu setelah menutupnya. Ia lalu menutup wajahnya dengan satu tangan dan bayangan Sakura beberapa saat yang lalu seperti berputar dalam kepala. “Sial,” batinnya merutuki kebetulan yang membuatnya melihat tubuh Sakura. “Papa. Apa yang papa lakukan?” Raska tersentak kala suara Sora menginterupsi pendengaran. Melihat Sora menatapnya, ia berjalan menghampiri. “Tidak ada. Sora mau ke mana?” “Mau menyusul mama,” jawab Sora. Raska menoleh ke belakang, pada pintu kamarnya yang tertutup kemudian kembali menatap Sora dan mengatakan, “Mama baru ganti baju, tunggu sebentar lagi.” “Oh, ya, Pa. Kapan ulang tahun mama?” “Kenapa tiba-tiba bertanya?” Sora nyengir kuda, menunjukkan deretan gigi putihnya. Berbeda dari kebanyakan anak seusianya dengan karies gigi, gigi Sora bersih dan sehat. “Sora mau memberi mama hadiah.” Sebelah alis Raska tampak meninggi. “Hadiah?” tanyanya dan dijawab anggukan penuh dadi Sora. “Waktu itu Sora mendengar ibunya teman Sora mengatakan kalau baju mama itu jelek, mama tidak tahu fashion. Memangnya fashion itu apa, Pa? Mari kita beli fashion untuk mama.” Raska tercenung sesaat. Senyum tipisnya pun timbul kemudian mengusap pucuk kepala Sora. “Tidak perlu menunggu mama ulang tahun. Kita bisa memberi mama hadiah sekarang.” “Tapi teman-teman Sora mau datang, Pa.” Raska tampak berpikir sejenak kemudian mengambil ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang. Ia meminta seorang teman mengantar beberapa setel baju ke rumah. Tepat setelah Raska selesai bicara, Sakura keluar dari kamar. Ia pun tampak canggung saat berhadapan dengan Raska. “Mama!” seru Sora melihat Sakura keluar dari kamar. “Sora sudah siap menyambut teman-teman Sora?” tanya Sakura disertai senyuman. Sora sangat antusias, ia begitu bersemangat saat membantunya membuat makanan dan camilan. Sora mengangguk senang. “Iya, Ma. Ayo tunggu teman-teman Sora di depan,” ajak Sora sambil menarik tangan Sakura. “Eh? Tu- tunggu dulu.” Sakura menahan Sora sejenak dan bicara pada Raska. “Tu– maksudku, anda– … ma- mau kusiapkan makan malam dulu?” tanyanya gugup. Ia bahkan tak berani menatap Raska secara langsung. “Tidak,” jawab Raska kemudian berjalan menuju kamarnya. Tanpa Sakura dan Raska sadari, Sora memperhatikan interaksi keduanya yang membuatnya berpikir. Sakura mengangguk mengerti kemudian melanjutkan langkahnya mengikuti ajakan Sora. Sesampainya di kamar, Raska berjalan memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesampainya di kamar mandi ia mencium aroma strawberry yang manis yang membuatnya teringat Sakura. Aroma itu pasti berasal dari sabun atau shampo Sakura. Raska berusaha menghapus bayangan Sakura dari kepala, tapi aroma kamar mandi yang baru saja Sakura gunakan membuatnya terus mengingat tubuhnya yang hanya terbalut handuk sebelumnya membuat sesuatu di balik celananya perlahan bangun. Raska memijit pelipis disertai desahan berat melihat celananya menyembul. Ia pria dewasa dan normal, wajar saja mengalami itu apalagi belum pernah melakukannya sebelumnya. Tak ingin semakin tersiksa, ia segera menanggalkan pakaiannya dan mandi dengan air dingin. Tak lama kemudian, Sakura dan Sora yang menunggu di ruang tamu sambil bermain, terkejut saat membuka pintu kala bel berbunyi. Sebab, Sora pikir tamu yang datang adalah teman-temannya tapi tidak. Seseorang yang berdiri di depan pintu adalah seorang pria yang tidak Sora kenal. “Maaf, mencari siapa?” tanya Sakura pada pria yang memakai setelah rapi itu. “Saya bawahan tuan Ivan. Beliau menyuruh saya ke sini untuk mengirim beberapa pakaian. Tuan Raska ada?” “Ya, beliau di rumah. Tunggu sebentar, saya akan memanggil beliau,” ucap Sakura kemudian berbalik dan berjalan menuju kamar. “Om mengantar pakaian baru untuk mama?” tanya Sora dengan polosnya. Ia mendengar saat Raska bicara pada seseorang lewat telepon sebelumnya. Pria itu mengangguk. “Iya. Di mana mamamu?” tanyanya. Ia pikir, Sakura adalah pembantu di rumah itu. Bukan hanya karena pakaiannya yang sederhana, tapi wajahnya masih terlihat sangat muda. “Tadi itu mamaku, Om.” Di sisi lain, Sakura mengetuk pintu kamar lebih dulu sebelum masuk. Ia tak mau asal memasuki kamar, berpikir bagaimana jika Raska sedang melakukan sesuatu. Entah baru saja mandi, atau mengganti baju. “Tu- Tuan, ada tamu,” ucap Sakura saat mengetuk pintu kedua kalinya. Tapi, tak juga mendapat jawaban. Tak ingin terlalu lama membuat tamunya menunggu, Sakura membuka pintu kamar dengan hati-hati. “Beliau tidak ada?” batin Sakura yang tak melihat keberadaan Raska. Ia pun berpikir mungkin Raska tidak di kamar. Namun, saat hendak berbalik untuk mencari Raska di tempat lain, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka membuatnya menoleh. Mata Sakura melebar dengan degup jantung seolah berhenti sesaat kala pandangannya menangkap sosok Raska yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu hanya memakai handuk yang menutupi pinggang hingga atas lutut. Sementara, tubuh atasnya terekspos dengan sangat jelas. Raska terkejut saat bertatap muka dengan Sakura tepat setelah ini keluar dari kamar mandi. Rasanya seperti Dejavu, keduanya telah mengalami momen seperti ini sebelumnya. Raska berjalan ke arah lemari dengan tenang meski sebenarnya ia cukup gugup. “Tu- Tuan, a– ada tamu untuk anda,” ucap Sakura sambil melirik arah lain. Ia tak mau terus melihat indahnya tubuh Raska. Sebenarnya ia sangat malu, tapi berusaha bersikap dewasa dan tenang. Raska terdiam sejenak lalu menyahut. “Suruh dia tunggu.” “Ba- baik,” jawab Sakura kemudian segera berbalik dan melangkah pergi. Jbles …. Sakura menekan dadanya, menekan degupan jantungnya yang tak karuan. Kakinya bahkan rasanya masih gemetaran. Tak ingin terus terpikirkan apa yang baru saja terjadi, ia segera ke ruang tamu menyuruh tamunya menunggu. Di dalam kamar, Raska terus saja mendesah berat. Ini kali pertama ia menunjukkan tubuh topless-nya pada wanita meski tidak sengaja. Harusnya bukan masalah besar, akan tetapi berbeda karena sebelumnya ia juga melihat Sakura dalam keadaan serupa. Kini mereka sama-sama pernah melihat bagian tubuh yang harusnya tak terlihat oleh orang lain. Sesampainya Sakura di ruang tamu, ia terkejut melihat telah tersampir beberapa pakaian di sofa juga dua orang yang berdiri sambil memegang pakaian di tangan kanan dan kirinya. “Apa mereka ini sales pakaian?” batin Sakura. “Maaf, tuan Raska meminta anda menunggu,” ujar Sakura pada pria sebelumnya. Pria itu menatap Sakura dengan pandangan tak terbaca. Ia sedikit bingung sebab Sora mengatakan ia adalah mamanya, tapi caranya bicara seakan pemilik rumah adalah tuannya. “Mama! Lihat ini, apa mama suka?” Perhatian Sakura tertuju pada