2. [ Bertemu ]

1568 Kata
"Ya Tuhan, rambutku. Apa harus seperti ini kalau setiap penggantian musim gugur?" keluh perempuan bernama Jenny. "Berhentilah mengeluh Je. Memang kau berjalan kaki saat ke kampus?"  Jenny menggeleng sambil bergumam tak jelas. Tangannya tak henti-hentinya menyisir rambut yang berantakan akibat angin kencang.  Lea mengetukkan sisir ke kepala Jenny. "Pakai ini, Bodoh!" Sambil menyodorkan sisir.  "Oh, terima kasih, Sayang. Kalau saja aku tidak lupa membawanya saat terburu-buru tadi pasti aku tidak susah menyisir pakai jari-jariku. Mobilku di bengkel, maka dari itu aku naik angkutan umum." Jenny mengambil sisir dari tangan Lea.  "Oh apa kau ingat Le, Rektor kampus kita yang tak pernah terlihat? Dan apa kau tahu apa yang lebih menghebohkan? Lusa dia berkunjung ke sini dan kabarnya lagi dia adalah pria yang muda dan tampan. Bahkan sekarang semua fakultas membicarakannya," jelas Jenny antusias. "Sebegitu tampannya? Aku tidak pernah melihat rektor kampus kita. Biasanya rektor kampus itu seseorang pria yang gendut, sudah tua, dan ... botak," kelakar Lea dibalas tawa Jenny.  "Aku juga berpikir begitu. Dan ya memang rektor kita jarang ke kampus ini. Ada yang bilang beliau berkunjung hanya sesekali itu juga karena ada hal yang mendesak saja, jadi bisa dipastikan kita tidak pernah melihatnya." Jenny sambil meminum minuman milik Lea.  "Oh begitu. Apakah kau tahu siapa namanya?"  "Pffftttt ... Ya Tuhan. Apakah kau tidak tahu nama rektor kita sendiri?" Kaget dengan pertanyaan Lea, tak sengaja Jenny menyemprotkan minuman yang sedang di minumnya ke wajah Lea.  "Kau menjijikkan, Jenny!" hardik Lea membersihkan wajahnya dengan tisu.  "Maaf ... maafkan aku." Jenny membantu Lea membersihkan wajahnya.  "Sudah, sudah tak apa. Ayo kita ke kelas, sebentar lagi kelas dimulai. Tapi antarkan aku dulu ke toilet."  Lea pun menarik paksa tangan Jenny menuju toilet.  *** Menikmati kesendirian perjalanan di sore hari, sebuah kendaraan berhenti di depannya. Sekilas ia bisa tahu siapa orang yang berada di balik kemudi. Lea langsung melangkahkan kakinya cepat tanpa mau melihat si empunya mobil.  "Ada perlu apa lagi?" entak Lea saat lengannya di pegang erat.  "Aku mau memberimu penjelasan, Lea. Kejadian minggu kemarin tidak seperti yang kau bayangkan. Maaf kan aku ... aku—" ucap pria di hadapan Lea dengan wajah frustrasi.  "BERHENTI! Dan lupakan saja." Lea sambil melanjutkan langkahnya.  Sebelum melangkah pria itu memegang kedua bahu Lea agar Lea bisa mendengar penjelasannya."Dengar aku dulu," mohon sang pria.  Tanpa menginginkan adanya keributan di tempat umum akhirnya Lea menyetujui ajakan pria itu.   *  "Terima kasih.” Lea tersenyum pada pelayan saat cokelat hangat pesannya sudah ada di atas meja.  "Ada yang kau inginkan lagi , Miss?"  "Mmm ... sudah cukup ini saja." Lea tersenyum menatap pelayan perempuan itu. Ia pun menyesap minumannya perlahan menikmati setiap lumeran coklat hangat di seluruh lidahnya. Ada sensasi menarik saat ia meminum coklat, seperti ada rasa menenangkan mengalir ke tubuhnya yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Rasa sedikit pahit tapi dominan manis menjadikan coklat itu sendiri jadi urutan teratas minuman favorit Lea.   “Aku—“ Suara menginterupsi saat sedang asyiknya Lea menikmati minumannya.  Seakan tidak ingin di ganggu, Lea mengangkat salah satu telapak tangannya menandakan hentikan ucapanmu tanpa menghentikan aktivitasnya. "Sebentar, biarkan aku menikmati coklatku dulu!" sanggah Lea di tengah sesapannya.  "Selalu begitu, kau tidak berubah," dengus pria sambil menatap Lea dengan pandangan lembut.  Beberapa detik kemudian akhirnya Lea menaruh cangkirnya di meja, menyisihkan setengah minumannya.  "Coklat selalu membuatku tenang, jadi ...." Kalimat gantung terucap di bibir Lea sambil tangannya menopang dagu sedangkan tangan yang lain mengetuk ketuk meja menandakan ia bosan dengan pembicaraan ini, terlebih pada pria di hadapannya.  "Hem—“ deham si pria sambil menegakkan kembali tubuhnya ingin memulai pembicaraan.  "Aku … aku ... maafkan aku Lea. Ku tahu sudah salah karena mengkhianatimu dan menyakitimu. Aku ingin kita kembali bersama,” lirih pria sambil meremas tangan kanan Lea dengan kedua telapak tangannya.  "Sudah seminggu ini hatiku terasa kosong tanpa kau disisiku. Aku bahkan tak mengira akan sesakit ini saat aku ingat kau menangis malam itu. Kau tahu kan, aku pria yang nakal dulunya. Saat pertama kali dekat denganmu aku menghilangkan kebiasaan burukku karena aku tahu kekasihku pasti tak kan suka. Kau yang bisa mengubah duniaku. Kumohon maafkan aku atas kejadian itu, karena aku menyesal. "Tapi pada waktu itu aku lepas kontrol saat Dennis dan lainnya mengajakku ke klub. Aku minum dan kurasa saat aku bertemu Lory aku hilang kendali dan itu terjadi," sambungnya sambil mencium tangan Lea.  "Hans, aku sudah memaafkanmu. Tapi kalau soal kembali bersama maaf aku tidak bisa." Lea melepas pelan tangannya yang dipegang Hans.  "Kau melupakanku, Lea? Aku hanya ... aku hanya ... ya Tuhan Lea. Kau melupakan kenangan kita selama ini?" desah Hans tak percaya pada mantan kekasihnya yang seminggu lalu memutuskannya karena kebodohan dirinya sendiri.  "Tidak, aku tidak pernah melupakan kenangan itu. Kenangan itu akan selalu aku ingat, Hans."  "Terus mengapa kau tidak mau kembali lagi padaku? Ha, apa? Beri aku alasan sekarang juga, Lea!" pinta Hans menatap tajam manik mata Lea.  "Aku ... aku tidak lagi mencintaimu. Aku bosan padamu," lirih Lea pelan di akhir kalimat sambil membuang pandangannya ke tempat lain. Bohong. Bohong kalau dia tidak lagi mencintai Hans. Bohong kalau ia bosan dengan Hans. Hans adalah pria yang selama ini ada untuknya selalu baik padanya meskipun ia lelaki brengsek.  Lea menatap Hans dengan mata berkaca kaca. Menatap Pria tercintanya terbelalak terkejut atas perkataannya barusan. Ia juga baru sadar ternyata Pria yang dihadapkannya dengan notabene sebagai senior kampusnya sekarang terlihat kacau dari yang ia lihat terakhir kali. Mata pria itu seperti panda walau tak kentara, juga janggut serta kumis itu mulai tumbuh karena lupa dicukur dan jangan lupakan wajah lelah frustrasi serta rambut yang acak-acak kan. Bukan mencerminkan seorang Hansel Frensky yang selalu tampil rapi dan modis membuat kaum hawa bertekuk lutut di hadapannya Lea sedikit menyesali perbuatannya atas pemutusan secara sepihak terhadap kekasihnya tapi mau bagaimana lagi ia wanita dan hatinya sangat sakit saat pria pujaannya tidur seranjang dengan perempuan lain. Terlebih perempuan itu musuhnya yang selalu mencari masalah.  "Kau bohong Lea. Aku tahu kau berbohong. Tatap mataku dan katakan sekali lagi!" desak Hans mencari kebenaran di mata Lea. Tetapi Lea tetap tidak mau menatapnya.  "Sudahlah Hans, kita sudah berakhir. Carilah wanita yang bisa mengimbangimu, aku selalu mendoakanmu." Lea berdiri dari kursinya memakai tasnya dan mendekatkan diri pada Hans yang masih terdiam kaku di tempat duduk, matanya kosong menatap ke depan seakan berpikir sesuatu.  Dipeluknya kepala Hans di depan perutnya menundukkan sedikit tubuhnya agar ia bisa mencium puncak kepala mantan kekasihnya itu. Dihirupnya wangi rambut yang menjadi favoritnya lama seakan ini benar-benar terakhir kalinya.  Tak menyia-nyiakan kesempatan Hans memeluk erat paha Lea. Ia tak ingin berpisah. Cukup, ia tak akan menyakiti Lea lagi. Ia berjanji dalam hati.  "Aku menyayangimu, Hans."  Hans meneteskan air matanya. Baru kali ini ia menangis karena wanita. Wanita sebaik dan selembut Lea. Ia menyesal telah menyakiti kekasihnya. Ia terlalu mementingkan nafsu dunia, yang tidak ada habisnya dibandingkan kekasihnya yang selalu ada saat ia butuh.  Ia sungguh menyesal. Ia ingin mengulangi momentum di mana saat dengan Lea tanpa ada tragedi malam itu.  Air mata Hans jatuh di lengan Lea. Lea yang menyadari itu langsung melepaskan pelukannya dan menyejajarkan tubuhnya dengan Hans.  "Mengapa menangis? Sudahlah Hans, kita bisa menjadi teman, oke? Kau bisa menjadi kakakku," ucap Lea menghapus air mata Hans.  "Tap—tapi….” "Ssttt ... sudah aku pulang dulu."  "Aku pulang sendiri, jangan diantar. Lagi pula rumahku sudah dekat." Hans baru ingin angkat bicara untuk mengantarkannya pulang, tapi Lea sudah menginterupsi. Hans menghela nafas pelan. Lea-nya masih keras kepala.  Lea berdiri, sebelum melangkah ia mencium kening Hans sekilas namun lamat.  "Cari wanita yang lebih baik dariku, tapi kalau bisa jangan wanita penggoda seperti Lory," saran Lea. Hans yang memandang Lea pun tersenyum atas penuturan sekaligus sindiran halus untuknya.  "Maaf," ucap Hans sekali lagi.  Lea pun tersenyum sambil melangkahkan kakinya ke pintu keluar. Sesaat sudah beberapa meter dari Cafe itu Lea memelankan langkahnya. Memukul-pukul dadanya.  "Kenapa bisa sesakit ini, Tuhan. Sampai sesak rasanya."  Air mata pun tak henti hentinya mengalir. Ia mencoba tegar dan kuat di hadapan Hans dan tak ingin terlihat lemah. * Seorang pria tampan dengan balutan jas abu di pojok ruangan sedang menikmati drama picisan depan matanya. Tubuhnya di sandarkan di sofa, tetapi matanya tak lepas dari dua orang yang saling berpelukan. Tidak apa kalau orang lain yang beradegan seperti itu, yang ada ia mungkin merasa ingin segera mengeluarkan isi perutnya. Tetapi beda lagi urusannya jika dengan wanita itu, entah ada yang berbeda seperti magnet yang menarik lawan jenisnya.  Sesaat matanya berubah menjadi hitam pekat, rahangnya mengeras darah dalam tubuhnya seakan bergejolak keluar.  "Hei, kau kenapa?" ucap wanita di hadapan pria itu. Pria itu pun tak menjawab. Rahangnya semakin mengeras. Jika tidak ada yang mencegahnya mungkin ia akan meledak saat ini juga.  Tahu kalau ia di abaikan, sang wanita itu pun menoleh ke belakang ingin melihat apa yang dilihat kekasihnya. Seorang wanita yang mencium kepala kekasihnya sambil berdiri. "Drama picisan. Hei, tunggu Nick!" ucap wanita itu sambil memegang lengan lelakinya. Saat pria itu tiba-tiba melangkah mendekati pasangan tersebut.  "Lepas, Noella!"  "Kau ingin membuat keributan, Sayang? Duduk dulu," ucap Noella menyeret lengan Nick susah payah karna keukeuh ingin menghampiri.  Noella pun duduk di samping Nick, mengelus Lengan Nick dengan manja.  "Apa perempuan itu takdirmu?"  "Kurasa." Tatapan Nick masih lurus menghadap perempuan itu yang sudah membuka pintu keluar.  "Jadi kau akan meninggalkanku, Nick?" gelayut Noella manja di lengan Nick.Suaranya terdengar sedih. Tersadar akan pertanyaan Noella, Mata Nick menatap manik mata Noella.  "Mungkin saja." Nick mencium pelipis Noella. Tangannya mengusap bahu kekasihnya yang tertutup mantel.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN