Tak seperti kebanyakan pria muda seusianya yang biasa menghabiskan malam akhir pekan dengan hang out atau clubbing, Kaiden memilih fokus untuk mengerjakan pekerjaan yang belum usai jumat malam ini. Baginya, perusahaan adalah prioritas kedua setelah sang ibu.
Namun, malam ini nampak tak biasa. Pikiran yang sedari tadi ia fokuskan mengerjakan laporan akhir pekan selalu tersela oleh bayang-bayang sebuah sosok.
"Argh! Mengapa kau tak mau enyah dari otakku, Jena."
Bukan Elora atau wanita lain, melainkan nama Jena lah yang sukses terpatri dalam angan saat ini.
"Apa ini karma untukku akibat menurunkannya di pinggir jalan tadi? Ya, ini pasti gara-gara tadi." Kaiden kembali bermonolog sedikit sesal. Mengantar Jena sampai ke depan rumah adalah niat yang sebenarnya.
Namun, egonya terlalu tinggi untuk itu. Kaiden tak ingin terlihat serupa sosok calon bos yang ramah dan gampangan. Ia ingin tetap memperlihatkan wibawa yang terkenal angkuh dan dingin. Namun, tetap saja kepikiran.
TOK ... TOK!
Angan Kaiden sontak buyar tatkala suara ketukan pintu menggema. "Mama."
Sosok sang mama sudah menghadirkan presensi di ambang pintu yang tidak terlalu ditutup rapat sebelumnya. Wanita paruh baya bersanggul itu pun segera menghampiri putranya menggunakan kursi roda elektrik yang dioperasikan otomatis hanya dengan memijat tombol saja.
Gina mulai bertanya kepada putranya menggunakan bahasa isyarat menggerakkan kedua tangannya. "Kau kenapa, Nak? Kau terlihat seperti sedang gusar? Apa sesuatu sedang mengganggumu, kah?"
Kaiden merespon dengan senyuman seraya memegang kedua tangan Gina dengan penuh kelembutan. "Aku baik-baik saja, Ma. Aku hanya sedang banyak pekerjaan."
Tentunya, Gina tak percaya seratus persen ucapan Kaiden. Ditiliknya lekat-lekat raut putra bungsunya itu. Ditutupi serapat apapun, Gina akan selalu dapat merasakan jika putranya sedang bimbang dan gusar. Terlebih, Kaiden dan Gina memiliki ikatan batin yang sangat kuat sejak sang putra masih bayi.
Gina lantas merespon dengan kekehan kecil dan mulai mengeluarkan gerakan isyarat yang artinya Kaiden tak bisa berbohong padanya. "Ah, aku tau. Kau sedang jatuh hati, ya?" tambah Gina menerka.
"Jatuh hati? Tidak. Tentu tidak."
Mendengar ucapan sang mama, Kaiden terkesiap. Kedua tangan ia silangkan di depan da*a menandakan penolakkan.
Sementara itu, sunggingan senyum tak henti-hentinya berseri dari wajah Gina seraya menatap sang putra. Ia merasa bahagia karena Kaiden yang tak gampang jatuh hati, kini mengalami hal sebaliknya.
"Jangan menatapku seperti itu, Ma. Aku sudah mengatakan yang sejujurnya bahwa aku tidak sedang jatuh hati dengan siapapun," terang Kaiden tetap mengelak.
Biasanya, pembenaran berlebihan adalah pertanda bahwa otak sedang menolak. Namun, hati merasakan hal sebaliknya. Mungkinkah Kaiden sedang mengalami hal yang diterka oleh Gina?
***
Kediaman Trisha dan Alex
"Kau sudah mau berangkat kerja, Sayang?" tanya Trisha manja seraya menyusupkan kedua tangan, mendekap tubuh kekar Alex dari belakang.
Sang suami yang sedang mematut diri di cermin pun membalas dengan anggukan serta terbitan senyum manis kepada pantulan sang istri dari cermin.
Tanpa aba-aba wanita itu melakukan gerakan tak terduga. Hasrat liar pengantin baru membawa belah ranumnya mulai menjelajah, mengec*p area ceruk prianya.
"Apa yang kau lakukan, Trish?" Sergah Alex menggeliatkan tubuh karena merasa tergelitik. Sayangnya, hasrat Alex tak semenggebu istrinya pagi itu.
"Aku sedang memanjakan suamiku." Tanpa menghentikan kecupan di leher, jemari Trisha kini bergeliat perlahan menyusup ke dalam resleting celana Alex.
"Uhm, Trish. Sudah, ya. Aku akan terlambat nanti," tolak Alex sopan seraya mencegah tangan Trisha menggerayang lebih jauh.
"Sebentar saja. Aku menginginkanmu saat ini juga." Bisikan manja sengaja Trisha lontarkan agar suami tergoda untuk memuaskan hasrat liar yang tiba-tiba menyerang pagi itu.
"Baby, please! Aku benar-benar akan terlambat jika kau seperti ini."
Dengan terpaksa, Alex menghentikan kedua tangan sang istri yang nyaris beraksi erot*s pada tubuhnya. Pria itu membalikkan tubuh lalu memberi pengertian bahwa dirinya harus pergi karena hari ini adalah hari pertamanya kembali bekerja setelah resepsi pernikahan.
"Tapi ...."
Alex menjeda Trisha dengan kecupan di kening. Pria berhidung bangir itu lantas bergegas segera meninggalkan sang istri yang masih mematung menggunakan piyama lingerie satin. Kekecewaan kini tertoreh di dad*nya imbas penolakan dari Alex barusan.
"Arghh! Ini pasti gara-gara Alex bertemu dengan Jena kemarin. Sikapnya seolah tak ingin disentuh olehku."
Trisha mengusak rambut kasar, napasnya berderu penuh murka. Sang wanita sengaja menguji Alex untuk membuktikan apakah suaminya akan bersikap sama mesra setelah bertemu dengan Jena beberapa saat yang lalu. Nyatanya, Trisha merasakan perbedaan yang cukup mencolok.
***
Glam Enterprise
Sesampainya di lantai 20, Jena disambut oleh staf HRD bernama Yura.
"Halo, Nona Jena. Perkenalkan aku Yura Estele yang akan menemanimu memperkenalkan lingkungan divisi Humas sebelum kau berakhir di meja yang akan menjadi tempat kerjamu nanti." Gadis berkacamata dengan style rambut kuncir kuda itu menyambut ramah Jena.
Selain menyembunyikan kehamilan, sang puan juga menyembunyikan identitas aslinya yang sudah pernah menikah. Jena memang melakukan pernikahan sah secara dokumen di Singapore dan tinggal di sana. Akan tetapi, dirinya masih memiliki identitas kartu tanda pengenal serta dokumen saat ia masih berstatus single di tanah air. Wanita itupun menggunakannya untuk kelengkapan dokumen pada CV.
Resiko akan selalu ada. Jika sampai ada yang menelisik lebih dalam data pribadinya, bukan tak mungkin Jena akan terkena sanksi .
Seusai berkeliling menjelajah lingkungan kantor baru, Jena akhirnya sampai di tempat mejanya yakni di salah satu kubikal berbentuk segitiga. Terdapat tiga tempat duduk dengan posisi melingkar.
"Ah, dua pegawai di kubikalmu sedang dalam perjalanan dinas. Kau tak usah khawatir, mereka akan segera kembali," tutur Yura saat Jena menunjuk dua kubikal kosong di hadapannya. Jena pun merespon dengan anggukan tanpa bertanya lebih jauh.
Yura lantas meminta Jena untuk menunggu informasi selanjutnya sembari mempersilahkan wanita hamil itu menata barang di atas meja. Selang tak berapa lama, Yura pun pamit berlalu.
"Ekhm, Jena Anderson?"
Tak lama setelah kepergian Yura, sebuah dehaman menyeruak saat dirinya sedang kusyuk menata barang.
"Kau?"
Jena sedikit tersentak dan spontan mengambil posisi berdiri. Netranya bersikap awas saat tahu sosok yang berdeham adalah Elora. Gadis yang nyatanya telah abai terhadap wanita paruh baya dan hampir membuatnya celaka di supermarket beberapa hari yang lalu.
"Halo, Jena. Aku Elora, Manager HRD dan Humas Glam Enterprise," tutur Elora memperkenalkan diri dengan gestur elegan.
"Kau bekerja di sini?" Jena malah menimpali dengan pertanyaan di luar konteks.
"Benar. Aku adalah atasanmu langsung," jawab Elora terdengar sedikit angkuh kali ini. "Ah, sebelum kau bekerja, ada satu hal yang ingin kusampaikan secara personal."
Elora mulai mendekati Jena perlahan dan lalu berbisik, "Jika ingin bekerja dengan tenang di sini, kuperingatkan jangan sekali-kali membocorkan kejadian beberapa hari lalu tentangku pada siapapun, mengerti?"
Bukannya takut, da*a Jena justru menggebu-gebu. Ia sangat marah karena belum apa-apa dirinya seolah diancam dengan alasan tak jelas. Padahal, Jena sendiri tak berniat melakukan apapun dengan menggunakan alasan perilaku abai Elora tempo lalu.
"Ch! Kau mengancamku?" Jena berdecih muak. "Hati-hati karena kau mengancam orang yang salah," tantang Jena tak gentar.
Keduanya kini saling bersitatap cukup sengit sebelum akhirnya ....
"Kau rupanya di sini, El." Suara bariton khas Kaiden menyeruak di antara momen Elora dan Jena. Pria itu terlihat berjalan cepat menuju kubikal Jena.
Seperti bunglon yang pandai menyamar, dengan cepat Elora merubah mimik kesal menjadi netral dalam sekejap.
"Pagi juga untukmu, Kai. Aku sedang menyapa staf humas baru kita. Ada yang bisa kubantu?" tutur manis Elora kepada Kaiden.
Ch! Dasar rubah berbulu domba. Bisa-bisanya dia pintar bersandiwara.
"Aku akan membawa Jena untuk langsung bertemu dengan klien hari ini." Baik Jena maupun Elora sama-sama terkesiap atas penuturan Kaiden. Raut kebingungan tergambar jelas di wajah keduanya.
"What! Tapi ... bukankah Jena baru pertama kali masuk kerja? Aku bisa menemanimu, Kai," cegah Elora menawarkan diri.
"Tidak. Keputusanku sudah bulat. Segera bersiap dan ikuti aku, Jena."
Tanpa berbasa-basi lagi, Kaiden pun melesat pergi diikuti dengan sosok Jena yang segera mengekori dari belakang.
"Sial, sial, sial!" Elora merutuk frustrasi.
Awas kau, Jen! Ku pastikan dalam beberapa hari kau akan dipecat dari Glam Enterprise.