Menyesakkan

600 Kata
"Bang, besok kita fitting baju ya?” Evelyn mengirim pesan pada Billy. Calon suaminya. Malam itu, hujan rintik mengguyur jendela kamar Evelyn, seolah ikut merasakan kegelisahan yang melingkupi hatinya. Di sudut kamar sederhana, Evelyn duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan. Ia menunggu, berharap balasan Billy segera muncul. Namun ketika ponselnya bergetar, hatinya serasa tertusuk. "Tidak bisa dan aku tidak mau. Lagian aku lagi ada di Bali, ada pekerjaan." Evelyn terdiam, pandangannya nanar menatap layar ponsel. Bibirnya bergerak perlahan, membaca ulang pesan itu. Ia mengetik balasan dengan hati-hati, meski dadanya terasa sesak. "Kok di Bali sih, Bang? Seminggu lagi kita nikah, loh. Harusnya kamu di rumah. Jangan bepergian. Semua sudah dipersiapkan—seserahan, makanan, dekorasi, hingga undangan. Pamanku sudah pesan undangan banyak, undangan web juga sudah jadi." Getar ponsel menyela pikirannya. Pesan dari Billy muncul, dingin dan tajam. "Suruh siapa buat undangan? Aku nggak akan undang siapa-siapa." Kalimat itu seperti pukulan keras di d**a Evelyn. Tangannya menggenggam ponsel lebih erat, tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha merangkai kata, meski air mata mulai menggenang di pelupuk. "Orang tuaku yang mau undang orang, saudara, aku juga mau undang teman-temanku," balasnya. Tak lama, Billy menjawab lagi. "Nggak usahlah, aku nggak suka." Jantung Evelyn serasa bergemuruh. Napasnya memburu, mencoba mencerna apa yang baru saja ia baca. Semua yang selama ini ia impikan, segala persiapan yang ia lakukan dengan penuh cinta, kini terasa sia-sia. Dengan jari yang gemetar, ia mengetik satu pesan terakhir. "Baiklah, aku nggak akan undang siapa pun." Setelah pesan terkirim, keheningan menyelimuti. Tak ada balasan. Evelyn menunggu, namun hanya ada sunyi. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia memandang gaun pengantinnya yang tergantung di sudut kamar, memantulkan bayangan dirinya yang hancur. Hatinya bergemuruh, bertanya-tanya: apakah Billy benar-benar ingin menikahinya? Dan jika iya, kenapa ia merasa begitu sendirian dalam perjalanan ini? Hujan di luar semakin deras, mengiringi malam penuh kegelisahan yang menyelimuti Evelyn. Evelyn duduk di dekat jendela kamarnya, menatap rintik hujan yang mengalir di kaca. Di tangannya, secangkir teh hangat yang perlahan mendingin, seperti hatinya yang penuh keraguan. Bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya, memutar kembali kisah yang ia jalani bersama Billy. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Evelyn masih ingat betul bagaimana ia dan Billy pertama kali bertemu di sebuah acara kampus. Billy bukanlah pria yang mencuri perhatian banyak orang—ia sederhana, seorang pegawai di sebuah perusahaan biasa. Namun, di balik kesederhanaannya, Billy punya sesuatu yang membuat Evelyn jatuh hati: sikapnya yang tulus dan penuh perhatian. Selama bertahun-tahun, mereka melewati suka dan duka bersama. Billy selalu ada untuk Evelyn, bahkan di saat-saat sulit. Ketika Evelyn kehilangan pekerjaannya, Billy datang membawakan makanan favoritnya dan berkata, "Kamu pasti bisa bangkit lagi. Aku percaya sama kamu." Empat bulan yang lalu, momen itu tiba. Billy datang bersama keluarganya ke rumah Evelyn. Hari itu, ruangan penuh dengan tawa dan harapan. Orang tua Billy dan keluarga Evelyn duduk berdampingan, membicarakan rencana masa depan mereka berdua. Billy dengan senyum tipis di wajahnya berkata, "Aku ingin menikahi Evelyn. Aku ingin dia jadi pendampingku seumur hidup." Evelyn masih ingat perasaan hangat yang memenuhi dadanya. Di hari itu, mereka tidak hanya bertunangan, tetapi juga menentukan tanggal pernikahan yang akan digelar pertengahan tahun. Evelyn sangat bahagia. Sejak hari itu, ia mencurahkan seluruh hatinya untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Ia memilih undangan dengan desain yang elegan, mencicipi berbagai menu untuk memastikan tamu-tamu mereka puas, hingga memilih sendiri seserahan—setiap barang dipilih dengan teliti, hanya yang terbaik untuk momen terindah dalam hidupnya. Namun kini, duduk di bawah bayang-bayang keraguan, Evelyn bertanya-tanya. Apakah Billy benar-benar bahagia dengan semua ini? Rasa sakit perlahan merayap ke dalam hatinya, menggantikan kebahagiaan yang dulu begitu nyata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN