“Ini mobilnya belum jalan?” tanya Vanya kebingungan.
Ketiga pria yang duduk di mobil yang sama dengan Vanya tampak terdiam dan hanya menatap ke arah Vanya. Merasa ada yang tidak beres, Vanya segera mengikuti arah pandang mereka dengan sedikit menundukkan wajahnya.
Saat itulah Vanya menyadari bahwa dirinya belum melepaskan genggaman tangannya di tangan Samuel. Dengan cepat gadis itu menarik kuat tangannya kemudian menghimpit tubuhnya ke arah pintu mobil agar jaraknya semakin jauh dari Samuel.
Ya ampun Vanya. Lo kenapa jadi malu-maluin gini sih? batin Vanya merutuki kebodohannya.
Mobil van tersebut mulai berjalan pelan menuju gerbang untuk keluar dari area gedung apartemen tempat tinggal Raisa, sahabat Vanya. Kemudian masuk ke area jalan raya dan bergabung dengan kendaraan lain yang juga tengah melaju dengan kecepatan sedang.
Selama perjalanan, hanya ada keheningan di dalam mobil tersebut. Vanya sibuk menatap ke luar jendela, berusaha mengabaikan tiga pria yang berada satu mobil dengannya, sedangkan Samuel yang duduk di sampingnya terlihat fokus membaca sebuah naskah film.
Pria yang duduk di kursi depan samping pengemudi tampak beberapa kali melirik ke kursi belakang, tepatnya pada Vanya. Hal itu tentu disadari oleh Vanya yang mulai merasa risih.
“Ada apa ya?” tanya Vanya dengan nada ketus pada pria yang terus melihat ke arahnya itu.
Mendengar pertanyaan Vanya, pria itu langsung tersenyum ramah apalagi setelah ditatap oleh Vanya.
“Kenalin, aku Tino asistennya Samuel. Kalau yang lagi nyetir ini Putra, manajernya Sam,” ujar pria itu yang terdengar begitu ramah memperkenalkan dirinya pada Vanya.
Berbeda dengan ekspresi orang yang berbicara dengannya itu, Vanya malah tampak mendengus kesal karena memang tidak berniat untuk berkenalan dengan orang-orang yang sering bersama Samuel. “Kayaknya kita nggak punya urusan yang mengharuskan untuk berkenalan, kan?”
Perkataan Vanya sempat membuat Samuel yang sedang fokus membaca naskahnya sempat ikut melirik ke arah gadis di sampingnya itu.
Namun, Vanya terlihat mengabaikan tatapan pSamuel karena merasa apa yang ia katakan bukan sesuatu yang salah.
“Aku rasa kamu emang harus berkenalan dengan mereka berdua, Vanya. Dalam tiga bulan ke depan, mereka berdua yang akan sangat membantu hubungan sandiwara kita ini,” ujar Samuel menjelaskan dengan tenang walau pandangannya kembali fokus pada naskah yang ada di tangannya.
Perkataan Samuel entah kenapa membuat Vanya tampak melongo karena terkejut. “Aku, kamu?” Ia seakan mengabaikan semua kalimat pria itu dan hanya fokus pada dua kata yang pria itu ucapkan. “Ngapain lo ngomong aku kamu segala di sini?”
Samuel terlihat menarik napas panjang sebelum kemudian meletakkan naskah yang ia pegang lalu mulai fokus menatap lekat Vanya yang duduk di sampingnya saat ini.
Tatapan Samuel entah kenapa membuat Vanya mulai merasa risih dan sedikit salah tingkah. “Ngapain sih ngeliatin gue kayak gitu?” tanyanya dengan nada ketus.
“Aku ngerti kalau kamu bukan public figure, Vanya. Pasti sulit untuk kamu bersandiwara dan berakting layaknya sepasang kekasih dengan aku. Tapi, hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan reputasi aku dan juga film yang sedang digarap Papa kamu. Dan kenapa aku ngerubah cara bicara ke kamu, itu supaya kita bisa lebih terbiasa dan nggak keceplosan di tempat umum ketika lagi bersandiwara.”
Penjelasan Samuel benar-benar membuat Vanya merasa kesal. Tapi yang bisa dilakukannya saat ini hanya memasang wajah cemberut dengan kepala yang terpaksa memberi anggukan. “Oke, gue paham,” jawabnya.
Samuel tersenyum puas mendengar jawaban tersebut, walau Vanya terlihat tidak ikhlas saat ini.
“Oke, kalau kamu paham.” Samuel segera mengalihkan pandangannya ke arah Tino asistennya. “Sekarang lo bisa kasih penjelasan singkat ke dia.”
Vanya mengerutkan alisnya merasa bingung. “Penjelasan tentang apa?” tanyanya penasaran.
“Dengerin aja.”
Tino segera mengeluarkan sebuah iPad dari dalam tas yang ia kenakan saat ini. “Oke Vanya, sekarang ini saya mau jelasin sedikit ke kamu soal perencanaan sandiwara kalian ini.”
“Emang harus banget ya pakai perencanaan? Kan ya udah tinggal akting pacaran kayak biasanya aja dong.”
Tino memberikan gelengan pada Vanya. “Nggak bisa begitu loh, Vanya. Perlu ada beberapa hal yang harus disepakati bersama, biar nanti jawaban kamu dan Samuel nggak akan saling bentrok di hadapan publik.”
“Ya udah, coba jelasin aja dulu.”
Tino tersenyum senang kemudian mulai kembali fokus pada layar iPad yang dipegangnya saat ini. “Jadi, kalian berdua itu sudah berpacaran dari masa kuliah, tepatnya pada awal-awal karier Samuel dulu. Hal ini didukung dengan almamater kampus kalian yang ternyata sama.”
Vanya langsung melirik ke arah Samuel yang tampak begitu santai membaca naskahnya, seakan sama sekali tidak terganggu dengan penjelasan Tino saat ini.
“Nah, kalian selama ini pacaran diam-diam dan hanya diketahui beberapa orang terdekat saja.”
“Ini maksudnya apa sih? Kenapa harus dibuat seakan-akan kami udah pacaran lama?” tanya Vanya yang merasa keberatan dengan statement buatan tersebut.
“Ini agar lebih meyakinkan publik, Vanya. Jadi, netizen ataupun penggemar Samuel nggak akan berpikir kalau berita hubungan kalian itu sebagai pengalihan isu dari skandal yang dihadapi Samuel waktu itu. Apalagi sekarang ini masih ada beberapa netizen yang berpikir dan mencurigai hubungan kalian ini hanya pengalihan isu,” jelas Tino.
Vanya memilih diam karena tidak tahu harus menolak seperti apa lagi. Dengan terpaksa, gadis itu menganggukkan kepala menyetujui ide tentang hubungan sandiwara mereka itu.
“Terus apa lagi?”
Tino segera menatap kembali layar iPad di tangannya. “Kalian juga harus mulai mencoba menunjukkan hubungan kalian secara tipis-tipis di sosial media masing-masing. Untuk Samuel itu biar saya yang urus, tapi kalau untuk kamu tentu saja nggak mungkin saya yang urus, kan, sosial medianya.”
“Nanti kirim aja bahannya, biar aku yang upload sendiri,” jawab Vanya dengan nada datar.
Tino tampak kembali tersenyum puas mendengar jawaban tersebut. Ia kemudian kembali membaca beberapa rules yang sudah direncanakan olehnya itu.
“Berikutnya, kalian juga harus beberapa kali terlihat di hadapan publik. Bisa dengan Samuel yang jemput kamu kalau lagi nggak syuting, atau kamu yang datang main ke lokasi syutingnya. Selain itu, sandiwara hubungan kalian ini hanya diketahui oleh saya, Putra, dan Pak Dimas, jadi kalian tetap harus berakting sebagai pasangan kekasih di hadapan semua orang termasuk kru film.”
Vanya memijat pelan dahinya, mulai merasa frustrasi mendengar rules yang menurutnya sangat merepotkan itu.
“Vanya, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Tino menatap khawatir pada Vanya.
“Nggak apa-apa,” jawab Vanya sambil menggelengkan kepalanya. “Daripada lo baca satu-satu rules-nya, mending langsung kirim ke gue aja deh. Nanti gue baca sendiri di rumah,” ujar Vanya yang benar-benar merasa tidak sanggup mendengar lebih lanjut semua rules yang menurutnya sangat konyol itu.
Tino akhirnya memberikan anggukan, menyadari bahwa gadis tersebut sudah tidak ingin mendengarkan celotehannya.
“Besok balik kantor jam berapa?” tanya Samuel setelah beberapa saat tadi hanya diam, membiarkan Vanya berbicara dengan Tino.
Vanya yang sedang menyenderkan kepalanya di kaca jendela mobil langsung melirik malas ke arah Samuel yang saat ini sedang menatap dirinya. “Ngapain nanya kapan gue pulang?”
“Vanyaaaaa,” ucap Samuel penuh penekanan, seperti sedang mengingatkan gadis itu tentang sesuatu.
Seakan paham maksud pria itu, “Oke, oke. Ngapain kamu nanya kapan aku pulang?” tanya Vanya sambil menekankan kata aku dan kamu pada kalimat pertanyaannya itu.
“Karena besok kebetulan aku nggak ada jadwal apa pun, besok biar aku jemput di tempat kerja.”
Vanya sudah akan menggunakan seribu satu alasan untuk menolak pria itu. Namun, saat Samuel memberikan tatapan tajam penuh peringatan, Vanya akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah. “Besok balik kantor jam lima sore.”
Samuel tampak tersenyum tipis, merasa puas dengan jawaban gadis di sampingnya ini.