Sora yang menunjuk salah satu pakaian yang berada di sofa. Sebuah dress lengan pendek warna dusty rose. Tiba-tiba Sakura baru menyadari jika semua pakaian yang sales itu bawa adalah pakaian wanita. Itu membuatnya was-was. Ia takut Raska berpikir yang tidak-tidak, menuduhnya membawa sales pakaian untuknya. “I- iya, itu dress yang manis. Tapi, Sora–” Belum selesai Sakura bicara, suara langkah kaki terdengar. Raska berjalan dari arah kamarnya dan menghentikan langkah di depan sales yang sudah menunggunya. “Selamat sore, Tuan. Saya membawakan beberapa koleksi tuan Ivan,” ujar pria itu setelah bertatap muka dengan Raska. Sora berlari ke arah Raska dan menunjuk dress pilihannya. “Papa, coba lihat. Mama suka yang itu.” Sakura terkejut. “A- apa? Ti- tidak, tidak Tu– ah, maksudku, tidak. Aku tidak–” Sakura begitu gugup karena terkejut. Dress itu kelihatan mahal, mana mungkin ia memilihnya? Sementara ia butuh uang untuk melunasi hutangnya pada Raska. Ia tidak akan menggunakan uangnya sekedar untuk membeli baju sekarang. Pria yang membawa baju-baju itu tampak kebingungan, tapi tetap bersikap profesional tak ingin ikut campur. “Pilih yang kau suka,” kata Raska pada Sakura. Sakura kian dibuat terkejut karenanya. “A- apa? Tidak perlu. Aku tidak–” Belum selesai Sakura bicara, Raska meminta pria utusan temannya untuk meninggalkan semuanya dan mengurus p********n dengan Ivan sendiri. Tak lama kemudian, pria pengantar baju-baju itu telah pergi, meninggalkan koleksi tuan mereka yang memenuhi sofa di ruang tamu Raska. Kepala Sakura berdenyut melihat beberapa stel baju untuknya. Sora mengatakan, semua baju-baju untuk adalah miliknya. “Tuan, bagaimana saya membayar semua ini?” tanya Sakura dengan mata berkaca-kaca. Ia berani memanggil Raska tuan sebab Sora sedang sibuk memilih baju pertama yang harus ia coba. “Aku tidak menyuruhmu membayar,” kata Raska tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Mata Sakura nyaris melebar. “A- apa? Ta- tapi–” “Mama, coba ini, Ma! Coba ini!” seru Sora sambil menunjukkan dress pilihannya. Seperti tak bisa menolak, dengan terpaksa Sakura mencoba dress itu. Ia membawanya ke kamar lalu kembali dan menunjukkannya pada Sora. Sebenarnya ia malu, tapi ia tak bisa menoleh keinginan Sora. “Wah, mama cantik sekali,” puji Sora saat Sakura telah kembali dengan dress brokat warna putih gading yang melekat di tubuh. Dress selutut model turtle neck lengan balon dengan kerutan di pergelangan tangan itu sangat pas di tubuh Sakura. Wajah Sakura bersemu karena malu. Ia pun tak ingin mencoba terlalu lama pakaian itu. Tapi, Sora justru memintanya mencoba pakaian lainnya. “Coba yang ini, Ma. Coba ini.” Sakura menatap Raska, seperti meminta bantuannya. Tapi Raska seperti sengaja pura-pura tak tahu apa maksudnya. Dengan terpaksa, Sakura pun membawa ke kamar baju kedua untuk ia coba. Akan tetapi, saat hendak membuka dress pertama yang ia coba, ia kesulitan membuka resleting di bagian punggungnya. Dengan terpaksa, ia kembali meminta bantuan Sora. “Sora, bisa bantu mama?” tanya Sakura pelan. Sora berkedip pelan, bertanya bantuan apa yang ia butuhkan. Dan setelah Sakura mengatakan bantuan apa yang ia butuhkan, pandangan Sora beralih pada sang papa. Tanpa Raska dan Sakura sadari, bocah itu tersenyum tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN