Beberapa menit sebelum wawancarai Jena, Kaiden tengah fokus menelaah CV milik Jena yang telah dikirim melalui email oleh Elora selaku manager General Affairs.
"Wow, dia ... sangat cantik," gumam Jayden membatin kagum seusai mengklik folder CV milik Jena yang di setelahnya menampilkan pas foto virtual sang wanita.
Netra sendu Jena rupanya sukses menyihir hati dingin seorang Kaiden. Tak hanya itu, bentuk wajah simetris serta rahang tegas yang memukau membuat sang CEO mengakui dalam hati kecantikan natural yang khas dan berbeda.
Ergh! Singkirkan khayalanmu, Kai. Dia lebih tua darimu. Umurnya bahkan seusai kakakmu.
Kaiden menggeleng kepala cepat seraya bergulat dalam batin, segera membuang jauh angan semu penuh kekaguman terhadap puan yang bernama Jena.
"Kau kenapa, Kai?" Elora yang baru saja masuk ke dalam ruangan sempat sekilas melihat Kaiden bertingkah aneh.
"Ekhem ... kebetulan kau datang, El. Aku sedang melihat CV kandidat bernama Jena Anderson. Jika boleh tau, kenapa kau mereferensikan seorang dengan jam terbang yang sangat kurang dalam urusan humas?"
"Kau harus mengujinya, Kai. Apa kau tak melihat wajahnya? Dia begitu menarik dan kupikir dia cocok menjadi the next staf humas, bukan?" usul Elora menjabarkan dengan harapan bisa memperngaruhi pikiran sang bos.
"Walaupun sedikit pengalaman, dia lulusan kuliah jurusan PR dari universitas ternama. Kau hanya perlu bertemu dengannya langsung dan baru memutuskan," tambah Elora yang sebenarnya yakin bahwa Kaiden tidak akan menerima Jena.
Kecantikan saja tidak cukup, El. Aku lelah jika harus memecat staf yang tidak kompeten.
Kaiden mengerutkan dahi saat mendengarkan penjelasan Elora. Tak dapat dipungkiri, penampilan serta kecerdasan kandidat merupakan kriteria penting yang sang CEO harapkan.
Namun, nilai seseorang di atas segalanya. Percuma jika cerdas dan berpenampilan menarik, akan tetapi gampang manut dan juga tidak berinovasi. Kaiden menyukai sesuatu yang unik dan berbeda.
"Baiklah. Akan kucoba. Semoga kandidat kali ini tak hanya mengandalkan tampang saja." Kaiden pasrah. Walaupun tak yakin, kebutuhan akan staf humas sedang mendesak. Dalam hati, Kaiden sungguh berharap bahwa Jena merupakan kandidat terakhir yang cocok.
Tentu saja kau harus mewawancarainya, Kai. Aku yakin dia hanya mengandalkan penampilan saja akan tetapi nol kemampuan, Elora membatin licik seraya mengulas senyum miring.
***
"Kau ... tidak sedang bercanda kan, Pak? Kau sungguh menerimaku kerja di sini?"
Jena terkesiap tak percaya saat Kaiden langsung menerimanya sebagai staf humas Glam Enterprise. Tak ada wawancara lebih lanjut serta tes yang biasanya menjadi formalitas perusahaan.
"Apa rautku terlihat seperti becanda?" Suara bariton tegas milik Kaiden membalik sarkas pertanyaan Jena.
"Bukan begitu maksudku, Pak. Rautmu sangat serius seratus persen." Jena menimpali antusias seraya mengulas senyum semanis gula.
Wow, senyumannya benar-benar sangat manis.
Kaiden memuji dalam hati lengkung belah ranum Jena yang menurutnya sangat manis. Namun, angannya seketika buyar ketika Jena memastikan sekali lagi apakah dirinya resmi diterima bekerja sungguhan.
"Ekhem, jangan senang dulu, Nona Jena. Aku tidak akan membiarkan kau bekerja dengan mudah di sini. Pekerjaan humas akan sangat sulit." Tak ingin larut akan senyuman menghanyutkan sang puan, Kaiden mengalihkan pembicaraan membahas tanggung jawab sebagai seorang staf humas.
"Tak apa. Serahkan padaku. Aku tipe yang suka belajar dan berkembang. Aku berjanji akan bekerja sebaik mungkin," timpal Jena penuh percaya diri.
"Good. Kau bisa bekerja mulai senin," ungkap Kaiden kembali menunjukkan raut tampan nan dingin yang khas seraya beranjak dari kursinya.
"Terima kasih."
Tak membalas respon Jena, Kaiden malah acuh seraya melesat keluar ruangan, melewati wanita yang masih duduk begitu saja. Seiras kepergian sang CEO, Jena sontak mengedikkan bahunya tak peduli. Hatinya sedang diliputi kebahagian karena ia telah resmi menanggalkan gelar pengangguran.
Kau dengar, Nak? Ibumu ini sudah bukan pengangguran lagi, hehe, Jena bergumam riang dalam hati sembari tangan kanan mengelus sekilas perut ratanya.
***
"Ini sudah tiga hari, Ren. Mengapa kau belum juga memberiku laporan mengenai keberadaan Jena?" Aldrick kesal, tak biasanya sang asisten kepercayaannya lambat dalam pencarian informasi.
Sementara itu, gusar dan gelisah tengah memenuhi wajah Ren, bulir keringat sebesar biji jagung pun bermunculan di dahinya imbas kemarahan sang bos. Ia sangat yakin bahwa apa yang akan disampaikan sebentar lagi akan membuat Aldrick bertambah murka.
"Aku sudah berusaha melacak Nyonya Jena dari berbagai transaksi baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, transaksi terakhir yang Nyonya gunakan hanyalah pembelian tiket pesawat ke Tanah Air."
Lebih lanjut Ren menjelaskan bahwa Jena sama sekali tak menggunakan harta gono gini yang diberikan sang bos dan tak juga kembali ke kediaman lamanya.
"Jadi maksudmu, Jena seolah menghilang begitu saja?" terka Aldrick menaikkan sebelah alisnya.
"Benar, Tuan."
Ada dimana kau sebenarnya, Jen? Ergh, mengapa hati ini masih peduli padanya? Bod*h!
Aldrick menghembus napas kasar seraya memijat kening yang berdenyut sesaat. Tak dapat dipungkiri hatinya cukup gusar mendengar mantan istri kontraknya yang tak berjejak setelah diceraikan.
"Siapkan Jet malam ini juga. Kita akan melanjutkan pencarian Jena di Tanah Air," titah Aldrick tegas.
"Baik, Tuan."
***
Seusai wawancara kerja, Jena memutuskan untuk berbelanja bahan makanan di supermarket dalam jumlah cukup banyak. Hal ini dilakukannya dalam rangka perayaan perubahan status dari pengangguran menjadi seorang pekerja. Wanita itu tak sabar untuk segera pulang dan merayakannya dengan Karina.
Sembari mendorong trolly, Jena mengeluarkan ponsel dari tas selempang dan langsung menghubungi sang sahabat.
"Bagaimana hari pertama dimutasi, Kar?"
"Banyak formalitas data yang harus ku urus dan juga tumpukan neraca perusahaan."
"Hehehe, bersemangat lah, Kar. Akan ada kejutan di rumah nanti."
"Woah, cepat beritahu kejutan apa!"
"Bukan kejutan jika aku beritahu."
"Ergh, baiklah. Oh iya, bagaimana dengan interview-mu, Jen?
"Aku—"
Tiba-tiba saja, ucapan Jena terjeda kala kedua netra bulatnya menangkap sebuah pemandangan yang menarik total seluruh atensi. Lamat-lamat, ia melihat kursi roda lengkap dengan seorang wanita paruh baya di atasnya perlahan bergerak mundur tanpa bisa dikendalikan.
Tangan wanita paruh baya itu lalu terlihat menggapai-gapai ke arah sosok yang sedang asyik menelepon tak jauh di sebelahnya. Namun, sayang. Usahanya sia-sia, sosok yang dimintai tolong tetap asyik menelepon tanpa mengindahkan aksi si wanita paruh baya. Sialnya, supermarket saat itu sedang tak terlalu banyak pengunjung.
"Oh, tidak!"
"Ada apa, Jen? Kau membuatku khawatir."
"Ada harus pergi, Kar. Akan kuhubungi lagi nanti."
"Tapi ...."
Jena terpaksa mengakhiri panggilan telepon dengan Karina. Tanpa mengindahkan kondisi yang sedang berbadan dua, kedua kaki jenjang wanita itu bergerak cepat untuk berniat menggapai kursi roda yang semakin mendekati eskalator aktif.
"HEY!!"
BRUK!
Tumbukkan cukup keras pun terjadi. Tumbukan yang tak dapat terhindarkan lagi. Akankah Jena berhasil menggapai kursi roda sang wanita paruh baya malang itu? Ataukah malah sebaliknya?